26.1 C
Jakarta
Array

Anak dan Radikalisme

Artikel Trending

Anak dan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Anak dan Radikalisme

Oleh Al-Mahfud*

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 23 Juli, kita memeringati Hari Anak Nasional (HAN). Pada dasarnya, peringatan tersebut bertujuan menghormati hak-hak anak, juga momentum meningkatkan kepedulian terhadap upaya perlindungan terhadap anak. Salah satu perlindungan tersebut, tanpa terkecuali adalah perlindungan dari pengaruh radikalisme.

Anak-anak memang menjadi salah satu fokus penting dalam upaya menanggulangi penyebaran radikalisme. Sebab, sudah banyak contoh bagaimana kelompok radikal-teroris turut melibatkan anak-anak dalam aksi maupun propaganda yang mereka lakukan. Milisi ISIS misalnya, dalam pelbagai video propagandanya, tak jarang menggunakan anak-anak. Bahkan, mereka tak sungkan menyuruh anak-anak mengangkat senjata dan menjadi eksekutor untuk membunuh tawanan.

Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, banyak masyarakat Indonesia yang datang ke daerah konflik dan ikut berperang. Bahkan, sebagian besar membawa keluarganya, tanpa terkecuali anaknya. Yang menghawatirkan, di daerah konflik anak-anak tersebut diajari menembak, merakit bom, bahkan membunuh. Suhardi Alius menegaskan, ketika anak-anak tersebut akhirnya kembali ke Tanah Air, maka hal tersebut akan menjadi sangat berbahaya (Kompas, 20/7/2017).

Terkait kasus terorisme di dalam negeri, kita sudah melihat dalam beberapa kasus bom bunuh diri di pelbagai daerah, tak jarang pelakunya masih remaja atau di bawah umur. Bahkan, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Niam Soleh mengatakan, ada peningkatan terkait pelanggaran terhadap anak pada tahun 2016 sebesar 3% dibanding tahun 2015. Yakni dari 4.309 menjadi 4.482 kasus. Dijelaskan lebih lanjut, dari jumlah tersebut, kasus di bidang agama dan budaya, di mana anak menjadi korban radikalisme menjadi salah satunya, meningkat 42%, dari 180 kasus menjadi 256 kasus (Kumparan, 13/2/2017)

Meningkatnya kasus anak-anak yang menjadi korban radikalisme memberi peringatan pada kita semua, betapa upaya melindungi anak dari pengaruh buruk radikalisme menjadi hal yang krusial untuk diupayakan. Sebab, kita tahu, anak-anak adalah masa depan kita. Anak-anak dan para remaja kelak akan menjadi penerus perjuangan kita dalam menjalani kehidupan bangsa ini. Di pundak mereka, masa depan bangsa ini akan ditentukan.

Tak bisa dibayangkan, jika anak-anak dan para remaja, para penerus yang menentukan masa depan bangsa tersebut justru sudah terpapar virus radikalisme, sehingga tumbuh dan berkembang menjadi individu-individu radikal yang tak mengenal toleransi, anti perdamaian, dan mudah mengobarkan pertikaian dengan sesama. Tentu, karakter tersebut bukanlah karakter yang dibutuhkan dalam membangun kehidupan yang harmonis dalam masyarakat majemuk seperti bangsa ini.

Sebisa mungkin kita harus melindungi anak-anak kita dari pengaruh paham radikalisme. Di samping mendidik anak-anak kita menjadi generasi yang mampu bersaing, kita juga memiliki kewajiban mengupayakan agar anak-anak kita bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang memiliki pandangan yang luas, terutama dalam beragama, ramah terhadap perbedaan dan memiliki sikap toleransi tinggi, sehingga tak mudah terpengaruh ideologi radikalisme dan ekstremisme yang disebarkan kelompok-kelompok radikal.

Keluarga

Berbicara upaya membentengi anak dari pengaruh radikalisme, pihak utama yang harus mendapat sorotan adalah keluarga. Sebagaimana tema Hari Anak Nasional (HAN) yang diangkat pemerintah tahun 2017 ini, yakni “Perlindungan Anak Dimulai dari Keluarga”. Kita tahu, keluarga menjadi unit sosial pertama, tempat anak belajar mengenal kehidupan. Dalam hal ini, orang tua menjadi pihak paling menentukan bagaimana karakter atau watak anak terbentuk. Artinya, orang tua harus memastikan bahwa lingkungan tempat hidup dan berkembang seorang anak telah aman dari pelbagai pengaruh radikalisme, termasuk pola asuh dan pendidikan yang diberikan orang tua sendiri pada anak.

Hal paling mendasar yang harus disadari orang tua adalah pentingnya menjaga keharmonisan dalam keluarga. Sebab, keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang yang terjalin antar anggota keluarga, akan menciptakan suasana damai dan nyaman bagi anak. Dengan begitu, kebutuhan anak akan kasih sayang terpenuhi, sehingga meminimalisir kemungkinan anak mencari pelarian ke lingkungan luar, yang seringkali berujung negatif bagi anak.

Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris, dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, memberi contoh terkait hal ini. Yakni adanya seorang anak perempuan 19 tahun asal Medan, yang mengaku sudah mengafirkan kedua orang tuanya sendiri. Ia bahkan menyatakan siap berjihad ke Suriah dan rela menjadi istri kedua bagi gurunya. Setelah diselidiki, ternyata anak tersebut berasal dari keluarga yang kurang harmonis (Jurnas.com, 20/7/2017).

Profesor Oliver Roy, seorang ahli di bidang terorisme dan “jihad” dari Prancis, sebagaimana dijelaskan Haidar Bagir (2016), dalam banyak pengamatannya menunjukkan, pelaku teror, termasuk kalangan muda yang paling rentan terbujuk rayuan kelompok radikal, bukanlah orang-orang yang memiliki penghayatan agama yang kuat atau cukup. Banyak di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki masa silam kelam. Seperti pecandu narkoba, terjerumus dalam seks bebas, dan sebagainya.

Dijelaskan lebih lenjut, umumnya perubahan atas diri anak terjadi secara tiba-tiba. Ada fenomena born-again, seperti ayunan bandul dari satu titik ekstrem ke ekstrem lain. Sebelumnya mereka adalah orang yang jauh dari agama, lalu mendadak terkonversikan menjadi penganut agama yang ekstrem atau radikal. Sampai di sini, semakin jelas bahwa kehidupan dalam keluarga akan sangat menentukan. Anak yang terabaikan oleh orang tuanya, sehingga terjerumus dalam kehidupan yang kelam, akan jauh dari pemahaman agama yang baik, sehingga berisiko besar terpengaruh paham radikal.

Upaya melindungi anak dari pengaruh radikalisme memang menjadi tanggungjawab semua pihak. Baik orang tua, pemuka agama di lingkungan sekitar, para guru di sekolah, maupun masyarakat secara luas, juga pemerintah. Namun, orang tua menjadi pihak yang berperan strategis untuk bisa mendidik  dan meletakkan nilai-nilai dasar pada anaknya agar terhindar dari pengaruh paham radikalisme yang kini semakin banyak menyebar, baik dari lingkungan sekitar secara langsung maupun melalui dunia maya. Wallahu A’lam..

*Penulis adalah lulusan Pendidikan Islam STAIN Kudus.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru