28.4 C
Jakarta
Array

Kesalahan Pemikiran Hizbut Tahrir Dari Sumber Aslinya

Artikel Trending

Kesalahan Pemikiran Hizbut Tahrir Dari Sumber Aslinya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
  1. Seorang Nabi Tidak Maksum Sebelum Menerima Wahyu

Dalam buku Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah (jilid I), terdapat pembahasan tentang “Kemaksuman Para Nabi”. Di dalamnya, Taqiyyuddin Al-Nabhani antara lain berkata:

إلا أن هذه العصمة للأنبياء والرسل إنما تكون بعد أن يصبح نبيا أو رسولا بالوحي إليه. أما قبل النبوة والرسالة فإنه يجوز عليهم ما يجوز عليهم ما يجوز على سائر البشر، لأن العصمة هي للنبوة والرسالة.

“Hanya saja, kemaksuman bagi para nabi dan rasul ini hanya terjadi setelah menjadi nabi atau rasul dengan (diturunkannya) wahyu kepadanya. Adapun sebelum kenabian dan kerasulan, maka boleh pada mereka apa yang boleh pada manusia lainnya. Sebab, kemaksuman adalah karena kenabian dan kerasulan.”[1]

Perkataan Al-Nabhani ini secara tegas menunjukkan:

  1. Kemaksuman diperoleh oleh seorang nabi karena kenabiannya.
  2. Sebelum menjadi nabi, dia tidak maksum dari perbuatan dosa.

Al-Nabhani mendasarkan pendapatnya ini pada dalil aqli semata, tanpa dipadukan dengan dalil naqli. Dia berkata:

ودليل عصمة الأنبياء دليل عقلي وليس دليلا سميعا

Artinya: “Dan dalil kemaksuman para nabi adalah dalil aqli dan bukan dalil sam’î (naqli).”

Kita dapat membantah pendapat ini antara lain sebagai berikut:

  1. Pendapat Hizbut Tahrir tentang tidak maksumnya para nabi sebelum kenabian ini bertentangan dengan pemilihan yang telah dilakukan oleh Allah terhadap mereka, sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat, antara lain:

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى آَدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِين

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran melebih seluruh alam” (Qs. Ali Imran [3]: 33).

2. Pendapat Hizbut Tahrir tentang tidak maksumnya para nabi sebelum kenabian juga bertentangan dengan hadis Nabi SAW:

مَا هَمَمْتُ بِمَا كَانَ أَهْلُ الجَاهِلِيَّةِ يَهُمُّونَ بِهِ إِلَّا مَرَّتّيْنِ مِنَ الدَّهْرِ، كِلَاهُمَا يَعْصِمُنِي اللهُ تَعَالَى مِنْهُمَا

Artinya: “Aku tidak pernah berkehendak untuk melakukan apa yang biasa dikehendaki oleh orang-orang Jahiliyah kecuali dua kali sepanjang masa. Allah Ta’ala melindungiku dari keduanya” (HR. Hakim)

3. Hizbut Tahrir tidak merinci dosa apa yang mungkin dan tidak mungkin diperbuat oleh para nabi sebelum kenabian. Ini berarti bahwa mereka bisa terjatuh ke dalam dosa apa saja, termasuk di dalamnya kekafiran. Dan ini bertentangan dengan ijmak para ulama yang menyatakan kemaksuman para nabi dari kekafiran sebelum kenabian. Dalam kitab Al-Mawâqif, Al-Iji berkata:

وأما سائر الذنوب فهي إما كفر أو غيره، أما الكفر فأجمع الأمة على عصمتهم منه

Artinya: “Adapun dosa-dosa lainnya, ia bisa berupa kekafiran atau lainnya. Adapun kekafiran, umat bersepakat bahwa mereka maksum darinya.”[2]

  1. Hadis Âhâd Bukan Hujjah dalam Akidah

Hadis âhâd adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, tiga orang atau lebih dan tidak sampai kepada derajat hadis mutawatir.

Dalam buku Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah (jilid I), terdapat pembahasan tentang “Hadis Ahad Bukan Hujjah dalam Akidah”. Di dalamnya, Taqiyyuddin Al-Nabhani antara lain berkata:

والحكم الشرعي يكفي فيه ما غلب على ظن الشخص أنه حكم الله فيجب عليه اتباعه، ومن هنا جاز أن يكون دليله طنيا؛ سواء كان ظنيا من حيث الثبوت أم ظنيا من حيث الدلالة. ومن هنا صلح خبر الآحاد لأن يكون دليلا على الحكم الشرعي. وقد قبله الرسول في القضاء ودعا إلى قبوله في رواية حديثه، وقبله الصحابة في الأحكام الشرعية. أما العقيدة فإنها التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل. وما دامت هذه هي حقيقة العقيدة، وهذا هو واقعه، فلا بد أن يكون دليلها محدثا التصديق الجازم. وهذا لا يتأتى مطلقا إلا إذا كان هذا الدليل نفسه دليلا مجزوما به حتى يصلح دليلا للجزم. لأن الظني يستحيل أن يحدث جزما فلا يصلح دليلا للجزم. ولذلك لا يصلح خبر الآحاد دليلا على العقيدة لأنه ظني، والعقيدة يجب أن تكون يقينية

Artinya: “Hukum syar’i cukup di dalamnya apa kuat dalam dugaan (zhann) seseorang bahwa itu adalah hukum Allah, sehingga dia wajib mengikutinya. Maka dari itu, dalilnya boleh bersifat zhannî, baik itu zhannî dari sisi kekuatannya maupun zhannî dari segi maknanya. Maka dari itu, khabar ahad bisa menjadi dalil atas hukum syar’i. Rasul telah menerimanya dalam pengadilan dan menyeru untuk menerimanya dalam periwayatan hadis beliau. Dan para sahabat juga telah menerimanya dalam hukum-hukum syar’i. Adapun akidah, ia adalah kepercayaan yang pasti sesuai dengan realitas berdasarkan dalil. Dan selama demikian ini hakikat akidah dan demikian ini realitasnya, maka dalilnya haruslah menciptakan kepercayaan yang pasti. Dan ini sama sekali tidak mungkin terjadi kecuali jika dalil ini sendiri adalah dalil yang dipastikan sehingga bisa menjadi dalil bagi kepastian. Sebab, sesuatu yang bersifat dugaan (zhannî) mustahil menciptakan kepastian, sehingga tidak bisa menjadi dalil bagi kepastian. Oleh karena itu, khabar âhâd tidak bisa menjadi menjadi dalil atas akidah, karena ia bersifat dugaan (zhannî), sementara akidah haruslah bersifat keyakinan.”[3]

Kita dapat membantah pendapat ini antara lain sebagai berikut:

  1. Pendapat Hizbut Tahrir ini mempunyai konsekuensi yang sangat besar, yaitu yaitu bahwa mereka melarang untuk mengimani semua perkara terkait akidah yang datang dari Nabi SAW melalui hadis âhâd, seperti siksa kubur, kemunculan Dajjal, dan kedatangan al-Mahdi.[4] Padahal, semua ini adalah perkara-perkara yang diimani oleh mayoritas umat Islam.
  2. Pendapat Hizbut Tahrir ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama yang menerima hadis âhâd—apabila derajatnya sahih— sebagai hujjah, tanpa membedakan apakah itu dalam hukum syar’i ataukah dalam akidah. Dalam ar-Risâlah, imam asy-Syafi’i berkata:

لم أحفظ عن فقهاء المسلمين أنهم اختلفوا في تثبيت خبر الواحد

Artinya: “Saya tidak mengingat dari para fuqaha kaum muslimin bahwa mereka berselisih dalam menetapkan (menerima) khabar hid (khabar âhâd).”[5]

3. Pendapat Hizbut Tahrir ini menyerupai pemikiran Muktazilah. Qadhi Abdul Jabbar, salah seorang tokoh Muktazilah, berkata:

وأما ما لا يعلم كونه صدقا ولا كذبا فهو كأخبار الآحاد، وما هذه سبيله يجوز العمل به إذا ورد بشرائطه، فأما قبوله فيما طريقه الاعتقادات فلا

Artinya: “Adapun apa yang tidak diketahui keberadaannya sebagai kebenaran atau dusta, maka ia seperti khabar âhâd. Dan yang demikian ini jalannya, boleh diamalkan jika ia memenuhi syarat-syaratnya. Adapun menerimanya dalam perkara yang jalannya adalah keyakinan, maka tidak.”[6]

  1. Sahabat Adalah Orang yang Berteman Lama dengan Nabi SAW

Dalam buku Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah (jilid III), terdapat pembahasan tentang “Para Sahabat”. Di dalamnya Al-Nabhani antara lain berkata:

الصحابي لفظ يقع على من طالت صحبته للنبي صلى الله عليه وسلم وكثرت مجالسته له عن طريق التبع له والأخذ عنه

Artinya: “Sahabat adalah kata yang berlaku bagi orang yang lama berteman dengan Nabi SAW dan banyak duduk bersama beliau dengan cara mengikuti beliau dan mengambil (ilmu) dari beliau.”

Al-Nabhani mendasarkan definisi sahabat ini pada definisi yang diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab:

الصحابة لا نعدّهم إلا من أقام مع رسول الله صلى الله عليه وسلم سنة أو سنتين، وغزا معه غزوة أو عزوتين

Artinya: “Tidak kita anggap sebagai sahabat kecuali orang yang pernah tinggal bersama Rasulullah selama satu atau dua tahun dan berperang bersama beliau dalam satu atau dua perang.”[7]

Kita dapat membantah pendapat ini antara lain sebagai berikut:

  1. Definisi sahabat yang dianut oleh Hizbut Tahrir ini tidak komprehensif. Konsekuensinya, ada banyak sahabat yang tidak memenuhi kriteria ini dan tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan sahabat. Muawiyah bin Abu Sufyan, misalnya, tidak dianggap oleh Hizbut Tahrir sebagai sahabat. Hal ini ditengarai untuk memuaskan kelompok Syiah.[8] Tidak terpenuhinya kriteria sahabat pada Muawiyah ini, misalnya, akan berimbas pada nilai hadis yang diriwayatkannya dari Nabi SAW.
  2. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa definisi sahabat yang diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab di atas adalah definisi yang lemah. Dalam Al-Ishâbah fî Tamyîz Al-Shahâbah Ibnu Hajar berkata:

وقال بدر الدين بن جماعة: وهذا ضعيف، لأنه يقتضي أنه لا يُعَدّ جرير بن عبد الله البجلي ووائل بن حجر وأضرابها من الصحابة، ولا خلاف أنهم صحابة

Artinya: “Badruddin bin Jama’ah berkata: Dan ini lemah. Sebab, konsekuensinya adalah bahwa Jarir bin Abdullah al-Bajli, Wa’il bin Hajar, dan sejenisnya tidak dianggap sebagai sahabat, padahal tidak ada perselisihan bahwa mereka adalah sahabat.”[9]

3. Menurut Ibnu Hajar juga, periwayatan definisi tersebut dari Sa’id bin Musayyab tidaklah benar. Ibnu Hajar berkata:

وقال العراقيّ: ولا يصح هذا عن ابن المسيّب، ففي الإسناد إليه محمّد بن عمر الواقديّ شيخ ابن سعد ضعيف في الحديث

Artinya: “Dan ini tidak sahih dari Ibnu Musayyab. Sebab, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Umar al-Waqidi, syaikhnya Ibnu Sa’d, dha’if (lemah) dalam hadis.”[10]

4. Definisi sahabat yang paling benar, menurut Ibnu Hajar dan dianut oleh mayoritas umat Islam, adalah:

من لقي النبيّ صلّى اللَّه عليه وسلم في حياته مسلما ومات على إسلامه

Artinya: “Orang yang telah bertemu dengan Nabi SAW dalam hidupnya sebagai seorang muslim dan mati di atas keislamannya.”[11]

[1] Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah (Beirut: Darul Ummah, 2003), Cet. VI, Vol. I, h. 136.

[2] Al-Iji, Al-Mawâqif fî ‘Ilm Al-Kalâm (Beirut: Darul Jil, 1997), Cet. I, Vol. III, h. 415.

[3] Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, h. 190-191.

[4] Ra’id Nashir Abu ‘Audah, Fikr Hizb Al-Tahrir: Dirasah Tahliliyah, tesis, Universitas Gaza, h. 115.

[5] Asy-Syafi’i, Al-Risâlah, (Kairo, Maktabah Al-Halabi, 1940), Vol. I, h. 453.

[6] Qadhi Abdul Jabbar, Syarh Al-Ushûl Al-Khamsah (Maktabah Wahbah), h. 769.

[7] Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, (Beirut: Darul Ummah, 2005), Cet. III, Vol. I, h. 316.

[8] Ra’id Nashir Abu ‘Audah, Fikr Hizb Al-Tahrir: Dirasah Tahliliyah, h. 46.

[9] Ibnu Hajar, Al-Ishâbah fî Tamyîz Al-Shahâbah, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1415 H), Cet. I, Vol. I, h. 8.

[10] Ibnu Hajar, Al-Ishâbah fî Tamyîz Al-Shahâbah, h. 8.

[11] Ibnu Hajar, Al-Ishâbah fî Tamyîz Al-Shahâbah, h. 8.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru