27.5 C
Jakarta

Belajar Berkurban dari Radikalisme Cinta Keluarga Ibrahim

Artikel Trending

Milenial IslamBelajar Berkurban dari Radikalisme Cinta Keluarga Ibrahim
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Wahai anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku benar-benar menyembelih dirimu. Apa pendapatmu?” kata “Ibrahim” penuh kegetiran.

“Wahai ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Semoga saya termasuk orang-orang yang sabar, insya Allah,” kata Ismail tenang.

Kisah itu tercatat dalam surah Ash-Saffat 99-113, sebuah kisah pengurbanan maha dahsyat ketika sang bapak (Ibrahim) disuruh menyembelih putra kesayangannya (Ismail), hanya sekadar perintah teologis.

Perintah yang tak masuk akal.

Bagaimana mungkin seorang bapak tega membunuh anak terkasihnya. Apalah arti iman dan semerbak ketaatan terhadap Tuhan? Apalah arti Tuhan atas perintah “bengisnya”? Di mana pilihan moral seorang bapak yang memutuskan memilih menyembelih putranya (seorang manusia) demi cinta Tuhan?

Tak terbayang wajah Ibrahim ketika mengatakan perintah Tuhan kepada Ismail. Tak terbayang melihat kilap pisau tajam yang dipegang Ibrahim, dan rupa-rupa wajah keduanya pasrah di depan pisau kematian, dengan sembelihan yang bakal memisahkan kepala dan badannya, memisahkan ayah dan bapak selama-lamanya.

Setiap irisan, memuncratkan darah merah dari leher anak terkasihnya. Setiap gel-gellan, melelehkan kesombongan, ketidakrelaan, dan ketidakberdayaan sebagai seorang Ayah. Seperti tangan-tangan ustaz menyembelih leher sapi. Darah merah melekat di tangannya. Darah merah menetes membasahi bumi.

Di situ, mungkinkah Ibrahim masih berwajah manusia, seperti vis misi Tuhan ketika menciptanya: lembut dan bermoral. Ataukah hanya dalam keadaan berwajah dan bersukma dan berwujud manusia, yang di sekujur badannya dikuasai (cinta) Tuhan?

Ismail adalah anak tumpuan harapan Ibrahim satu-satunya. Sejak menikah, kita tahu, Ibrahim tak langsung dikaruniai anak. Ia harus menikah lagi dengan wanita lain, di mana wanita itu adalah pilihan pertamanya. Dan terciptalah anak Ismail. Ketika punya anak, Ibrahim harus meninggalkan mereka di padang yang panas bak bara Matahari. Hanya air zam-zam yang bisa menolongnya!

Setelah meninggalkan mereka bertahun-tahun. Ujungnya, Ibrahim diperintah Tuhan untuk membunuh anak kesayangannya, yang sejak lama didambakannya. Ibrahim dipaksa mengurbankan Ismail.

Perintah Pengurbanan

Perintah pengurbanan ini, dalam catatan sejarah agama monoteisme, adalah tragedi yang menggunjangkan nurani kemanusiaan. Pengurbanan anak, adalah perintah maha “bengis” yang bar-bar, perintah yang tidak berperikemanusiaan (Sukri, 2015).

BACA JUGA  Stop Polarisasi! Rakyat Indonesia Mesti Bersatu

Tapi di balik pengurbanan demi cinta dan iman Sang Ayah, pengorbanan penghabisan cinta keluarga yang dahsyat, ada sesuatu pesan tersirat yang penting ditancapkan. Menurut Sukri, kurban hanya menjadi berarti dan sakral karena penghabisan yang tandas dari yang paling berharga.

Di hadapan kematian, semua keputusan menjadi laku pengorbanan.

Dalam pengorbanan martir Ismail, ada sukma yang masuk, kemudian tenggelam di dalam dada Ismail dan Ibrahim: pasrah dan keihklasan atas Tuhan (Emha Ainun Nadjib, 2011). Tapi ketika pisau hampir tiba dan menebas leher Ismail, Tuhan berhendak yang lain. Bukan Ismail (atau Ishak) yang disembeleh, melainkan makhluk lain yakni hewan.

“Dalam hitungan detik, Ismail telah diangkat. Kemudian Tuhan meletakkanlah kambing sebagai ganti sekaligus sebagai tanda bahwa pengorbanan Ibrahim dan Ismail telah diterima Gusti Allah” (Fauzi, tth). “Kami abadikan untuk Ibrahim di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Salam sejahtera bagi Ibrahim” (QS. Ash-Shffat 108-109).

Dalam peristiwa itu, Tuhan terlihat begitu cemburu atas semaian cinta Ibrahim ke keluarganya (Ismail). Tuhan melampaui cinta atas manusia terhadap manusia lainnya.

Pelajaran penting, Tuhan tak menghendaki manusia menjadi kurban. Tuhan tak menghendaki nyawa manusia dikurbankan atas nama agama sekalipun. Di sinilah ISISJAD teroris kebalikan dari sifat Tuhan, yang secara terang dan bengis selalu membunuh manusia atas namanya. Termasuk politisi dan oligarki Jakarta, yang keji membunuh kemanusiaan dan karakter manusia lainnya.

Agama tak menyuruh mengurbankan/mengorban nyawa manusia atas alasan sebuah kedigdayaan agama dan tahta kuasa. Agama menyuruh manusia untuk saling cinta dalam kerukunan yang saling menggembirakan dan memartabatkan. Agama hanya menyuruh berkurban atas dosa, amarah, kesombongan, dan kedekilan yang tertanam kuat di dalam dada dan rongga manusia.

Itulah makna pengurbanan, atau peringatan kolosal terakbar yang selalu diperingati kita, dan jutaan umat manusia: Iduladha. Selamat merayakan Ibada Iduladha, teman. Salam sate Madura.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru