33 C
Jakarta

Dari Sahabat Abu Barzah, Kita Mengenal Mudahnya Beragama

Artikel Trending

Asas-asas IslamSirah NabawiyahDari Sahabat Abu Barzah, Kita Mengenal Mudahnya Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari sahabat al-Arzaq ibn Qais, beliau berkisah: Pada satu kesempatan, kami sempat singgah di tepi sungai daerah al-Ahwaz, daerah yang tandus dan kering dari air. Konon katanya, mereka ingin berperang dengan kaum Harura, yakni kaum Khawarij yang tinggal di daerah sekitar 2 atau 3,2 kilometer dari Kufah, Irak. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari: 4, 222). Dari kisah itu pesan yang perlu kita petik bersama adalah mudahnya beragama dalam sejarah Islam.

Sesaat kemudian, datanglah sahabat Abu Barzah al-Aslami bersama kuda tunggangannya. Sesampainya di tengah-tengah rombongan, sahabat yang mendapat julukan Su’bah tersebut (nama panggilan Abu Barzah  al-Aslami) salat di samping  kudanya yang telah diikat.

Di pertengahan salat, tiba-tiba ikatan tali kuda tersebut terlepas, sehingga kuda kabur meninggalkannya. Tak pikir panjang, Abu Barzah al-Aslami langsung membatalkan salat dan bergegas lari mengejarnya. Setelah bersusah payah mendapatkan, Abu Barzah kembali lagi ke rombongan perang tersebut dan mengulang lagi salat yang belum sempat diselesaikan.

Melihat fenomena ini, salah seorang sahabat merasa janggal akan ulah dari Su’bah tersebut. Lalu dia berkata kepada sahabat lainnya: “Lihatlah apa yang dilakukan oleh orang tua ini (Abu Barzah al-Aslami atau Su’bah), dia memutus salatnya hanya karena untuk mengejar kudanya yang lari”.

Mendengar perkataan ini, Abu Barzah al-Aslami menjawabnya: “Sejak Rasulullah Saw. wafat, sungguh tidak pernah ada satu orang-pun yang mencemooh kepadaku. Sesungguhnya rumahku  jauh. Jika aku tetap salat dan membiarkan kudaku lari maka aku akan sampai di rumah pada malam hari dengan berjalan kaki. Dan itu sangat memberatkan”.

Selanjutnya Abu Barzah al-Aslami juga berkisah bahwa dia pernah menemani Rasulullah berperang, bahkan sampai delapan kali. Ketika dia melakukan hal yang demikian (seperti fenomena di atas), Rasulallah Saw. memberikan dispensasi baginya, yaitu memperbolehkan mengejar kudanya yang lari sekalipun membatalkan salatnya.

Berangkat dari Hadis ini, al-Imam Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur menegaskan bahwa setiap hukum yang disyariatkan pasti mempunyai tujuan atau maksud tertentu (maqashid al-syari’ah), salah satunya untuk memudahkan umat (al-taysir). Mudahnya beragama inilah yang menjadi salah satu daya tawar Islam sehingga mudah diterima oleh berbagai kalangan. (al-Imam Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah: 22)

BACA JUGA  Amalan Rasulullah Agar Sembuh dari Segala Penyakit

Ibnu ‘Asyur juga mejelaskan bahwa sejak Islam lahir, maqashid al-syari’ah sudah menjadi parameter dalam penetapan sebuah hukum fikih. Bukan hanya di masa ulama-ulama mazhab, metodologi maqashid al-syari’ah sebenarnya sudah ada di masa sahabat generasi pertama. (al-Imam Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah: 18)

Hal ini juga senada dengan salah satu asas hukum Islam yang disebutkan oleh Muhammad Ali al-Sayis dalam kitab Tarikh al-Fiqh al-Islami, yaitu ‘adam al-haraj (tidak memberatkan).

Menurutnya, salah satu karakteristik hukum Islam adalah mudahnya beragama yang tidak ribet dan atau menuntut banyak persyaratan. Adapun perintah Tuhan yang terkesan memberatkan, hal itu merupakan sebuah kepastian karena pada dasarnya manusia adalah bebas, tidak diatur. Aturan yang dibuat oleh Allah Swt. bukan dalam rangka memberikan beban kepada umat-Nya, melainkan membangun sistem sosial yang bermoral. (Muhammad ‘Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islamy: 30)

Hal ini juga sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surah al-Baqarah ayat 185,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر

Allah Swt. bermaksud memudahkan (dalam segala aturan-Nya) kepada kalian, bukan menyulitkan”.

Berkenaan dengan ayat ini, al-Imam al-Syaukani berkomentar bahwa yang dimaksudkan dengan kemudahan dalam ayat di atas adalah kemudahan di segala urusan agama. Jelasnya, dalam segala aturan yang telah digariskan oleh Allah Swt. tidak ada yang memberatkan, melainkan memudahkan. (al-Imam al-Syaukani, Fath al-Qadir: 1, 239)

Nabi Muhammad Saw. juga pernah mengingatkan perihal ini kepada sahabat Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal ketika mereka diutus ke Negeri Yaman untuk berdakwah. Beliau bersabda,

يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا

Berdakwalah kalian berdua dengan cara memudahkan, bukan malah menyulitkan. Berilah kabar gembira (masyarakat Yaman), bukan malah membuat orang lari (menakut-nakuti)”. (Badruddin al-‘Aini al-Hanafi, ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari: 22, 103)

Alhasil, hukum Islam tidak muncul semata-mata dari otoritas Tuhan kepada hamba-Nya, melainkan juga memperhatikan keadaan atau kondisi hamba-Nya yang sangat lemah. Oleh karena itu, hukum Islam pasti memudahkan umat yang menganutnya, termasuk perilaku Abu Barzah al-Aslami dalam kisah di atas.

Ahmad Shafaa Uzzad, Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru