28.8 C
Jakarta

Bolehkah Membunuh Seseorang Untuk Menghindari Rasa Sakit Yang Dideritanya?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamBolehkah Membunuh Seseorang Untuk Menghindari Rasa Sakit Yang Dideritanya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Dalam Islam, fenomena yang bersifat dinamis dan problematika hukum, mewajibkan seorang ulama’ memberikan tindakan solutif dalam menanganinya. Dinamika tersebut terjadi diakibatkan zaman yang juga selalu membentuk poros-poros kehidupan yang baru. Islam memperhatikan segala aspek bidang kehidupan seperti ilmu, kedokteran, sosial,-budaya, dan lainnya. Seharusnya, hukum harus terlegitimasi secara qath’iy, diagarkan tidak terjadi hal yang problematis dalam masyarakat untuk menentukan tindakan.

Istilah klinis yang digunakan untuk membahasakan tindakan merenggut nyawa seseorang secara sengaja, adalah euthanasia. Yaitu suatu upaya untuk mempercepat kematian seseorang yang sudah tidak ada kemungkinan untuk sembuh. Tujuan euthanasia adalah membantu pasien untuk menghilangkan penderitaannya, serta membantu meringankan beban dari keluarganya. Dalam buku ioetik Dalam Al-Qur’an, karya Indar, dijelaskan bahwa tindakan euthanasia ini harus dilakukan melalui kesepakatan dari pihak pasien, keluarga pasian, dan dokter.

Secara garis besar, euthanasia diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu euthanasia aktif dan pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan sengaja pemberian obat atau jenis lain oleh dokter untuk mempercepat kematian pasien.

Sedangkan euthanasia pasif adalah usaha yang minim oleh dokter dalam pengobatan pasien, sehingga kematian pasien berjalan secara ilmiah. Kematian seara ilmiah ini sering dibahasakan dengan mercy killing.

Eusthanasia Perspektif Filsuf Yunani Kuno

Cara kerja euthanasia beraneka, dari pemberian obat, suntik mati, atau infus. Secara historis, istilah euthanasia diperkenalkan oleh Hippokrates, seorang dokter pada masa Yunani Kuno.

Hippokrates mendeklarasikan dengan sumpahnya, bahwa ia tidak akan mempraktikkan tindak euthanasia.

Pythagoras secara spekulatif-argumentatif melawan tindakan tersebut. Begitu juga Aristoteles menolak euthanasia karena menggugurkan nilai-nilai luhur manusia.

Sedangkan Plato, di satu sisi ia bertolak belakang dengan tindakan bunuh diri, sedangkan di sisi lainnya, ia bersimpati dengan praktik euthanasia. Dengan ketentuan, pasien mengalami penderitaan yang luar biasa hebat. Dalam wacana dialektika Kristen katolik, euthanasia merupakan tindakan yang tidak mulia. Itu adalah suatu bentuk belas kasih semu, bahkan prevensi belas kasih yang merisaukan.

Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai pernyataan para Imam Madzhab empat mengenai tindakan euthanasia secara deskriptif-argumentatif. Dalam Al-Qur’an sendiri disebutkan beberapa ayat yang berkaitan dengan nyawa seseorang. Dalam QS Al-Isra’ ayat 33 disebutkan,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ

“Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar”

Dalam ayat tersebut, secara literatur disebutkan bahwa membunuh seseorang tanpa alasan yang benar hukumnya haram. Tindakan euthanasia tidak hanya menyangkut pasien dan keluarga pasien, tapi juga melibatkan tenaga medis. Tenaga medis, khususnya dokter bernaung di bawah legislasi kode etik kedokteran, yang menyebutkan bahwa dokter tidak memiliki otoritas untuk mengakhiri kehidupan seseorang dan berkewajiban menangani sebaik-baiknya.

Membunuh yang dimaksudkan dalam ayat di atas mengandung pengertian segala macam bentuk dan jenis pembunuhan, termasuk juga membunuh dengan jalan euthanasia itu termasuk dalam kategori ayat tersebut, yaitu membunuh secara sengaja terhadap seseorang dengan bantuan dari orang lain. Dalam pengertian ini ada subjek, yaitu orang yang membantu melakukan proses pembunuhan dan ada obyek yaitu pasien yang tengah mengalami penderitaan yang dinilai cukup tragis.

BACA JUGA  Begini Hukum Wanita I'tikaf di Masjid pada Malam Lailatul Qadar

Euthanasia dalam Tinjauan HAM

Bertabrakan dengan ketentuan diatas, dala ranah HAM terdapat term The right self of determination, yaitu manusia berhak menentukan nasibnya sendiri. Dalam kata lain, pasien memberikan persetujuan atas pengakhiran kehidupannya. Argumentasi tersebut diimplementasikan oleh beberapa negara seperti Belanda, Amerika, Belgia, Spanyol Jerman, Denmark, dan Colombia.

Secara implementatif, negara-negara yang melegalkan tindak euthanasia diberlakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain orang yang ingin diperpendek hidupnya adalah orang yang benar-benar dalam keadaan sakit dan menderita, potensi kesembuhannya kecil, rasa sakit yang tak terkendalikan sehingga hanya reda diatasi dengan morfin, keputusan atas tindak euthanasia adalah mutlak otoritas dokter dan keluarga.

Euthanasia Perspektif Madzhab Empat

Secara logika, euthanasia tepat untuk disandingkan dengan konteks agama, karena agama juga memiliki legitimasi dalam undang-undang pembunuhan. Konteks euthanasia sudah ada sejak zaman dulu, akan tetapi tidak ada pendapat tunggal dalam penetapan hukumnya, sehingga cenderung menimbulkan keputusan yang dilematis.

Dalam konteks hukum, euthanasia menjadi bermasalah karena berkaitan dengan jiwa atau nyawa seseorang oleh hukum sangat dilindungi keberadaanya. Sedangkan dalam konteks agama Islam, euthanasia menjadi bermasalah karena kehidupan atau kematian adalah berasal dari penciptanya.

Pembahasan terakhir ini akan diuraikan mengenai pendapat Imam Madzhab Empat mengenai hukum euthanasia beserta jenis hukumannya:

Untuk membahas perihal euthanasia, agaknya pembaca akan lebih mampu memahami secara sistematis, jika juga diurai perihal hukum pengobatan oleh para Imam. Imam Hanafi menyatakan bahwa berobat hukumnya adalah Sunnah muakkadah dan hampir mendekati wajib.

Secara logika, ketika bagi Imam Hanafi berobat hukumnya Sunnah muakkadah bahkan mendekati wajib, maka euthanasia, tindakan yang mempermudah kematian dan melonggarkan pengobatan, hukumnya menjadi haram. Bagi Imam Hanafi, kafarat yang harus dipenuhi oleh pelaku adalah membayar diyat, sebanyak 100 ekor unta atau seharga itu.

Imam Malik memberikan pandangan terhadap tindakan pengobatan, “Tidak mengapa tidak berobat dan juga tidak mengapa jika berobat”. Spekulasi yang dilancarkan oleh Imam Malik tersebut mengindikasikan bahwa berobat hukumnya mubah. Sedangkan dalam ranah euthanasia, Imam maliki berspekulasi bahwa hukum euthanasia adalah haram dan pelaku euthanasia harus dihukumi qishash, walaupun tindakan tersebut dilandasi persetujuan dari pasien dan keluarga pasien. Imam Malik tidak mengakuisisi adanya kesepakatan dalam tindak euthanasia. Dengan itu, ia berspekulasi atas keharaman mutlak atas tindakan euthanasia.

Imam syafi’i sendiri memiliki pandangan bahwa berobat hukumnya Sunnah. Akan tetapi terdapat kelompok pengikut syarfi’i yang mengatakan bahwa berobat hukumnya wajib. Sebagian penganut madzhab syafi’I memberikan tanggapan bahwa euthanasia hukumnya mubah, dan pelaku terlepas dari hukuman. Akan tetapi terdapat sebagian lain yang memiliki pandangan sebaliknya.

Imam Ahmad mengatakan berobat hukumnya wajib. Akan tetapi berbeda dengan logika awal, bahwa dengan kewajiban berobat, tidak melarang adanya tindak euthanasia. Hal itu karena keadaan yang sangat mendesak yang menybabkan sehingga tiada solusi lain selain tindakan euthanasia. Hal itu juga disebutkan dalam buku karya Yusuf Qardhawi dengan judul, Fatwa-Fatwa Kontemporer.

 

Oleh Mahfudhin

Mahfudhin
Mahfudhin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru