26.1 C
Jakarta
Array

Dilema Konseptual Khilafah HTI: Sebuah Ketergesaan Kesimpulan (1)

Artikel Trending

Dilema Konseptual Khilafah HTI: Sebuah Ketergesaan Kesimpulan (1)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dilema Konseptual Khilafah HTI: Sebuah Ketergesaan Kesimpulan (1)

Oleh: Dr. Ainur Rofiq Al-Amin

Meminjam model analisis hegemoni Antonio Gramsci, bahwa untuk menguasai dan memperoleh power  massa, para ideolog borjuis melakukan hegemoni intelektual baik berupa penggunaan bahasa, moral dan sebagainya. Dengan demikian para borjuis akan memperoleh legitimasi di mata rakyat.[1]  Hal yang sama juga dilakukan  Hizb al-Tahrir untuk memperoleh legitimasi atas pemikiran khilafah-nya, dengan berupaya melakukan hegemoni intelektual. Wujud hegemoninya dilakukan dengan cara eksplorasi dan eksplikasi dalil-dalil agama (Islam) agar masyarakat muslim bisa yakin dengan pemikiran tersebut.

Menegakkan Khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

Hizb al-Tahrir menandaskan bahwa mendirikan khilafah merupakan kewajiban seluruh umat Islam. Dalam buku al-Fikr al-Islami terdapat Bab yang menjelaskan salah pengertian jika “wajib kifayah”diartikan sebagai ‘bila sudah ada sebagian kaum muslim yang melakukan hal itu—sekalipun belum berhasil—maka gugur kewajiban muslim yang lain. Wajib kifayah, menurut Hizb al-Tahrir, ialah jika sebagian orang telah benar-benar selesai melakukan hal tersebut, maka yang lain gugur kewajibannya.[2]

Sekaitan dengan khilafah dan wajib kifayah itu, Hizb al-Tahrir menjelaskan: sekalipun menegakkan khilafah Islam merupakan wajib kifayah, namun selama khilafah belum berdiri, maka setiap individu muslim yang mukallaf berkewajiban menegakkan khilafah. Selama belum berdiri, semua muslim terkena kewajiban tersebut.[3]

Hizb al-Tahrir menambahkan, wajib kifayah pada suatu saat dapat berubah jadi wajib ‘ayn. Semisal salat jenazah yang semula hukumnya wajib kifayah, namun ketika hanya ada satu orang, maka hukum salat jenazah menjadi wajib ‘ayn. Begitu pula jika ada kecelakaan, dan ternyata hanya ada satu orang, maka hukum menolong si korban menjadi wajib ’ayn. Demi menguatkan pendapatnya, Hizb al-Tahrir mengutip pendapat Imam Shams al-Din al-Mahalli dalam Syarh Jam’ al-Jawami’, dan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa.[4]

Jadi, awalnya, status mendirikan khilafah itu wajib kifayah. Tapi karena kemampuan kelompok gerakan Islam yang mengupayakannya belum cukup, maka lalu menjadi wajib ’ayn. Artinya, setiap muslim wajib menegakkan khilafah. Lebih tegas lagi, karena batas toleransi Islam untuk mendirikan khilafah tiga hari, sementara khilafah telah hilang sejak 1924M, maka upaya menegakkan khilafah saat ini bukan lagi ada al-fard, tapi sudah qada’.[5]

Untuk menguatkan lagi bahwa menegakkan khilafah dan melantik khalifah adalah wajib, pengikut Hizb al-Tahrir menambahi dengan pernyataan, khilafah merupakan mahkota dari segala kewajiban yang dibebankan Allah pada muslimin.[6] Menegakkan khilafah menjadi kewajiban utama, bahkan, menurut mantan ketua umum DPP-Hizb al-Tahrir Indonesia, kewajiban paling agung dalam agama.[7] Maka, sebagaimana disitir dalam al-Shakhsiyyah al-Islamiyyah, semua muslim yang tidak berusaha menegakkan khilafah sekarang ini adalah berdosa.[8] Barangsiapa menyepelekan berarti bermaksiat, bahkan maksiat paling besar, yang akan disiksa oleh Allah dengan siksa pedih.[9]

Tidak hanya dosa besar yang diancamkan kelompok ini kepada muslimin, namun juga ditujukan kepada para penguasa diktator (yang telah menghalangi gerakan Hizb al-Tahrir dalam menegakkan khilafah) dan para kafir yang menjajah dan merampas negeri muslim. Menurut kesepakatan Muktamar Ulama di Jakarta, 21 Juli 2009, mereka semua (para penguasa tiran dan diktator) nanti akan mendapatkan balasan hukuman bila khilafah berdiri.[10] Ini mirip dengan pengalaman peneliti, ketika terjadi perebutan pengaruh antara aktivis Hizb al-Tahrir dengan jamaah dakwah lain di masjid Universitas Airlangga pada 1993-an. Sering terdengar ucapan dari ikhwan Hizb al-Tahrir bahwa mereka yang memusuhi dakwah dicatat saja, dan bila nanti khilafah berdiri, semua masuk daftar (black list) untuk diberi hukuman.

Tindakan itu, termasuk cara menakut-nakuti orang lain atau appeal to fear,[11] yang tampak efektif bagi sebagian kaum muslimin sehingga mereka bergabung dengan kelompok ini. Ada cara lain untuk menakuti fihak lain yang berseberangan ini. Juru bicara Hizb al-Tahrir Lebanon pada 18 Juli 2010 mengatakan bahwa gerakan ini selalu berbicara sesuai dengan Islam. Maka, siapa saja mengetahui hal itu dan bersikeras memerangi pemikiran  Hizb al-Tahrir, dengan sendirinya menyatakan perang terhadap pemikiran Islam.[12]

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, batas toleransi kekosongan khilafah adalah 3 hari 3 malam,[13] lebih dari itu berdosa. Kalau keruntuhan khilafah menurut Hizb al-Tahrir terjadi pada 1924M, dan sekarang 2011, maka tiap umat Islam dalam pandangan Hizb al-Tahrir telah memikul dosa selama 87 tahun. Suatu beban dosa panjang dari kewajiban yang bukan termasuk rukun Islam, apalagi rukun Iman.

Begitulah khilafah menghegemoni pemikiran mereka, maka tidak heran ketika membaca ragam tulisan, di buku, majalah, dan buletin; atau ketika menjumpai pengikut Hizb al-Tahrir; hampir dapat dipastikan akan muncul kata ‘magis’ khilafah, berikut dosa-dosa bagi  yang menyepelekannya. Di bawah ini akan diurai lebih lanjut dasar-dasar atau pijakan yang menggiring kelompok ini menyimpulkan bahwa mendirikan khilafah adalah wajib. Kita akan menyampaikan tiga landasan: filosofis, normatif, dan historis.[14]  Sedikit berbeda dengan yang disampaikan HTI dalam buletin Al-Islam edisi 486/tahun XVI, terbit Desember 2009, bahwa gagasan khilafah Islam memiliki landasan teologis (aqidah), normatif (syariah), dan historis. Bersambung []

 

Referensi:

[1] Andrew Vincent, A Theories of the State  (New York: Basil Blackwell, 1987), 167.

[2] Muhammad Isma’il, Al-Fikr al-Islami  (Beirut: Al-Maktabah al-Wa’i, 1958), 14-15.

[3] Muhammad Isma’il, Al-Fikr al-Islami, 14-15.

[4] Nashrah Hizb al-Tahrir,  9 Rajab 1414 H/ 22 Desember 1993 halaman 3.

[5] Ibid, 3-4.

[6] Muhammad Shuwayki, “Taj al-Furud al-Khilafah”, Al-Wa’ie  no. 130 (1998),  8.

[7] Hafidz Abdurrahman, “Menegakkan Khilafah Kewajiban Paling Agung”, Al-Wa’ie No.55 Th.V, edisi khusus  (Maret-2005),  90.

[8] Taqiuddin al-Nabhani, Al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah juz 2 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 21. Al-Nabhani menulis tiga buku yang berjudul sama, yakni Al-Syakhsiyyah al-Islamiyah, hanya saja tiap buku berbeda isinya. Buku jilid duanya berisi Fiqh dan secara khusus Fiqh Politik, tema yang sangat digandrungi dan menjadi sentral perjuangan Hizb al-Tahrir. Dalam buku jilid dua itu al-Nabhani berusaha mengukuhkan, konsep khilafah Islam miliknya adalah yang benar, seperti khalifah pengganti Nabi yang individunya tidak ditentukan syara’. Dalam tema ini tampaknya al-Nabhani ingin mengkonter pemikiran Syi’ah.

[9] Hizb al-Tahrir, Al-Khilafah, (al-Quds: Hizb al-Tahrir, t.t.), 3-4.

[10] Al-Wa‘ie, “Piagam Muktamar  Ulama”, Al-Wa’ie, No.108 Th.IX (Agustus-2009), 63. Menurut Al-Wa’ie, Muktamar Ulama Nasional (MUN) dihadiri 7000 ulama dari seluruh negeri dan dari negara lain seperti  India, Bangladesh, Pakistan, Asia Tengah, Turki, Mesir, Yaman, Libanon, Palestina, Syam, Sudan dan Inggris. Al-Wa‘ie, “Ikhlas Berbuah Pengorbanan”, Al-Wa’ie, No.108 Th.IX (Agustus-2009), 27.

[11] Menariknya, pengikut gerakan ini menuduh buku Ilusi Negara Islam  telah melakukan appeal to  fear—sama seperti dilakukan gerakan ini kepada orang yang tidak mau menegakkan khilafah—karena menyebarkan ketakutan kepada publik bahwa penerapan syariah akan menyebabkan perpecahan bangsa karena mengkotak-kotakkan bangsa Indonesia yang memiliki keyakinan berbeda-beda. Muhammad Ishak, “Ilusi Buku Ilusi Negara Islam ”,  Al-Wa’ie  No.107  Th.IX (Juli -2009), 56.

[12] Humaidi, “Konferensi yang Menggetarkan Dunia”, Al-Wa’ie, No.121 Th.XI (September-2010), 9-10.

[13] ‘Abdulqadim Zallum, Nizam al-Hukm fi al-Islam  (tt: Hizb al-Tahrir, 2002), 91. Hizb al-Tahrir, Ajhizat Dawlat al-Khilafah  (Beirut: Dar al-Ummah, 2005), 52. Taqiuddin al-Nabhani, Al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah juz 2, 21.

[14] Maksud landasan filosofis di sini mengacu pada arti filsafat: “the critical study of the basic principles and concepts of  a particular branch  of knowledge.” Random House  Webster’s College Dictionary,  1014. Landasan filosofis diacu untuk mengetahui alur logika khilafah Hizb al-Tahrir. Landasan historis, digunakan untuk menilai acuan khilafah Hizb al-Tahrir dari sekian banyak model negara atau khilafah atau kerajaan yang pernah ada dalam dunia Islam.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru