27.3 C
Jakarta

Berantas Rasisme Yang Melunturkan Nilai Toleransi

Artikel Trending

KhazanahOpiniBerantas Rasisme Yang Melunturkan Nilai Toleransi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pada dasarnya manusia yang ada di muka bumi ini tersebar diberbagai penjuru dunia. Memiliki perbedaan fisik antarsatu sama lainnya secara nyata dapat dilihat oleh mata. Perbedaan fisik ini antara lain yaitu perbedaan baik dari warna kulit, bentuk mata, bentuk rambut, atau yang lainnya.

Dari perbedaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi suatu hal yang biasa kita kenal dengan sebutan perbedaan ras. Perbedaan ras itu sendiri adalah suatu perbedaan baik jasmani maupun rohani yang dimiliki oleh setiap manusia.

Di dunia ini ada berbagai macam ras, di antaranya yaitu ras Mongoloid, Negroid, dan Europoid. Dari banyaknya ras tersebut, tak jarang justru mengakibatkan munculnya suatu sikap yang secara hukum bernegara dan kemanusiaan sikap tersebut tidaklah patut, sikap tersebut yakni rasis atau rasisme.

Rasisme bisa menjadi suatu sikap yang sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia. Sebab sejak awal mereka percaya bahwa ras tertentu bisa berperilaku secara berkuasa terhadap ras atau suku lainnya. Rasisme juga memunculkan anggapan mengenai suku tertentu yang lebih rendah atau lebih tinggi dari suku lainnya.

Pancasila dikenal sebagai filosofi hidup bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya di era sekarang ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat Indonesia yang cenderung melenceng. Tujuan awal pembentukan negara yang menjadikan Pancasila sebagai landasan hidup yakni Pancasila bisa dijadikan pandangan hidup dalam bermasyarakat.

Bagaimana kita sebagai warga negara harus bisa memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan. Pergeseran sosial masyarakat memunculkan problematika baru saat ini, salah satunya yaitu kasus rasisme.

Munculnya perilaku rasisme di tengah-tengah masyarakat saat ini membuktikan bahwa, sikap dan nilai toleransi yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia perlahan mulai luntur dan hilang. Sebagian masyarakat mungkin menganggap rasisme merupakan hal yang biasa saja, namun kenyataannya rasisme ini dapat menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia sendiri.

Dalam berbagai forum dunia, Indonesia sering kali dipuji sebagai negara dengan toleransi beragama yang tinggi. Pemeluk agama yang berbeda-beda hidup damai dan harmonis. Indonesia bahkan sering dijadikan model di mana negara yang mayoritas penduduknya muslim tidak mendirikan negara Islam, melainkan Pancasila.

Secara umum terlihat bahwa kehidupan keagamaan di Indonesia aman dan damai tidak dapat dipungkiri. Tetapi, realitanya toleransi keagamaan masih jauh dari kata ideal. Kerusuhan bernuansa agama di Tolikara, Manokwari, Singkil, dan tempat lainnya menunjukkan bagaimana kerukunan dan toleransi yang sejati belum terwujud.

Bukan hanya toleransi  dari segi keagamaannya saja yang mulai luntur, bahkan  masalah ras yang ada di Indonesia juga menjadi permasalahan. Adanya berbagai macam ras di Indonesia bukanlah hal yang baru melainkan sudah ada sejak lahirnya bangsa Indonesia. Tapi mengapa justru sekarang banyak lapisan masyarakat yang mempermasalahkan hal tersebut sehingga memunculkan aksi rasisme. Dengan mendoktrin suatu ras dengan doktrin yang tidak baik dan belum tentu kebenarannya.

Persoalan rasisme saat ini banyak terjadi di dunia mahasiswa, di mana masa-masa menjadi mahasiswa yaitu masa mulai terjunnya anak-anak muda di dunia masyarakat. Anak muda yang sedang bersemangat memperjuangkan hak-haknya dengan menyampaikan segala argumennya. Maka tidak heran jika  masalah rasisme kebanyakan muncul ditengah-tengah kehidupan mahasiswa.

Contoh rasisme di lingkungan mahasiswa yang sangat umum orang ketahui adalah masalah rasisme kepada mahasiswa papua di sejumlah daerah. Hal tersebut terbukti dari banyaknya kasus yang melibatkan mahasiswa papua, yang penyebabnya tidak lain dan tidak bukan masih berkaitan dengan rasisme.

Terkait pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya Pada Rabu, 14 Agustus 2019. yang dilakukan oleh sebagian aparat dan masyarakat sekitar. Diawali dengan tuduhan mahasiswa Papua merusak tiang bendera merah putih di depan asrama, dan membuang bendera itu ke selokan.

BACA JUGA  Memupuk Akar Moderasi Beragama di NKRI

Dari situ kemudian muncullah segala macam umpatan rasial yang dilontarkan oleh aparat dan masyarakat yang terus bersahutan ditujakan kepada mahasiswa Papua yang ada di dalam asrama. Umpatan rasial itu saling bersahutan disertai dengan segala macam ancaman yang dilontarkan. meskipun kasus tersebut sudah ditindak lanjuti oleh pihak yang berwenang dan sebagian pelaku tindak rasial tersebut sudah diberi sanksi.

Tetapi, hati masyarakat Papua sudah terlanjur terluka dengan segala umpatan yang ditujukan kepada mereka. Untuk menyembuhkan luka hati itu tidak akan mudah, luka hati itu bahkan belum tentu akan tersembuhkan. Meskipun seluruh pengepung Asrama Mahasiswa Papua itu ditangkap dan diadili karena ancaman kekerasan dan berbagai umpatan rasial yang mereka tujukan kepada para penghuni Asrama Mahasiswa Papua.

Menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial bukanlah hal yang mudah terutama bagi seseorang yang berasal dari tempat yang jauh dan memiliki banyak perbedaan baik dari segi budaya dan sosialnya. Hal tesebut menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa dari Papua yang merantau di kota-kota besar, yang sudah sangat jelas memiliki banyak perbedaan terutama masalah norma-norma.

Salah satu permasalahan yakni dari sisi psikologis. Mahasiswa Papua umumnya memiliki ciri fisik yang relatif berbeda (ras Austranesia) yaitu ciri fisik mirip dengan ras negroid yaitu: berwarna kulit hitam, memiliki hidung yang besar, memiliki rambut keriting, dan bertubuh tinggi, selain itu juga memiliki suara yang lantang dan keras. Dari perbedaan inilah yang juga menimbulkan perilaku yang berbeda yang ditunjukan sebagian besar mahasiswa papua dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru.

Sebagian mahasiswa papua mungkin ada yang mengalami berbagai perlakuan berbeda yang mereka terima karena warna kulit dan rambut sehingga mudah dikenali dan sering di perhatikan, terutama suara lantang yang harus membuat mereka lebih berhati-hati dalam berkata.

Kesulitan bahasa yang mereka alami juga terkadang membuat mereka lebih memilih diam karena takut salah berkata-kata dan salah memilih kalimat. Mahasiswa Papua yang merantau di kota-kota besar sering kali dianggap kehadiran mereka sebagai biang masalah, atau perilaku bruta. Kehadiran mereka dianggap sebagai sumber masalah di lingkungan masyarakat.

Sebagai mahasiswa perantauan pasti tugas pertama yaitu berusaha untuk bersosialisasi dan belajar beradaptasi di lingkungan tempat tinggal yang baru. Menjalin hubungan akrab dengan orang-orang di lingkungan baru menjadi sangat penting bagi mahasiswa yang sama sekali tidak memiliki kenalan dan keluarga.

Tinggal dalam keadaan lingkungan masyarakat yang berbeda dari segi sosial dan budaya tentunya dapat memunculkan permasalahan tertentu, baik berdampak secara psikologis, akademik dan sosial. Faktor perbedaan bahasa, norma, kebiasaan, dan iklim geografis menjadi masalah utama.

Salah satu hal yang bisa menjadi faktor utama terjadinya suatu disintegrasi adalah kurangnya sikap toleransi dan maraknya kasus diskriminasi. Diskriminasi rasial dan rasisme menjadi urgensi penting yang menimbulkan sumber konflik dalam toleransi kebhinekaan. Maka perlu adanya sinergitas dari berbagai pihak agar dapat menghentikan praktik diskriminasi ini.

Bangsa Indonesia seharusnya sadar akan posisinya sebagai bangsa yang beragam dan dapat melibatkan nilai-nilai toleransi di setiap perilaku dalam bersosialisasi dan bermasyarakat. Pancasila merupakan ideologi bangsa yang seharusnya dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai golongan dan lapisan.

Masyarakat Indonesia yang beraneka ragam telah dibingkai dalam satu konsep negara kesatuan republik Indonesia, oleh karena itu seharusnya seluruh elemen masyarakat harus bisa menyadari bahwa perbedaan itu merupakan anugerah yang harus dihargai dan dihormati sehingga bisa tetap menjaga keutuhan suatu bangsa.

Septy Nur Fadhilah
Septy Nur Fadhilah
Mahasiswa Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru