29.3 C
Jakarta
Array

Akikah

Artikel Trending

Akikah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Akikah ialah menyembelih binatang ternak bagi jabang bayi yang lahir.

Asy-Syafi’i tidak senang menyebut akikah dengan istilah ‘akikah’. Akan tetapi beliau lebih suka menamainya dengan nasîkah atau dzabîhah. Karena Nabi Muhammad saw sendiri tidak menyukai nama yang memiliki arti buruk. Ketidaksetujuan asy-Syafi’i dalam penamaan ini bukannya tanpa alasan. Kata ‘akikah’ satu akar dengan kata ʻuqûq yang berarti durhaka. Keduanya berasal dari huruf ‘ain, qaf dan qaf. Jadi sudah sepantasnya kita menghindari penyebutan istilah ‘akikah’ yang dikhawatirkan akan berarti kedurhakaan, demikian keterangan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya, Tuhfah al-Muhtâj.

Sebenarnya menurut syari’at tidak masalah jika kita memakai istilah ‘akikah’. Karena istilah ini disebutkan oleh Nabi saw secara jelas dalam beberapa hadis sahih.

Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitabnya, Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ bahwa suatu ketika Nabi saw pernah ditanya mengenai akikah. Beliau pun menjawab, “Allah tidak suka dengan ‘uquq (kedurhakaan)” -seakan-akan sabda beliau tersebut memeberikan kesan tidak senang dengan istilah ‘akikah’-. “siapapun yang dikarunai putra, dianjurkan baginya untuk menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan”.

Sumber Pensyariatan Akikah

Ritual akikah ini bersumber dari berbagai hadis sahih, diantaranya ;

Pertama riwayat al-Bukhari;

((مَعَ الغُلَامِ عَقِيْقَةٌ فَأَهْرِقُوا عَنْهُ الدَّمَ وَأَمِيْطُوْا عَنْهُ الأَذَى))

Setiap anak memiliki tanggungan akikah. Maka sembelihlah kambing dan hindarkan gangguan darinya.

Kedua riwayat at-Tirmidzi;

((الغُلَامُ مُرْتَهِنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى))

Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya. Bisa terbebas dengan menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahiran, dicukurkan dan diberi nama.

Redaksi ‘tergadaikan dengan akikahnya’ dijelaskan oleh Imam Ahmad bahwa anak tersebut tidak bisa memberi syafa’at kepada orang tuanya sampai ia berakikah. Ibnu Hajar al-Haitami sepakat dengan penjelasan ini dan beliau menilai tafsiran ini yang paling tepat. Meskipun sebenarnya ulama lain tidak sependapat. Tapi perlu diingat bahwa Imam Ahmad ialah seorang ulama yang sangat menguasai hadis dan ilmunya.  Beliau sendiri tidak mau berpendapat kecuali setelah melalui tahapan penelitian hadis secara ketat. [] Wallahu Aʻlam

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru