26.6 C
Jakarta
Array

Adakah Sistem Khilafah Menurut Imam Syafi’i..? bagian II

Artikel Trending

Adakah Sistem Khilafah Menurut Imam Syafi’i..? bagian II
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada sejumlah kemungkinan Asy-Syafi’i tidak membahas khilafah dalam kitab “Al-Umm”. Di antaranya adalah bisa jadi karena beliau memandang persoalan itu sebagai urusan dunia dan tidak ada kaitannya dengan dien.

Khilafah memang perlu, tetapi keharusan adanya adalah didasarkan pada alasan rasional bahwa fakta hidup manusia memang perlu untuk menegakkan kekuasaan yang bisa mengurusi agama dan dunia. Pendapat bahwa khilafah harus ada karena alasan rasional bukan karena dalil adalah salah satu pendapat yang dikutip Al-Mawardi dalam kitab “Al-Ahkam As-Sulthoniyyah”.

Kemungkinan yang lain, khilafah termasuk hukum syara’ hanya saja tidak dibahas Asy-Syafi’i adalah karena tema ini sangat rawan dan mengancam nyawa jika sampai dianggap mengganggu penguasa. Sudah terkenal bagaimana ujian yang menimpa imam Malik gara-gara fatwa beliau terkait politik.

Asy-Syafi’i sendiri sempat hampir terbunuh karena dituduh hendak memberontak Harun Ar-Rasyid. Jika benar alasan ini, maka kejadiannya mungkin mirip dengan Ash-Shon’ani yang “terpaksa” harus mengutip pendapat-pendapat syiah zaidiyyah/hadawiyyah dalam kitab “Subulu As-Salam” karena beliau hidup dalam kekuasan pemerintah yang menganut mazhab zaidiyyah.

Beliau khawatir kitabnya dibakar atau bahkan penulisnya dibunuh jika tidak memasukkan pembahasan fikih zaidiyyah di dalamnya. Kemungkinan ini bisa jadi lebih dekat karena dalam bab “shifatu al-a-immah”, Asy-Syafi’i membahas kriteria-kriteria imam salat yang memberi isyarat kriteria imamah uzhma juga. Hal ini menunjukkan bahwa masalah khilafah adalah masalah syar’i yang dibangun berdasarkan dalil, bukan urusan dunia murni.

Selain itu, ulama Asy-Syafi’iyyah di masa belakangan, yakni Al-Mawardi (w. 450 H) mengarang kitab khusus tentang Imamah/Khilafah dan menjelaskan dasar-dasar syar’i menurut mazhab Asy-Syafi’i. Pada masa belakangan, An-Nawawi mengkaji serius peninggalan ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah terkait imamah ini kemudian menuangkan hasil ringkasannya dalam kitab “Minhaj Ath-Tholibin” dan “Roudhotu Ath-Tholibin”, yakni dalam bab memerangi para bughot.

Ini adalah pembahasan dari sisi kemungkinan alasan terkait mengapa Asy-Syafi’i tidak membahas hukum fikih mewujudkan khilafah. Adapun dari sisi tidak dibahasnya sistem pemerintahan dalam Islam (dengan mafhum “sistem”/”nizhom” di alam pemikiran manusia zaman sekarang) dalam kitab “Al-Umm”, maka kemungkinan yang lebih logis adalah karena Asy-Syafi’i memandangnya sebagai persoalan wasilah/uslub/teknis.

Oleh karena hal tersebut adalah persoalan wasilah, maka ia termasuk urusan dunia yang bisa berubah-ubah bentuknya mengikuti perkembangan zaman selama merealisasikan fungsi “hirosatud din” (menjaga agama) dan “siyasatud dun-ya” (mengurus dunia).

Alasannya, Al-Qur’an telah turun dengan sempurna. Semua sunnah Nabi ﷺ yang sahih juga telah terkumpul nyaris sempurna di zaman Asy-Syafi’i dan dikuasai olehnya. Allah sendiri dalam Al-Qur’an telah menjamin terpeliharanya “adz-dzikr” sebagai petunjuk umat Islam. Kata Ibnu Hazm, “adz-dzikr” itu mencakup Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Jadi kita harus yakin bahwa As-Sunnah telah terjaga sempurna sebagaimana Al-Qur’an, sehingga tidak ada satupun petunjuk dien yang hilang atau tidak diketahui kaum muslimin. Nah, dari seluruh ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi ﷺ yang diketahui oleh Asy-Syafi’i itu, nampaknya tidak ada satupun dalil yang bisa dijadikan dasar untuk mewajibkan organ-organ tertentu dalam pemerintahan atau mengatur bentuk pemerintahan tertentu yang menjelaskan bagaimana cara pembagian kekuasaannya.

Oleh karena itu, Asy-Syafi’i tidak membahasnya dan menyerahkan kepada kaum muslimin di berbagai zaman selama bisa melaksanakan tugas menerapakan hukum-hukum Islam dan merealisasikan maslahat serta mencegah mafsadat untuk kaum muslimin.

Kemungkinan alasan ini lebih dekat karena sampai zaman Al-Mawardi, Al-Juwaini sampai Ibnu Taimiyyah sekalipun (artinya sampai 5 abad lebih ) tidak ada satupun di antara ulama-ulama brilian itu yang mengkonsep sistem pemerintahan tertentu yang wajib diikuti.

Susah menerima penjelasan bahwa sebuah kewajiban baru ditemukan di zaman kontemporer oleh tokoh tertentu, sementara kewajiban itu “hilang” selama berabad-abad dan tidak sanggup “ditemukan” oleh para mujtahid muthlaq yang membentang panjang mulai zaman Asy-Syafi’i sampai Ibnu Taimiyyah.

Sampai di sini bisa ditegaskan bahwa Asy-Syafi’i tidak pernah membahas secara khusus topik tentang khilafah dalam “Al-Umm” apalagi topik tentang sistem pemerintahan dalam Islam.

Dengan demikian, sumber untuk mengetahui sikap Asy-Syafi’i terhadap khilafah tidak mungkin dicari di “Al-Umm”, tetapi harus dicari di sumber lain. Setelah diteliti, ternyata sikap-sikap Asy-Syafi’i yang terkait khilafah dan politik secara umum malah ada di kitab-kitab yang membahas “manaqib” dan biografi Asy-Syafi’i, yakni sikap-sikap yang diriwayatkan oleh murid-muridnya. Berikut ini secara ringkas sikap-sikap Asy-Syafi’i terkait khilafah dan politik Islam secara umum berdasarkan kajian singkat, sekilas dan terbatas yang saya lakukan.

Asy-Syafi’i memandang bahwa khilafah itu harus ada. Gunanya adalah untuk melindungi mukmin, menaungi kafir, memerangi musuh, mengamankan masyarakat, menyebarkan keadilan dengan menindak tegas si zalim dan mengambilkan hak untuk si lemah.

Hanya saja, kholifah yang diangkat harus dari keturunan Quraisy. Tidak sah Kholifah jika tidak berasal dari Quraisy. Dalam kitab Al-Minhaj, An-Nawawi mengutip pernyataan Qodhi ‘Iyadh yang menegaskan bahwa hanya ahlul bid’ah yang berpendapat kholifah tidak harus Quraisy.

Terkait dengan cara pengangkatan Kholifah, normalnya adalah dengan baiat. Hanya saja, baiat ini tidak menjadi keharusan yang menentukan keabsahan kholifah jika ada kondisi darurat. Dalam kondisi tertentu, boleh tanpa baiat.

Bahkan, kekhilafahan juga bisa sah dengan kudeta/”istila’/”taghollub”/”qohr”. Selama terealisasi dua syarat, yakni kholifah dari keturunan Quraisy dan kepemimpinannya disepakati kaum muslimin maka sah-lah kekhilafahannya. Asy-Syafi’i berkata,

” كُلُّ مَنْ غَلَبَ عَلَى الْخِلافَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُسَمَّى خَلِيفَةً، وَيَجْتَمِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَهُوَ خَلِيفَةٌ، قَالَ حَرْمَلَةُ: يَعْنِي إِذَا كَانَ مِنْ قُرَيْشٍ، يُغْزَى مَعَهُ، وَيُصَلَّى خَلْفَهُ الْجُمُعَةُ، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَهُوَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ ”

“Semua orang yang bisa merebut kekhilafahan dengan pedang sampai dipanggil kholifah dan disetujui oleh khalayak, maka dia adalah kholifah. Harmalah mengatakan; Yakni jika dia berasal dari Quroisy. (kaum muslimin harus) berjihad bersamanya dan salat jumat di belakangnya. Siapapun yang tidak melakukan itu, maka dia adalah pelaku bid’ah” (Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hlm 222)

Menurut Asy-Syafi’i, kholifah itu hanya lima. Lima orang yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Pernyataan ini tidak mungkin dipahami bahwa Asy-Syafi’i tidak mengakui kekhilafahan Al-Hasan, Mu’awiyah, Yazid sampai Harun Ar-Rosyid di zamannya.

Yang lebih dekat adalah memahami bahwa Asy-Syafi’i memaksudkan 5 orang tersebut sebagai khulafa’ur rosyidin. Adapun kholifah selain mereka, tidak ada yang tergolong khulafa’ur rosyidin karena mereka semua adalah raja-raja yang dipanggil Khalifah secara majasi saja.

Asy-Syafi’i dikenal sangat mencintai Ali, sampai dituduh beberapa orang yang tidak suka dengan beliau sebagai bagian dari kelompok rafidhi/syi’i. Hanya saja, dalam hal keutamaan, Asy-Syafi’i tetap jujur dengan ilmunya dan mengutamakan Abu Bakar dalam kekholifahan, kemudian Umar, lalu Utsman, baru Ali.

Pada kasus perselisihan antara Ali dengan Muawiyah, Asy-Syafi’i berpendapat Ali-lah yang benar sementara Mu’awiyah berada pada pihak bughot. Hanya saja, mereka tetap disebut mukmin dan tidak boleh dihina-hina. Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab “Fadhoil Ash-Shohabah” bahwa semua shahabat yang memerangi Ali pada akhir hayatnya mengaku bersalah kemudian bertaubat.

Demikianlah secara ringkas sikap Asy-Syafi’i terhadap kekhilafahan dan sikap-sikap politiknya merespon sejarah politik. Untuk mengetahui lebih dalam, tentu saja harus dilakukan penelitian serius dalam waktu yang lama dengan cara mengeksplorasi semua riwayat yang ada dalam kitab-kitab biografi Asy-Syafi’i atau kitab-kitab fikih mazhab Asy-Syafi’i yang meriwayatkan ucapan Asy-Syafi’i yang terkait khilafah dan politik Islam.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru