26.8 C
Jakarta

Serial Pengakuan Eks Napiter (C-XXXVI): Eks Napiter Khoirul Ikhwan Jadi Sosok yang Sangat Toleran Sekarang

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanSerial Pengakuan Eks Napiter (C-XXXVI): Eks Napiter Khoirul Ikhwan Jadi Sosok yang...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Menjadi teroris jelas pilihan masing-masing orang, meski ada yang memilih dengan sukarela dan ada yang memilih dengan terpaksa (atau lebih tepatnya korban). Semuanya tetap mendapatkan hukuman yang serupa, karena mereka melakukannya dengan sadar dan sengaja.

Apapun alasannya terorisme itu sangat berbahaya terhadap masa depan bangsa ini. Bayangkan apa jadinya negara jika bangsa ini semuanya menjadi teroris. Pasti kehancuran tak dapat dihindari.

Guna menjaga eksistensi negara penting penanganan yang ketat terhadap para teroris. Bukankah banyak bangsa yang terpapar paham kejahatan ini? Dialah salah satunya Khoirul Ikhwan. Ikhwan lahir dari keluarga sederhana yang bahagia di Madiun, 20 Mei 1981.

Ikhwan mulai terpapar radikalisme semenjak keinginannya belajar agama tumbuh, namun ia salah memilih guru. Ia bergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia (2000), dan Majelis Mujahidin Indonesia (2001). Dari perkumpulan inilah, membawa Ikhwan bergabung dengan Jamaah Taliban Melayu (2008) yang berafiliasi dengan Taliban di Afganistan.

Generasi Ikhwan termasuk generasi pertama perekrutan kelompok ekstrem melalui media sosial. Media sosial menjadi alat merekrut yang paling efektif bagi kelompok radikal. Banyak penceramah yang semangati anak muda untuk tidak takut menempuh jalan kematian dalam mati syahid di media sosial itu.

Pada tahun 2009, Ikhwan ingin mengikuti pelatihan teroris di Aceh. Saat pihak keluarga tahu, mereka melarangnya pergi. Tapi, ia berdebat untuk kali pertama dengan orangtuanya. Mereka melarang karena kasih sayangnya yang cukup besar terhadap anaknya.

BACA JUGA  Definisi Hari Tenang di Tengah Maraknya Kampanye di Media Sosial

Ikhwan terus melawan orangtuanya. Mereka ia kafirkan. Dari Aceh, Ikhwan menuju Sulawesi Barat lalu kembali ke Pulau Jawa membuat bengkel perakitan senjata di Jakarta (2012), untuk memulai aksi teroris. Pengeboman gereja di Solo dan Polres Cirebon ia lakukan.

Saat aksi pengeboman Kedutaan Besar Myanmar, karena kasus Rohingya, Ikhwan gagal karena detonator bom tidak berfungsi. Ia gagal meledakan diri. Pelarian Ikhwan terhenti setelah ditangkap Datasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri di percetakan Andescre, Jalan Mayor Hasibuan 12, Bekasi pada tanggal 20 Agustus 2013, silam. Ia menjalani penjara selama 4 tahun dari tuntutan selama 5 tahun.

Sekarang Ikhwan hijrah dari terorisme menuju moderatisme. Ia telah berubah menjadi sosok yang sangat toleran. Ia aktif dalam organisasi Aliansi Indonesia Damai (AIDA), dan memberi pengalamannya pada generasi muda agar tidak tersesat.

Sebagai penutup, perjalanan Ikhwan tentu diharapkan terulang kembali kepada generasi berikutnya. Cukup Ikhwan yang menjalani itu. Terorisme tidak mengantarkan Ikhwan menjadi pribadi yang lebih, makanya ia memilih hijrah.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini disadur dari cerita mantan napiter Khoirul Ikhwan yang dimuat di media online Katalogika.com

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru