30.8 C
Jakarta
Array

Halaqah Kepesantrenan: Ikhtiar Membentengi Pesantren dari Radikalisme dan Terorisme

Artikel Trending

Halaqah Kepesantrenan: Ikhtiar Membentengi Pesantren dari Radikalisme dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa radikalisme–suatu paham yang menghendaki perubahan, pergantian, dan penghancuran terhadap suatu sistem yang telah berakar di dalam masyarakat atau negara dengan berbagai cara, bahkan cenderung mengutamakan kekerasan sebagai jalan utama—telah menyebar di penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Tak ayal, saat ini, radikalisme dan terorisme menjadi isu global.

Gerakan kelompok radikal-teroris selalu mampu membius sebagian masyarakat Muslim karena memang mereka menggunakan jargon-jargon keagamaan yang indah dan menjanjikan. Jadi, kelompok ini pandai memainkan simbol-simbol agama dan getol meneriakkan kalimat-kalimat ketuhanan yang mengandung nuansa saklalistik-transendental sebagai cara untuk menarik perhatian warga muslim. Dan ini sangat efektif untuk mempengaruhi seseorang.

Bayangkan saja, Muslim mana yang tidak terkesima jika mendengar kalimat: “Kembali kepada hukum Tuhan adalah satu-satunya jalan kita untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.” Dalam konteks Indonesia, mereka hendak mengganti ideologi Pancasila dengan sistem formalisasi syariat. “Biangkerok korupsi dan berbagai kemiskinan serta ketidakadilan yang terjadi di Indonesia adalah Pancasila. Untuk itu, formalisasi syariat Islam adalah solusinya.”

Jargon “Kembali kepada hukum Tuhan adalah satu-satunya jalan kita untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”  sungguh baik dan tidak ada nilai salah setitik-pun. Akan tetapi, Islam sendiri memberikan keluesan yang luar biasa, sehingga hukum-hukum Tuhan tersebut dapat didefinisikan dan diimplementasikan menyesuaikan situasi sosial masyarakat bersangkutan. Yang terpenting, operasional atas gagasan atau nilai-nilai agama tersebut masih dalam koridor agama Islam. Dan dalam konteks ini, Pancasila, senafas dengan Islam. Pernyataan bahwa nilai-nilai Islam menjiwai butir-butir Pancasila bukanlah pernyataan yang keluar dari mulut orang mabuk, melainkan merupakan kesepakatan para ulama pendahulu kita. Sehingga, kita wajib menjaganya.

Kini, fakta menunjukkan bahwa gerakan Islam radikal dan teror sudah merasuk ke berbagai lini keihidupan berbangsa dan bernegara, tanpa terkecuali di sejumlah pesantren. Merujuk pada data yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BN-PT), pada tahun 2016 lalu menyebutkan, terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme.

Belum lama ini, Kementerian Agama (Kemenag) merespons realitas tersebut. Hal ini ditandai dengan langkah Kemenag yang akan menerbitkan dua kebijakan terkait dunia pesantren. Yaitu izin penderian pesantren, yang semula dikeluarkan oleh Kabupaten/Kota, kini semuanya ditarik ke Kemenag (Pusat). Adapun kebijakan kedua adalah, penyusunan standard pesantren, wabil khusus kurikulumnya.

Langkah Kemenag ini sebagai upaya sadar dan serius pemerintah agar pesantren tidak jadi ladang pembibitan paham radikal, yang mentang Pancasila, demokrasi, dan NKRI. Dengan demikian, jika kelak ada pesantren yang mengajarkan kitab-kitab yang bermuatan paham radikal, menolak NKRI, Pancasila, dan UUD 1945, maka pemerintah, dalam hal ini Kemenag, tidak akan mengeluarkan izin operasi/pendirian pesantren tersebut.

Halaqah Kepesantrenan

Dalam upaya mencegah radikalisme, Harakatuna Media memiliki strategi dan pendekatan berbeda dengan pemerintah dan institusi lainnya. Ya. Strategi itu dibungkus dalam agenda yang disebut sebagai Halaqah Kepesantrenan. Halaqah Kepesantrenan ini didesain sedemikian rupa untuk menggerakkan para stakeholder pesantren dalam upaya membentengi pesantren dari serangan radikalisme dan terorisme, yang acap kali menyusupi santri/alumni.

Sebagai pemantik masyarakat luas supaya turut mendukung, perlu dijelaskan bahwa tujuan Halaqah Kepesantrenan ini adalah, pertama; memaksimalkan peran alim-ulama. Faktor ekonomi bukanlah faktor tunggal munculnya radikalisme dan terorisme di dunia saat ini. Artinya, ada banyak faktor di dalamnya, salah satunya adalah faktor agama. Hal ini bisa dalam bentuk pemahaman teks keagamaan secara kaku, sehingga menimbulkan sikap ekstrem dan sangat ketat dalam memahami hukum-hukum agama.

Dalam situasi seperti itulah, tokoh agama mempunyai peran strategis untuk mendidik umatnya, meluruskan pemahaman yang kaku tersebut. Untuk itu, tidak ada solusi yang jitu kecuali para alim-ulama ikut berpartisipasi aktif untuk kembali menyeruakan, dan membumikan karakter sejati umat Islam sendiri, yang dalam Alquran disebut sebagai ummatan wasthan (Qs. Albaqarah, 143).

Dalam bingkai itulah, Halaqah Kepesantrenan yang dihelat oleh Harakatuna Media selalu mengundang para tokoh agama lintas organisasi, tidak hanya tokoh NU yang diundang sebagai pembicara dalam acara tersebut, melainkan juga menghadirkan tokoh Persis (Persatuan Islam), tokoh Muhammadiyyah, dan tokoh organisasi masyarkat Islam lainnya. Bahkan akademisi pun kami hadirkan dalam acara Halaqah Kepesantrenan yang telah menjadi agenda rutin (bulanan) Harakatuna. Semua itu dengan tujuan, agar para tokoh agama menyebarkan benih-benih Islam moderat, mengakui Pancasila sebagai ideologi Indonesia, dan mengutuk radikalisme dan terorisme. Dan tak kala pentingnya, tidak saling mengkafirkan sesama umat Nabi Muhammad SAW.

Kedua, membentengi santri/pesantren dari ideologi radikal dan terorisme. Dalam Bilik-bilik Pesantren (2007), Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa pesantren adalah institusi keagamaan yang mengandung makna ke-Islaman, yang sangat unik dan indegenous, khas Indonesia. Khas pesantren Indonesia inilah yang menjadikan pesantren memiliki tanggung jawab keagamaan sekaligus komitmen kebangsaan. Melihat tanggung jawab tersebut, santri/pesantren sudah saatnya menjadi tonggak terdepan untuk menyelamatkan bangsa ini dari ancaman radikalisme yang mengatasnakaman Islam.

Itulah mengapa, acara Halaqah Kepesantrenan selalu melibatkan para santri/pesantren dari berbagai tempat, minimal lingkup Kabupaten/Kota. Dalam prakteknya yang sudah-sudah, Harakatuna Media bekerja sama dengan tuan rumah, setidak-tidaknya mengundang 50-100 pesantren sebagai perwakilan dalam acara Halaqah tersebut. Setiap pesantren, lazimnya mengirim 2-3 santri sebagai delegasi dari pesantren yang bersangkutan untuk menghadiri acara Halaqah. Cara ini sekaligus menjadi tujuan yang ketiga, yakni menjadikan pesantren sebagai pusat atau rujukan utama gerakan anti radikalisme dan terorisme.

Tekahir, menggelorakan cinta tanah air sebagai bagian dari spirit ajaran Islam. Kita mengetahui betul bahwa salah satu dari sekian banyak yang disoal/ditentang oleh kelompok radikal adalah tentang Cinta Tanah Air. Menurut kelompok radikal, nasionalisme tidak ada dalilnya dalam Alquran.

Tentu narasi tersebut sangat bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para alim-ulama pendahulu kita. Oleh sebab itu, acara Halaqah Kepesantrenan semacam ini dimaksudakan untuk memperkuat wawasan kebangsaan dan keislaman, sehingga akan tertanam pada diri mereka, bahwa, menjaga NKRI merupakan bagian dari kewajiban santri. #DarahSantriUntukNKRI

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru