27.6 C
Jakarta
Array

Darah Santri untuk Nusantara

Artikel Trending

Darah Santri untuk Nusantara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Santri dan pesantren memegang peranan vital pada periode pra dan paska kemerdekaan Indonesia. Sebelum Soekarno dan Hatta membacakan naskah proklamasi, ulama di berbagai daerah telah memimpin santri-santrinya untuk melepaskan diri dari penjajahan. Begitu pun setelah tercapai kemerdekaan, “kelompok sarungan” ini tetap gigih membela tanah airnya. Fatwa jihad dari Kiai Hasyim Asy’ari merupakan contoh kongkretnya. Surabaya menjadi saksi bisu bahwa santri tidak rela tanah airnya dikangkangi sejengkal pun oleh bangsa lain. Pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamoto, Surabaya -pada 19 September 1945- langsung dibalas dengan aksi heroik merobek bagian birunya. Fatwa Jihad benar-benar menambah amunisi para santri mengusir penjajah. Santri menjadi sangat radikal. Tapi radikal dalam arti positif yaitu melakukan segala cara dan upaya untuk membuat kapok kaum kolonial. Bukan radikal negatif yang membabi buta.

Martin van Bruinessen -dalam tulisan Tradisionalist and Islamist Pesantrens in Contemporary Indonesia (2007: 219-220)- mengutip M.C. Rickefs, memaparkan awal mula penyebutan sekolah keagamaan Muslim di Indonesia terdapat dalam dokumen perusahaan Hindia-Belanda pada tahun 1718. Pencatatan ini berdasarkan rumor dan merujuk pada pendirian sekolah pelatihan keagamaan yang diselenggarakan di Surabaya. Claude Guillot, masih seperti dikutip Bruinessen, mengatakan pesantren paling tua yang masih ada hingga sekarang didirikan pada akhir  abad ke-18 di Kampung Tegalsari (dekat Ponorogo, Jawa Tmur). Dari sini bisa kita simpulkan bahwa pesantren telah hadir ratusan tahun di bumi nusantara. Dengan usia selama itu, pasti telah banyak kontribusi yang telah diberikan untuk masyarakat.

Bruinessen melanjutkan,ada banyak variasi madrasah dan pesantren di Indonesia. Lembaga pendidikan agama itu memiliki afiliasi dengan berbagai gerakan Islam Indonesia terkini. Dalam pesantren, pelajaran yang biasa diberikan adalah teks keagamaan berbahasa arab (dalam banyak kasus disertai juga dengan kurikulum non-agama). Kebanyakan pesantren juga berafiliasi dengan NU (atau memiliki pandangan yang sama dengan NU). Inti kurikulum keagamaan pesantren NU adalah fikih madzhab Syafii dan sering dilengkapi dengan etika tasawuf.  Meskipun begitu, beberapa pesantren di Indonesia -dalam jumlah sedikit- memiliki ide yang sama dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan gerakan salafi (2007:239-239).

Norhaidi Hasan, dalam kajiannya berjudul Salafi Madrasah of Indonesia (2007: 248), mengungkapkan bahwa selain madrasah dan pesantren (yang relatif moderate dalam memahami Islam), kini ada lagi kehadiran beberapa lembaga pendidikan Islam yang bercorak konservatif. Beberapa diantaranya terlibat dalam mobilisasi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam militan setelah keruntuhan rezim Soeharto. Secara umum, institusi seperti ini memiliki hubungan erat dengan dinamika gerakan transnasional Muslim.

Pandangan Norhaidi Hasan perlu untuk diperhatikan. Artinya pesantren bisa saja mengajarkan paham-paham yang tidak sesuai dengan konteks keberagaman di Indonesia. Jika semakin banyak pesantren model ini di Indonesia, maka berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Misalnya ada pesantren yang gemar membidahkan tradisi ritual Muslim di Indonesia. Ada juga pesantren yang mengajarkan doktrin agama yang rigid dan saklek. Meskipun begitu, kita bersyukur jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Masih lebih banyak pesantren yang mengajarkan Islam moderat. Pesantren yang sesuai dengan nafas bangsa ini. Nah, model pesantren seperti inilah yang harus diperkuat dan dipertahankan. Agar persatuan dan kesatuan di masyarakat dapat terpelihara dengan baik. Pesantren dan santrinya benar-benar menjadi perekat utama bangsa ini.

Hari Santri Nusantara, yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober lalu, selalu relevan untuk dijadikan sebagai refleksi kebangsaan. Meskipun terminologi yang digunakan adalah ‘santri’, bukan berarti hanya santri saja yang melakukan perenungan. Siapapun bisa memanfaatkan momentum ini untuk makin mempertebal semangat kebangsaannya. Sebab seluruh warga negara Indonesia merupakan unsur penopang utama eksistensi bangsa ini. Santri, pelajar, Muslim Kristen, Tionghoa, Jawa, Sunda, Papua, dsb. Semuanya adalah Indonesia. Maka, setiap diri kita minimal perlu mengajukan satu pertanyaan mendasar “Apakah yang sudah saya berikan untuk NKRI?” Jika kita sudah melakukan kontribusi positif untuk bangsa ini, maka mari ditingkatkan. Sementara jika kita merasa belum melakukan apa-apa, mari kita mulai dari sekarang.

*Rachmanto, Alumnus Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru