29.3 C
Jakarta
Array

Aplikasi Piagam Madinah dalam Konstitusi Indonesia (2)

Artikel Trending

Aplikasi Piagam Madinah dalam Konstitusi Indonesia (2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Piagam Madinah Sebaga Konstitusi Islam

Oleh: KH. M. Cholil Nafis, Lc., Ph.D

Piagam Madinah merupakan sejarah pertama dalam konstitusi Islam dalam mencapai konsensus bersama dalam masyarakat yang majemuk dan plural adalah inisiatif dan ketetapan Nabi Muhammad saw untuk mengorganisir dan mempersatukan umat manusia sebagai umat yang satu (ummat wahidah) .

Yatsrib adalah nama kuno dari Madinah al Munawwarah, wilayahnya merupakan daerah oasis penghasil kurma unggul dan gandum, mempunyai tanah yang subur dan air yang berlimpah serta dikelilingi dari setiap penjurunya oleh batu-batu volkanis hitam. Ketika Nabi Muhammad saw berhijrah ke Madinah keberagamaan masyarakat lebih heterogen dari pada masyarakat Mekkah. Dua suku besar dan dominan di Madinah ialah suku Aws dan Khazraj  penganut agama nenek moyang mereka yang menyembah berhala dan mempercayai roh-roh dan benda-benda yang dapat mendatangkan kebaikan atau nasib sial. Sedangkan orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah adalah menganut agama Yahudi yang mengajarkan monoteisme. Bahkan mereka mencela perilku orang-orang Arab yang menganut paganisme.

Di  samping  penganut  agama  Yahudi  dan  paganisme  ada juga di kalangan  bangsa Arab yang menganut agama Masehi atau agama Kristen. Di Hijaz paling tidak ada dua suku yang menganut agama Kristen, yaitu suku Judam dan Udhra’. Sementara di antara bangsa Arab ada yang menganut agama Hanafiyah yang di bawa oleh Nabi Ibrahim as.

Menurut Hasan Ibrahim Hasan, penduduk Madinah dapat dibagi menjadi tiga golongan besar. Pertema; kaum Muhajir, mereka adalah kaum imirgran yang  eksodus dari  Mekkah  ke Madinah  untuk  menyelamatkan  agamanya.  Kedua; kaum Anshor, mereka adalah penduduk asli Madinah yang kemudian secara suka rela masuk agama Islam. Mereka adalah suku Awus dan Khazraj. Ketiga; kaum Yahudi, mereka suku Yahudi atau orang Arab yang telah masuk Yahudi, kemudian secara berangsur mereka keluar dari Jazirah Arab.

Muhammad Zafrullah Khan juga menyebut empat golongan dengan rumusan yang berbeda. Pertama, kaum muslimin, terdiri dari muhajirin dan Ansor. Kedua, golongan Awus dan Khazraj yang keislamannya masih dalam tingkat nominal, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi saw. Ketiga, golongan Aws dan Khazraj yang masih menganut paganisme, tetapi dalam waktu yang singkat telah menjadi muslim. Dan keempat, golongan Yahudi yang terdiri dari tiga suku utama, yaitu Banu Qaynaqa’, Banu Nadhir, dan Banu Quraizhah.

Nabi Muhammad saw melihat adanya kebutuhan penataan ulang tentang struktur masyarakat Madinah dalam membangun pola hubungan dan kerjasama sosial, politik, ekonomi dan agama. Estimasi ini tampak jelas dalam langkah Nabi saw  dalam awal-awal membangun negara Madinah. Yaitu melakukan terjun ke masyarakat untuk mengikat solidaritas yang dibangun atas ikatan ideologis dan mengubur fanatisme-fanatisme yang menjadi sejarah konflik di antara penduduk Madinah. Langkah awalnya adalah konsolidasi internal, antara kaum Muhajirin dengan kaum Ansor. Kemududian Nabi saw mengkonsolidasi seluruh komunitas di Madinah.

Sebenarnya benih-benih daulat rakyat kepada Nabi Muhammad saw telah tumbuh pada peristiwa bai’at al Ula (bai’at al Nisa’, tahun 621 H.) dan bai’at ‘Aqabah (622 H.). Di mana dalam ikrar bai’at itu selain menyatakan iman kepada misi yang di bawa oleh Nabi saw juga menyatakan ikrar kesetiaan, ketaatan dan penyerahan kekuasaan kepada Nabi Muhammad saw. yang didaulat sebagai kepala negara

Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun pertama hijriyah, Nabi saw memperoleh pengakuan yang legal dan lebih luas di luar intern umat Islam. Dengan strategi dakwah yang dijalankan oleh Nabi Muhammad saw dan posisinya sebagai penengah antara beberapa suku dan kelompok di Madinah serta upaya mempersatukan mereka dalam wadah kebersamaan, Nabi saw. telah mampu mengikat tali kerjasama antara kaum Yahudi, Kristen dam kaum muslim di Madinah. Ini ditandai dengan lahirnya perjanjian tertulis (Piagam Madinah) antara orang-orang muslim Muhajirin dan Ansor bersama kaum Yahudi dan sekutunya yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad saw. Dalam perjanjian tertulis itu, Nabi saw diakui sebagai pemimpin tertinggi dan sebagai hakam (penegah) bagi penandatanganan Piagam serta siapa saja yang bergabung dengan mereka.

Dalam kajian-kajian ilmu politik ditegaskan bahwa tugas-tugas kepala negara untuk mencapai tujuan negara antara lain membuat undang-undang dan peraturan-peraturan serta melaksanakannya, menghukum orang yang salah, meminta pertimbangan dari orang-orang yang dipandang cakap dan mengetahui hal-hal tertentu.

Upaya untuk mencapai tujuan negara menurut Charles E. Merriam, negara mempunyai lima fungsi, yaitu keamanan ekstern, ketertiban intern, kesejahteraan umum, kebebasan dan keadilan. Menurut Budiardjo, setiap negara apapun bentuknya mempunyai minimum empat fungsi yang mutlak yang perlu dilaksanakan oleh kepala negara, yaitu melaksanakan penertiban untuk mencapai tujuan bersama, mencegah konflik-konflik dalam masyarakat, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, membangun pertahanan untuk memelihara kemungkinan serangan dari luar, menegakkan keadilan.

Pandangan para ahli politik Islam tidak berbeda dengan teori politik modern tentang kriteria kepala negara dan fungsinya. Menurut al Baghdadi, fungsi negara yang harus dilakukan oleh kepala negara ialah melaksanakan undang-undang dan peraturan, menegakkan hukum bagi pelanggar hukum, mengorganisir militer, dan mengelola zakat dan pajak.

Menurut al Mawardi, bahwa fungsi negara yang harus diwujudkan oleh kepala negara adalah menjamin hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan, menegakkan keadilan, membangun kekuatan untuk menghadapi musuh, melakukan jihad terhadap orang yang menentang Islam, memungut pajak dan zakat, meminta nasihat dan pandangan dari orang-orang terpercaya, dan kepala negara harus langsung mengatur urusan umat dan agama, dan meneliti keadaan yang sebenarnya.

Dalam Piagam Madinah yang hanya dihadiri oleh pemuka suku dan kaum elit dari kalangan muslim dan non muslim yang masing-masing mewakili warga dan sukunya, namun dapat dikatakan bahwa mereka telah membawa aspirasi segenap penduduk Madinah. Setiap suku yang ada di Madinah pada saat itu tercantum dalam teks Piagam.

Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi per­janjian masya­rakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komu­nitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.

Menurut John Lock, kesepakatan yang didapat melalui perjanjian masyarakat meskipun itu individu-individu dapat dianggap sebagai tindakan seluruh warga masyarakat, dan oleh karenanya mewajibkan individu lain mentaati persetujuan tersebut. Ungkapan ini sejalan dengan teori ashabiyyaat-nya Ibnu Kholdun meskipun tidak bicara dalan kontek kontrak sosial.

Perjanjian yang terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan komunitas-komunitas penduduk Madinah membawa mereka kepada kehidupan sosial yang teratur dan terorganisir, atau dari keadaan zaman pra-negara yang disebut alamiah (state of nature/status naturalis) ke zaman bernegara di bawah kepemimpinan Nabi saw.

Di dalam piagam itu, Menurut Muhammad Jalaluddin Surur, terdapat peraturan bagi segenap warga negara dan memuat hak dan kewajiban (tugas) semua pihak sebagai syarat-syarat yang mengakui keberadaan mereka. Muhammad al Ghazali memandang perjanjian itu bernilai strategis bagi Nabi saw untuk mengembangkan risalahnya dalam menata hubungan manusia muslim dengan Tuhan dan hubungan sesama umat Islam di satu sisi serta hubungan umat Islam dengan non muslim di sisi lain. Dalam pada itu, kaum Yahudi dan penyembah berhala tetap dalam agama dan keyaknan mereka, dan mereka boleh tetap tinggal di tengah-tengah masyarakat Madinah.

Dalam Piagam Madinah tulis Muhammad Khalid, terdapat ketetapan mengenai dasar-dasar negara Islam yang bekerja untuk mengatur suatu umat dan membentuk suatu masyarakat serta menegakkan suatu pemerintahan.  Karena itu, menurut Gibb, undang-undang legislatif Islam yang pertama itu telah meletakkan dasar-dasar sosio-politik untuk mempersatukan penduduk Madinah, dan teks itu hasil dari inisiatif Nabi Muhammad saw, bukan dari wahyu.

Realitas sejarah dan komentar para pakar tentang piagam Madinah menunjukkan bahwa Piagam Madinah adalah sebuah konstitusi pertama dalam Islam yang sangat penting dan memiliki nilai dan posisi strategis dalam mengantarkan misi Nabi saw untuk mempersatukan penduduk Madinah yang heterogen dan multi dimensi dalam ikatan persaudaraan kebersamaan dalam satu negera.

Piagam Madinah sebagaimana diuraikan di atas adalah outentik, menjadi  dasar negara pertama dalam Islam dan merupakan konstitusi yang mempersatukan semua golongan penduduk Madinah. Karena di dalamnya memuat prinsip-prinsip umum yang mengatur tentang hidup bersama antara warga masyarakat yang heterogen dibawah kepemimpinan Muhammad saw.

Dalam Mukaddimah Piagam Madinah dan pasal 22, 23, 42 dan akhir pasal 47 mengandung kensep monoteisme. Makaddimah Piagam Madinah diawali dengan kalimat Bismillahi al Rahman al Rahim, lalu maklumat bahwa piagam ini dari Muhammad saw yang hal ini mengandung nilai tauhid. Dalam pasal 22 menyebutkan bahwa orang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir tidak dibenarkan membantu orang lain untuk membunuh, dan jika ia memberi bantuan akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat. Dalam pasal 23 disebutkan bahwa penyelesaian perselisihan dikembalikan kepada Allah SWT dan Muhammad saw. Dalam akhir pasal 47  menjelaskan bahwa Allah SWT dan Muhammad saw adalah penjamin orang-orang yang berbuat baik dan takwa. Meskipun tidak secara tegas tertulis kata tauhid, namun secara implisit menunjukkan adanya prinsip-prinsip monoteisme.

Prinsip persatuan dan kesatuan sebagaimana termaktub dalam pasal 1, 15, 17, 25. Dalam pasal 1 menegaskan bahwa masyarakat Madinah adalah satu komunitas. Dalam pasal 15 memuat bahwa jaminan Allah SWT satu, yang sesama mukmin saling membantu. Dalam pasal 17 menjelaskan kesatuan antar umat Islam dalam perdamaian. Dalam pasal 25 menjelaskan bahwa seluruh penduduk Madinah, baik Yahudi maupun mukmin adalah satu rumpun. Perbedaan agama bukan penyebab membedakan anatar mereka. Dalam pasal-pasal tersebut jelas bahwa antara penduduk Madinah satu tanpa membedakan etnis atau agama.

Prinsip persamaan dan keadilan termaktub dalam pasal 13, 15, 16, 22, 23, 24, 37, 40. Dalam pasal 13 memuat keadilan dan persamaan dalam rangka membasmi kezaliman meskipun terhadap anaknya sendiri. Pasal 15 persamaan hak bagi semua orang mukmin. Pasal 16 persamaan hak bagi orang Yahudi yang mengikuti umat mukmin. Pasal 22 dan pasal 23 menegaskan persamaan hak bagi umat mukmin dalam menjaga kesatuan dan semua urusan dikemabalikan kepada Allah SWT dan Muhammad saw. Pasal 24 menjelaskan persamaan dalam kewajiban antara mukmin dan Yahudi. Pasal 37  menegaskan kesamaan kewajiban bagi kaum mukmin dan Yahudi untuk menjaga komitmen yang termaktub dalam shahifah. Pasala 40 menegaskan persamaan hak bagi yang telah mendapat jaminan.

Prinsip kebebasan beragama sebagaimana termaktub dalam pasal 25 yang menegaskan bahwa antara Yahudi dan mukmin sebagai warga negara Madinah tidak ada perbedaan. Mereka bebas memeluk agama yang mereka yakini, bebas memeluk agama dan bebas memilih keyakinan dan mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kecuali karena mereka zalim dan jahat.

Prinsip bela negara termuat dalam pasal 24, 37, 38 dan 44. Dalam pasal 24 kewajiban mengeluarkan biaya perang dalam rangka bela negara. Dalam pasal 37 dan 38 menegaskan kewajiban warga masyarakat Madinah, baik Yahudi maupun muslim untuk mengeluarkan biaya dan membela konstitusi. Pasal 40 jaminan bagi warga yang tidak melakukan pengkhianatan. Semua ini secara tersurat dan tersirat menegaskan arti bela negara. Bersambung

Baca: Aplikasi Piagam Madinah dalam Konstitusi Indonesia (3)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru