29.5 C
Jakarta
Array

Puasa Ramadhan sebagai Metodologi dan Manajemen Diri

Artikel Trending

Puasa Ramadhan sebagai Metodologi dan Manajemen Diri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Puasa menurut KBBI adalah salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.

Sebagai kaum muslim yang taat tentunya kita tidak ingin menjalankan ibadah puasa hanya sekedar sah pada tataran syar’i namun nihil fadhilah. Tentu kita ingin menjalankan ibadah puasa dengan sempurna. Mendapatkan fadhilah atau keutamaan puasa. Selain puasanya sah secara syar’i juga mendapat fadhilah puasa Romadhon. Karena justru pada bulan puasa ini, amal ibadah yang kita kerjakan, balasan atau pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah. Bahkan puasa merupakan ibadah yang khusus untuk Allah dan Allah yang akan membalasnya sendiri. Alangkah luar biasanya bukan?

Kalau kita bersepakat tentang makna puasa yang bukan sekedar menjaga diri dari makan dan minum serta hal-hal yang dapat membatalkan puasa, berarti masih banyak lagi perjuangan-perjuangan yang harus kita hadapi dalam mengarungi bulan puasa selain mengejar fadhilah dan keutamaan puasa.

Katakanlah seperti mengendalikan hawa nafsu. Pada dasarnya puasa berasal dari bahasa Arab yakni shoum yang berati menahan. Menahan diri untuk tidak berbuat maksiat. Menahan diri agar tidak mengikuti kehendak hawa nafsu. Menjaga diri agar selalu dalam keadaan yang diridhoi Allah.

Puasa sebagai Ajang Manajemen Diri

Puasa berarti ajang atau sekolah untuk mendidik diri. Puasa dapat diartikan sebagai metodologi untuk mengatur dan melatih diri agar diri kita lebih meningkat kualitasnya. Kalau dalam perusahaan biasanya ada sebuah trainng bagi karyawan baru, di sisni puasa juga berarti sebagai ajang untuk menggladi dan melatih diri untuk mengahadapi sebelas bulan ke depan.

Jika dalam bulan puasa kita dilarang untuk berbicara kotor, membicarakan keburukan orang lain, memfitnah orang, berbuat kriminal, meneror orang dan perbuatan maksiat lain. Justru pada bulan setelah bulan puasa atau Romadhon kita harus lebih sigap dan lebih baik. Penulis pernah mendengar kata-kata dari guru penulis di pesantren dulu, bahwa ciri-ciri puasa suatu orang diterima oleh Allah adalah prilaku dan perbuatan orang tersebut makin baik kualitasnya.

Selain itu, puasa juga sebagai sarana untuk mengukur seberapa baik kualitas diri dari seseorang. Misalnya dalam hal menjaga anggota tubuh dan indera kita dari perbuatan maksiat, kita dapat mengevaluasi kembali perkembangan-perkembangan pribadi kita. Misalkan saja telinga kita, seberapa banyak kita mendengar hal-hal yang harusnya kita dengar dalam artian yang Allah bolehkan dan ridhoi serta seberapa banyak juga kita mendengarkan hal yang Allah benci dan larang.

Untuk mulut, seberapa banyak kita  menggunakannya untuk hal-hal yang yang diridhoi Allah dan seberapa banyak mulut tersebut digunakan untuk hal-hal yang kurang berfaidah bahkan dibenci  dan dilarang Allah. Begitupun ini berlaku untuk anggota indera yang lain dan anggota tubuh yang lain.

Nah, baru setelah itu, kita petakan prosentasi seberapa banyakkah perbuatan tiap panca indera dan anggota tubuh kita. Lalu, kita petakan lagi, lebih penting mana antara suatu panca indera satu dengan panca indera atau anggota tubuh lainnya sehingga dapat proporsional. Baru setelah manajemen diri berhasil berlanjut ke manajemen hubungan internal diri kita dengan lingkungan sosial masyarakat. Yakni mengatur hubungan horizontal atau sosial kepada sesama hamba Allah.

Kalau menurut Cak Nun atau Emha Ainun Najib, secara substansial puasa merupakan metodologi untuk membelenggu setan. Siapa yang membelenggu setan? Ya manusia itu sendiri. Apa maksudnya? Agar kita lebih mudah mencerna maksud membelenggu setan, kita panjang dan luaskan makna setan. Setan di sini bukan sesuatu yang di luar tubuh manusia, melainkan bentuk, fisik, sel, koordinat dan sebagainya yang menciptakan ketidakseimbangan dalam diri manusia itu sendiri.

Sederhanaya puasa berarti melawan dan membelenggu diri kita sendiri yakni nafsu kita. Membatasi kebebasan-kebebasan yang sehrusnya bisa kita lakukan tapi karena puasa kita harus meninggalkannya. Menjaga diri agar senantiasa melakukan segala perbuatan yang diridhoi Allah serta meningalkan perbuatan yang dilarang Allah.

[zombify_post]

Ahmad Solkan
Ahmad Solkan
Penulis lepas, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru