26.6 C
Jakarta
Array

Belajar Produktif Menulis dari Para Ulama

Artikel Trending

Belajar Produktif Menulis dari Para Ulama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

            Saya suka membaca hal-hal seputar menulis. Dari pembacaan tersebut saya memperoleh beragam informasi, dari yang ringan dan biasa-biasa saja sampai yang tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Karena yang ringan dan biasa-biasa saja sudah banyak ditulis dan dibahas orang, maka di sini saya akan mengambil jalan lain—mengungkap hal yang jarang diketahui orang, hal-hal luar biasa soal menulis. Tepatnya, tentang ulama-ulama yang produktivitas menulisnya sangat “tidak masuk akal”. 

            Pertama adalah Ibnu Taimiyah. Bagi orang-orang yang menggeluti dunia keislaman, tentu tak asing dengan nama tersebut. Beliau—yang juga biasa disebut “Syaikhul Islam” Ibnu Taimiyah—adalah ulama besar multitalenta yang lahir pada abad ke-7 Hijriyah. Ibnu Taimiyah adalah seorang penulis produktif. Puluhan kitab dalam berbagai bidang telah ditulisnya. Salah satu kisah ajaib beliau dalam hal menulis adalah sewaktu beliau menulis sebuah kitab ‘Aqidah penting dan masih banyak dipelajari sampai sekarang berjudul ‘Aqidah al-Washitiyyah. Tahukah kamu, buku tersebut hanya beliau tulis dalam sekali duduk! Dan buku tersebut dikenal rumit dan perlu perhatian intensif untuk memahami isinya, apalagi untuk orang awam.

            Kedua adalah Ibnu ‘Aqil. Nama satu ini barangkali masih jarang didengar orang. Beliau adalah ulama besar mazhab Hambali, yang hidup pada abad ke-5 Hijriyah. Dalam biografinya, disebutkan bahwa beliau adalah orang yang sangat menghargai waktu. Waktu yang beliau miliki tidak digunakan untuk hal sia-sia. Beliau memanfaatkan waktunya untuk berpikir, membaca, dan menulis. Karena itu, tak heran jika beliau dapat menghasilkan begitu banyak tulisan.

Ibnu ‘Aqil pernah menulis sebuah kitab bertajuk Al-Funun, semacam kitab bunga rampai yang berisi tulisan-tulisannya tentang berbagai bidang kehidupan. Tahukah kamu, dalam satu riwayat disebutkan bahwa buku Al-Funun tersebut tebalnya mencapai 800 jilid! Jika jilid-jilid tersebut ditumpuk, kira-kira tingginya adalah 40 meter. Tentu kita bisa bayangkan seberapa tebalnya buku itu dan seberapa serius serta gigihnya si penulis saat menulis buku tersebut.

Ketiga adalah Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau lebih dikenal Ibnu Jarir ath-Thabari. Beliau hidup pada abad ke-3 Hijriyah. Ath-Thabari adalah nama yang lumayan masyhur, terutama dalam bidang ilmu tafsir. Beliau adalah penulis kitab tafsir terkenal Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an atau yang lazim dikenal Tafsir Ath-Thabari. Ath-Thabari juga merupakan penulis kitab sejarah Islam yang sangat tebal dan populer Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk. Dua buku itu saja sudah menunjukkan kecakapan beliau dalam hal menulis. Sedangkan kitab-kitab tulisan beliau masih banyak lagi.

Dalam suatu riwayat, seorang sejarawan menyebutkan bahwa Ibnu Jarir ath-Thabari memiliki kebiasaan menulis sebanyak 40 lembar dalam sehari. Bayangkan, bukan 40 kata atau 40 kalimat apalagi cuma 40 huruf. Tapi 40 lembar! Menulis 40 lembar dalam sehari dan secara rutin tentu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang kuat otak dan fisiknya. Dan Ibnu Jarir ath-Thabari menjadi salah seorang yang Allah karuniai dengan nikmat sanggup memanfaatkan waktu luang sehingga bisa merutinkan menulis sebanyak itu.

Demikianlah di antara tiga contoh ulama penulis yang sangat produktif. Sebetulnya ada banyak lagi ulama dalam sejarah Islam yang produktif menulis, baik ulama internasional maupun ulama nusantara. Di antaranya adalah Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ibnul Jauzi, Ibnu Hajar al-Asqalani, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh al-Albani, Syaikh Nawawi al-Bantani, Buya Hamka, Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dan masih banyak lagi lainnya.

Dengan mengetahui produktivitas para ulama tersebut dalam menulis, semoga dapat pula melecutkan semangat kita untuk senantiasa berkarya. Untuk tak letih menghasilkan tulisan-tulisan yang bermanfaat bagi semesta. Ada sebuah ungkapan, “Berjihad dengan pena itu kadang lebih utama daripada berjihad dengan pedang. Sebab, dengan pena, kau bisa menebas musuh-musuhmu dari jarak sejauh apa pun dan pada waktu kapan pun.” (*)

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru