28.4 C
Jakarta

TNI Harus Profesional Atasi Intoleransi dan Radikalisme

Artikel Trending

AkhbarNasionalTNI Harus Profesional Atasi Intoleransi dan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Pelibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme dan intoleransi agar tidak bertentangan dengan Undang-undang TNI memerlukan persetujuan dan kendali otoritas politik sipil.

Pernyataan ini disampaikan dalam kegiatan Webinar dengan Tema “Pancasila, Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme, yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Program Doktor Hukum (IKA-PDH) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, pada selasa (6/10/2020) di Jakarta.

Selain memberikan paparan yang komprehensif tentang Pancasila, Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme, TB Hasanuddin juga memaparkan pandangan Komisi I DPR RI terkait pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme yang saat ini dibahas di DPR.

“Komisi I DPR RI menegaskan bahwa pelibatan kekuatan TNI tetap harus berdasarkan perintah Presiden, sebagaimana ketentuan Operasi Militer Selain Perang dalam Undang-undang TNI. Komisi I juga meminta sumber anggaran hanya APBN dan tugas TNI mengacu pada Criminal Justice System.” ujar TB Hasanuddin.

Selanjutnya TB Hasanuddin menyatakan bahwa Komisi I tetap menginginkan profesionalitas TNI sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang, termasuk dalam melaksanakan penanganan aksi terorisme.

Selain mengangkat tema tentang ancaman radikalisme dan terorisme global juga memberikan pandangan tentang peran militer.

Menurut Ansyaad Mbai, “Radikalisme-terorisme menjadi suatu ancaman politik/ideologi karena motif kekerasan dan serangan yang dilakukan berlatarbelakang tujuan politik dan ideologi tertentu. Terorisme tidak berhenti dengan adanya operasi militer, bahkan cenderung menunggu adanya operasi tersebut karena itulah tujuan mereka untuk memprovokasi negara, sehingga kebanggaan mereka naik dengan menghadapi militer. Karena itu pendekatan militer merupakan solusi terakhir ketika semua pendekatan lain tidak mungkin lagi dilakukan.”

Politisi Harus Ikut Andil Atasi Intoleransi dan Radikalisme

Ansyad Mbai juga mengingatkan untuk menangkal penyebaran radikalisme, hendaknya para politisi berhati-hati dalam menggunakan isu-isu agama yang sensitif, agar tidak menjadi isu yang ditunggangi kelompok-kelompok ini. Para agamawan juga hendaknya juga berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa untuk tujuan politik.

Selain itu Irjen Pol (Purn.) Drs. Ansyaad Mbai (Kepala BNPT Periode 2010-2014). webinar yang disiarkan secara live streaming melaluiYouTube ini juga menghadirkan Prof. Dr. Retno Saraswati, SH.M.Hum (Dekan FH Universitas Diponegoro) yang dalam sambutannya menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan sarana membangun kesadaran dan ingatan akan pentingnya Pancasila serta ancaman terhadap degradasi Pancasila dalam bentuk aksi-aksi intoleransi, radikalisme dan terorisme.

BACA JUGA  Haul ke-31 K. Abdul Djalil Sibaweh: Pondok Pesantren Afkaaruna Gelar Haflah Ikhtitam dan Pengajian Akbar

Upaya tersebut menurutnya patut disambut baik dan menjadi gerakan bersama, dalam upaya membangun situasi nasional yang damai dan memulihkan masyarakat yang berpotensi terpecah belah akibat kehilangan pegangan penting yaitu Pancasila.

Senada dengan Prof Retno, pembicara pertama Prof. FX. Adji Samekto, SH., M.Hum (Deputi Bidang Pengkajian & Materi BPIP) juga mengingatkan bahwa Pancasila bukanlah pepesan kosong yang dipaksakan menjadi dasar negara.

Perkuat Nilai Pancasila untuk Atasi Radikalisme

Pancasila merupakan rumusan landasan filosofis yang disiapkan untuk mencapai satu tujuan negara Indonesia yang adil dan makmur.

“Saat ini Pancasila menghadapi tantangan, yaitu ‘hilangnya’ diskursus Pancasila dalam ranah public ketika membicarakan landasan kepentingan dan tujuan Bersama. Termasuk juga dalam merumuskan regulasi dan kebijakan bagi kemaslahatan masyarakat”, demikian pernyataan Pofessor Adji.

Selain figure-figur penting diatas, Webinar juga menghadirkan Ken Setiawan (Mantan NII, Ketua NII Center) sebagai salah satu pembicara yang menjelaskan kritik kerasnya terhadap situasi radikalisme yang berkembang di masyarakat, yang melibatkan figure-figur yang selama ini ditokohkan di masyarakat tetapi justru menjadi penyebar radikalisme melalui jalur ceramah dan distribusi informasi yang mengandung distorsi, hoax dan ujaran kebencian.

Ken juga menjelaskan bagaimana pengalamannya menjadi bagian dari NII dan bagaimana akhirnya ia memili keluar dari NII karena menyadari bahwa banyak hal yang secara prinsipiil bertentangan dengan keyakinan keagamaan yang ia pelajari.

Terakhir Ustad Haris yang merupakan mantan anggota NII dan tokoh dari organisasi-organisasi radikal seperti Jamaah Anshorussyariah memaparkan pengalaman pribadinya menjadi bagian dari gerakan ini selama kurang lebih 27 tahun, sampai akhirnya menyadari kekeliruannya jalannya paska penangkapan oleh Densus 88 pada tahun 2010.

Saat ini Ustad Haris mendirikan Yayasan Hubbul Wathon, yang merupakan organisasi yang merangkul para napiter yang insyaf dan mau berjuang untuk melakukan Pendidikan publik agar tidak terpapar gerakan radikalisme dan menulis buku berjudul Hijrah Dari Radikal Kepada Moderat, yang didedikasikan sebagai karya untuk mengingatkan public agar waspada tentang bahaya radikalisme dan terorisme dengan memahami gerakan-gerakan mereka.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru