27.2 C
Jakarta
Array

Selamat Jalan KH. Maimun Zubair

Artikel Trending

Selamat Jalan KH. Maimun Zubair
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mbah Mun –demikian KH. Maimun Zubair biasa dipanggil– pasti tak kenal saya. Saya juga tidak pernah mondok di pesantren beliau, di Sarang Rembang. Meski begitu, saya merasa menjadi santri Mbah Mun. Meski perjumpaan saya dengan Mbah Mun tidak seintensif kawan-kawan yang lain, tapi saya merasa beruntung beberapa kali mencium tangan beliau.  Dan itu saya lakukan dengan ikhlas. Saya benar-benar ingin mencium tangan Mbah Mun.

Beberapa kali sowan ke ndalem Mbah Mun, merupakan kenikmatan besar. Bukan apa-apa, sekedar ingin ngalap berkah. Kaum santri sangat percaya dengan berkah. Ketika kowan bersama dengan kawan-kawan Dosen Pascasarjana UNUSIA, ada Mas Santrow al-Ngatawi, Kiai Abdul Moqsith Ghazali, Kiai Ali Abdillah dan sebagainya sekedar ingin mendapatkan restu dan petuah tentang pengembangan Program Studi Islam Nusantara.

Mbah Mun bisa dikatakan sebagai jangkar pesantren, NU dan Islam Indonesia. Terutama di kalangan santri Jawa, Mbah Mun adalah tempat berteduh. Beliau tidak pelit dengan ilmu. Setiap kali berbicara dalam berbagai forum,  termasuk para tamu yang datang ke rumah beliau, Mbah Mun selalu memberi nasehat dan menambah asupan pengetahuan.

Mbah Mun secara politik merupakan tokoh PPP. Beliau istiqamah di PPP. Namun, beliau tidak menjadikan dukungan politik mengungkung wawasannya. Setiap mendengar pidato dan petuah ketika sowan ke ndalem beliau, Mbah Mun nyaris tak pernah bicara tentang PPP. Beliau selalu bicara soal Islam dan Bangsa. Belakangan, Mbah Mun selalu bicara soal pentingnya mensyukuri rahmat Allah yang memberi anugerah Pancasila kepada bangsa Indonesia. Mbah Mun juga tidak segan-segan mengkritik paham khilafah yang menurut beliau, sekarang tidak diperlukan lagi.

Mbah Mun juga sering mengkritik tokoh-tokoh agama yang tidak punya wawasan kebangsaan, hanya wawasan keislaman. Kiai seperti itu, beliau sebut sebagai “Kiai ora Njowo”. Beliau menyebut “Kiai NJowo” adalah kiai yang punya kearifan tradisi, kiai yang mampu memadukan antara keislaman dan kebangsaan”.

Duka kami sangat mendalam. Jangkar NU dan bangsa Indonesia itu dipanggil Allah ketika melaksanakan haji (6/8/2019) dalam usia 91 tahun. Beliau hampir setiap tahun melaksanakan haji. Ketika seorang kawan bertanya, kenapa Mbah Mun selalu pergi haji setiap tahun, beliau menjawab singkat: “Saya ingin napak tilas dan berada di tanahnya para Nabi”. Mungkin karena itu pula, beliau wafat di Mekah, tanah haram, tanahnya para Nabi.

Sugeng kundur Mbah Mun. Maturnuwun atas semua keteladanan yang panjenengan berikan. Maturnurun atas semua kasih sayang yang panjenengan berikan kepada bangsa ini. Sampaikan salam kami kepada Gus Dur, tokoh yang pernah panjenengan pernah ngendikan: “Gus Dur wis nembus arsy….”.

Lahul fatihah…..

Parung, 6  Agustus 2019

Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PBNU

 

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru