Harakatuna.com – Tiga hari yang lalu, saya menghadiri kuliah umum di Universitas PTIQ Jakarta yang mengangkat tema menarik, “Masa Depan Tafsir via Artificial Intelligence (AI).” Kuliah ini disampaikan oleh Prof. Dr. H. M. Darwis Hude, M.Si., yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana PTIQ. Tema ini menarik perhatian saya, mengingat perkembangan teknologi yang semakin pesat dan pengaruhnya terhadap kajian Islam, khususnya tafsir Al-Qur’an.
Sejujurnya, saya belum pernah bertemu dengan Prof. Darwis sebelumnya. Namun, dengan gelar akademik yang disandangnya, saya yakin beliau memiliki wawasan luas dalam menjelaskan tema ini. Dugaan saya benar, beliau mampu menjelaskan materi dengan sederhana dan mudah dipahami. Padahal, beliau berasal dari Generasi X, generasi yang lahir sebelum teknologi digital berkembang pesat. Meski demikian, beliau dapat membahas tema ini dengan lancar dan relevan, yang notabene merupakan tantangan zaman Generasi Alpha.
Ketertarikan saya terhadap tema ini berangkat dari sebuah keunikan: AI bukan teknologi yang lahir dari dunia Islam, apalagi dari ranah keilmuan Al-Qur’an dan tafsir. Namun, fakta bahwa AI kini bisa digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an menjadi tanda tanya besar. Akankah tafsir yang dihasilkan oleh AI tetap mencerminkan nilai-nilai Islam yang moderat dan inklusif? Apakah tafsir yang dihasilkan oleh mesin akan tetap memperhitungkan pluralitas pemikiran dalam Islam?
Saya sendiri pernah mencoba berdiskusi dengan AI dan mengajukan pertanyaan sensitif: “Apakah AI mendukung radikalisme?” Jawaban AI cukup mengejutkan. Ia menegaskan bahwa radikalisme adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, AI mendukung keterbukaan berpikir dan sikap moderat. Dari sini, saya menarik kesimpulan awal bahwa kecerdasan buatan—setidaknya saat ini—masih berjalan dalam kerangka pemikiran yang moderat, sesuai dengan semangat Al-Qur’an.
Namun, muncul pertanyaan lanjutan: Apakah AI akan selalu mempertahankan sikap moderat ini di masa depan? Saya hanya bisa menjawab, “Wa Allahu a’lam bish-shawab”—hanya Allah yang mengetahui masa depan secara pasti. Tetapi, jika kita melihat dari perspektif nasionalisme dan etika digital, AI yang dikendalikan oleh manusia kemungkinan besar akan tetap diarahkan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Salah satu hal yang saya perhatikan adalah bagaimana AI menangani isu-isu sensitif. Beberapa konten yang berkaitan dengan kekerasan, ekstremisme, atau terorisme sering kali mendapat peringatan dan pembatasan. Ini menunjukkan bahwa AI telah diprogram untuk menghindari narasi yang membahayakan manusia. Dalam Islam, menjaga nyawa dan keamanan adalah prinsip utama. Membunuh satu jiwa dianggap sama dengan membunuh seluruh umat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah: 32).
Selain itu, Islam juga mengajarkan untuk menjaga lingkungan dan kehidupan secara harmonis. AI tampaknya telah diprogram untuk mendukung pandangan ini. Ketika kita berbicara tentang masa depan tafsir, AI dapat berperan dalam membantu manusia memahami ajaran Islam dalam konteks yang lebih luas, terutama dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Namun, ada satu kekhawatiran yang sering muncul dalam diskusi tentang AI: Apakah AI akan menggantikan peran manusia dalam dunia tafsir? Banyak yang takut bahwa AI akan mengambil alih pekerjaan manusia, termasuk dalam bidang akademik dan keagamaan. Namun, saya berpendapat sebaliknya. AI hanyalah alat, bukan pengganti pemikiran manusia.
Jika kita melihat sejarah, setiap perkembangan teknologi selalu diiringi dengan kekhawatiran serupa. Ketika mesin cetak ditemukan, banyak yang khawatir peran ulama akan berkurang karena ilmu pengetahuan bisa lebih mudah diakses. Namun, kenyataannya, teknologi justru membantu dalam menyebarkan ilmu Islam lebih luas. Begitu juga dengan AI—bukannya menggantikan mufassir, AI justru bisa menjadi alat bantu yang mempercepat kajian tafsir.
Dalam Al-Qur’an, ada banyak ayat yang menyerukan manusia untuk menggunakan akal dan berpikir kritis. AI sendiri lahir dari pemikiran manusia, sebagai bukti kreativitas dan inovasi. Maka, tidak ada alasan bagi manusia untuk takut dengan AI, selama kita tetap mampu mengendalikan dan mengarahkan penggunaannya dengan bijak.
Sebagai penutup, saya melihat masa depan tafsir Al-Qur’an akan semakin berkembang dengan hadirnya AI. Pesan-pesan Islam yang moderat dan inklusif akan lebih mudah disebarluaskan melalui teknologi. AI yang semakin dekat dengan kehidupan manusia bisa menjadi sarana baru dalam memahami Al-Qur’an. Namun, tantangan terbesar tetap ada pada manusia itu sendiri—apakah kita mampu memanfaatkan AI dengan bijak atau justru membiarkan teknologi ini menguasai kita.
Oleh karena itu, kita perlu bersikap terbuka terhadap perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai Islam yang hakiki. Tafsir Al-Qur’an tidak akan mati, justru ia akan semakin relevan dan dinamis di era digital ini. Mari kita manfaatkan teknologi untuk mendekatkan pesan Al-Qur’an kepada dunia, bukan menjadikannya sebagai ancaman.[] Shallallahu ala Muhammad.