29.9 C
Jakarta

Selamat Jalan Sang Kekasih Ramadhan

Artikel Trending

Asas-asas IslamIbadahSelamat Jalan Sang Kekasih Ramadhan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Waktu terus berlalu dan berotasi, tanpa terasa kita sudah berada di pengujung bulan Ramadhan. Di samping menyambut kehadiran syahrul mubarak Ramadhan, kita juga dianjurkan melepas bulan Ramadhan dengan ucapan “Marhaban ya Ramadhan Ma’a al-Salamah ila alliqa”. Prosesi perpisahan kerap kita lakoni, Baik dengan saudara. Keluarga. Juga orang lain yang dekat dengan kita. Sehingga, pertemuan yang pernah ada, perlahan akan menjadi simpanan kita di rak kenangan.Biasanya sebuah perpisahan tentunya, dominan diliputi rasa sedih. Karena hampir semua kata “ditinggalkan” tidak ada yang bahagia. Yang sebelumnya bersama, tidak lagi ada. Yang sebelumnya hadir, kini pergi untuk waktu yang entah. Sekali lagi, semua berangsur menjadi kenangan.

Di penghujung sepuluh akhir Ramadhan, perpisahan dan perasaan ditinggalkan seperti nyata. Berpisah dengan bulan suci yang dikatakan Rasulullah SAW., sebagai bulan mulia. Bulan yang seandainya semua orang tahu tentang kemuliaan Ramadhan, maka niscaya ia akan berharap, bahwa semua bulan adalah Ramadhan. Ramadhan seperti kapal. Bagian ruangannya berisi segala doa yang akan terkabul. Bagian lainnya, disesaki dengan bermacam shadaqah yang akan dibalas oleh Allah. Bagian ketiga, dipenuhi dengan kebaikan yang akan dilipatgandakan.  Ruangan selanjutnya, ditempati segala macam adzab yang akan ditahan, dan tidak akan diturunkan untuk umat Muslim bahkan terakhir akan di anugerahi prediket “muttaqien” kepada penumpang kapal ramadhan.

Para sahabat di akhir-akhir pengujung Ramadhan, mulailah tampak kesedihan di hati merekadan gundah gulana di wajahnya, Mengapa demikian? Tamu agung syahruk mubarak  Ramadhan akan meninggalkannya.Para sahabat Nabi SAW bersikap demikian, karena mereka sadar betul bahwa berlalunya Ramadhan secara otomatis detik, hari, waktu yang penuh rahmat, berkah, ampunan, berlipat gandanya pahala setiap kebajikan, kehadiran atmosfer rohani yang kondusif untuk taqarrub kepada Allah akan meninggalkannya. Kondisi sahabat dalam melepas bulan Ramadhan sangat berbeda dengan keadaan kita. Kalau sahabat bersedih, sebaliknya kita penuh keceriaan dan kegembiraan.

Rasulullah justru menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam saat akan berpisah dengan bulan penuh ampunan ini. Hal itu juga yang dirasakan oleh para sahabatnya.Suatu ketika Rasulullah pernah berkata, “Apabila malam terakhir bulan Ramadhan tiba, maka menangislah langit, bumi, dan para malaikat karena musibah menimpa umat Muhammad SAW.”Kemudian sahabat bertanya tentang musibah apa yang akan menimpa mereka.Rasulullah SAW menjawab, “Perginya bulan Ramadhan, karena di bulan Ramadhan itu semua doa diijabah, semua sedekah diterima, semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya dan siksa ditolak (dihentikan).” (Diriwayatkan dari Jabir). Sementara itu, belum tentu kita akan dipertemukan kembali oleh bulan suci di hari berikutnya. Bahkan, dikatakan celaka bila tidak dapat memanfaatkan hari-hari Ramadhan dengan menimba pahala sebanyak-banyaknya, dan hanya mendapatkan lapar serta dahaga.

Di hadis yang lain, Rasulullah SAW., bersabda, “Di bulan Ramadhan, Allah Ta’ala memerintahkan Malaikat pencatat amal, untuk mencatat semua amalan-amalan baik umat Nabiyullah Muhammad SAW. Dan melarang mencatat semua amalan-amalan buruknya. Dan menghapus semua dosa-dosanya yang sudah lampau.”keberadaan Ramadhan akan pergi. Belum tentu tahun depan bisa bertemu kembali. Ini adalah musibah. Dan jika perginya Ramadhan adalah musibah terbesar bagi umat Muslim. Sehingga langit, bumi, dan para malaikat menangis. Maka, sudah selayaknya pula kita bersedih, menangis, karena perginya Ramadhan. Karena harus berpisah dengan keutamaan-keutamaan (fadlail-fadlail) dan kemuliaan Ramadhan.

BACA JUGA  Lima Persiapan Menyambut Bulan Ramadhan

Para penghuni surga adalah mereka bahagia ketika Ramadhan tiba. Dan bersedih, bersimpuh, menangis tersengguk-sengguk ketika Ramadhan pergi. Ada banyak kesempatan, untuk meminta hal terbaik kepada Allah di Ramadhan. Ada banyak kemungkinan, untuk menjadi yang terbaik (dengan berbagi terhadap sesama) di hadapan Allah, di Ramadhan. Ada banyak harapan, untuk melipatgandakan kebaikan, untuk menggapai karidlaan Allah, di Ramadhan. Ada banyak perlindungan Allah dari adzab (karena dosa-dosa yang pernah dilakukan), di Ramadhan. Tetapi, kenapa justru kita sia-siakan?

Disebutkan dalam sejarah bahwa Ali bin Abi Thalib setiap malam penghabisan Ramadhan tampak cemas di wajah, gelisah dan berlinang air mata dari lubuk hatinya berguman yang diucapkan lewat lidahnya, “Wahai dapatkah kiranya aku mengetahui siapa diantara kalian yang diterima amalan puasanya, saya akan mengucapkan selamat berbahagia kepadanya! Siapakah diantara kita yang bernasib malang, ditolak ibadah puasanya, supaya saya dapat menghibur hatinya!”. Selanjutnya, kondisi seperti inipun di alami Ibnu Mas’ud. Ia kerapkali berujar, “Wahai saudaraku yang telah pasti diterima ibadah puasanya, selamat dan berbahagialah, dan wahai saudara-saudaraku yang ditolak ibadah puasanya, aku turut berdoa semoga Allah menutup/menghalangi bencana yang akan menimpa dirimu.”

Fenomena ini berbeda dengan kondisi akhir Ramadhan di era millenail saat ini terlebih di tengah kondisi covid-19 dan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan generasi kita saat ini. Jika sebagian masyarakat, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri, para sahabat asyik beri’tikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita bayangkan bahwa Madinah di era Rasulullah di sepuluh hari terakhir Ramadhan layaknya seperti kota setengah mati. Sebab para lelaki beri’tikaf di masjid-masjid. Bahkan begitu pula sebagian para wanitanya.Jika kita sibuk menyiapkan kue lebaran, para sahabat dan ulama terdahulu sibuk memenuhi makanan ruhaninya dengan mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang siang, terlebih lagi di waktu malam.Jika kita mengalokasikan banyak uang dan waktu untuk membeli pakaian baru, para sahabat dan ulama terdahulu menghabiskan waktu mereka dengan pakaian taqwa. Dengan pakaian taqwa itu mereka menghadap Allah di masjid-Nya, bertaqarrub (mendekatkan diri) dalam khusyu’nya shalat, tilawah, dzikir, dan munajat.

Hendaknya paradigma seperti ini harus kita ubah dan masih ada waktu bagi kita sebelum Ramadhan pergi. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengubah paradigma menyambut  akhir Ramadhan. Maka dari itu, tidak hanya bersedih kita juga harus terus berdoa, beramal baik setelah Ramadhan agar kita dapat berjumpa lagi dengan bulan tersebut. Sebagaimana Bisyr Al-Hafi berkata, “Sejelek-jelek kaum adalah mereka yang hanya mengenal Allah Ta’ala di bulan Ramadhan”. Semoga kita tidak termasuk golongan orang tersebut, dan dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan oleh Allah swt. Ingat ya teman teman, Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba yang Rabbaniyah (hamba Allah yang sesungguhnya).

Akhirul kalam Patut kita renungkan: “Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu Rabbaniyyan. Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba yang Rabbaniyah (hamba Allah yang sesungguhnya).”

Tgk. Helmi Abu Bakar El-langkawi, M. Pd
, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAIA Samalanga serta Kandidat Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru