27.3 C
Jakarta

Politik Dinasti dan Politik Khilafah, Bahaya Mana?

Artikel Trending

Milenial IslamPolitik Dinasti dan Politik Khilafah, Bahaya Mana?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Isu politik dinasti hari-hari ini ramai diperbincangkan. Pasalnya, Presiden Jokowi dituding melakukan politik keluarga. Tuduhan tersebut seiring dengan masuknya dua putra Jokowi, Kaesang Pangarep ke PSI dan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto untuk Pilpres 2024. Di sisi lain, ipar Jokowi, Anwar Usman selaku Ketua MK dinilai telah membuat keputusan yang mendukung dinasti itu sendiri.

Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, MK telah melanggengkan politik dinasti dengan putusan terhadap gugatan batas usia capres-cawapres tersebut. “Meneguhkan politik dinasti yang bahkan sudah jauh lebih parah dari zaman Soeharto,” ujar Bivitri dalam seminar daring bertajuk ‘Ancaman Politik Dinasti Menjelang Pemilu 2024?’, Minggu (15/10) lalu.

Isu politik dinasti ini kemudian mendapat tanggapan pro-kontra sejumlah pihak. Alasannya, pertama, karena ini jelas mencederai alam demokrasi Indonesia, dan kedua, karena dinasti politik itu konsepnya sama dengan yang diperjuangkan para aktivis khilafah: turun-temurun. Artinya, mendukung politik dinasti sama halnya dengan membenarkan propaganda khilafah. Jika ditimbang, mana yang lebih berbahaya antara kedunya? Ini menarik.

Namun, sebelum itu, penting juga diketahui, apa yang dimaksud dengan politik dinasti? Politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik ini identik dengan kerajaan atau monarki. Sebab, kekuasaan biasanya diwariskan secara turun-temurun. Dengan demikian kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.

Citra politik dinasti sangat kuat mengarah pada upaya mempertahankan kekuasaan melalui cara-cara yang non-demokratis. Sebagai contoh, nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, dan kekuasaan demi keuntungan pribadi. Proses pewarisan kekuasaan politik tersebut terjadi oleh posisi politik yang terbuka, yang dimanfaatkan untuk mempertahankan dan melanjutkan kekuasaan politik keluarga.

Menguatkan Iklim Demokrasi

Politik dinasti dalam sejarah sepaket dengan sistem pemerintahan yang digunakan, yaitu monarki. Tidak ada yang protes dengan pewarisan kekuasaan dalam sistem monarki, karena memang demikianlah aturannya. Ketika seorang raja mati, tampuk kepemimpinan akan digantikan oleh keluarganya. Di masa lalu, sifatnya mutlak, maka disebut sebagai monarki absolut. Namun, monarki yang masih ada hari ini lebih demokratis.

Sementara, dalam sistem demokrasi, ketika setiap orang berhak memilih dan dipilih sebagai pemimpin, sebagai presiden, keluarga tidak memiliki hak untuk mewariskan kekuasaan sebagaimana dalam sistem sebelumnya. Jika salah satu anggota keluarga hendak menjadi presiden juga, sebagaimana pernah terjadi Amerika Serikat antara Bush dan Bush Jr., maka itu dilakukan secara konstitusional—bukan pewarisan inkonstitusional.

Jika itu dilanggar, maka demokrasinya akan rusak. Politik dinasti tidak memberikan ruang-ruang demokratis, membuat iklim demokrasi jadi tercemar. Dalam konteks itu, pemerintahan menjadi taruhannya. Akan terjadi pelanggaran yang tak diinginkan, yang secara otomatis akan menghambat kemajuan dan mengganggu stabilitas nasional. Tak hanya merusak iklim demokrasi, politik dinasti bahkan dapat menyebabkan chaos.

Tapi, bagaimana dengan politik khilafah? Ini perlu dipertegas bahwa khilafah ala HTI, misalnya, itu wajib ditolak di negara ini karena mencederai iklim demokrasi. Maka, jika politik khilafah ditolak namun politik dinasti dilegalkan, negara ini ibarat “lepas dari mulut harimau, masuk kedalam mulut buaya”. Bahaya mana? Takarannya sama. Sama-sama tidak demokratis karena keluarga lebih dikedepankan daripada rakyat. Ironi.

BACA JUGA  ISIS Indonesia dan Ancaman Terdekat Kita: Upaya Preventif

Untuk itu, iklim demokrasi perlu dijaga dari preseden buruk bernama politik dinasti. Apalagi jika caranya inkonstitusional, menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan kekuasaan. Aktivis khilafah pun tidak akan tinggal diam. Mereka akan mencibir, menggugat, dan mengolok-olok sistem demokrasi itu sendiri sebagaimana yang selama ini mereka lakukan. Dan itu jelas memalukan, maka tidak bisa dibiarkan.

Aktivis Khilafah Menggugat

Khilafah wajib ditolak di negara ini. Dan tidak hanya itu, segala hal yang serupa dengannya juga mesti disikapi secara resisten. Monarki tidak cocok untuk Indonesia, dan turunan monarki yakni politik kedinastian juga tidak dapat dibenarkan. Lantas, bagaimana dengan isu-isu terkini ketika politik dinasti dianggap ancaman dalam Pemilu mendatang, apakah ia sama bahayanya dengan khilafah?

Jawabannya: lebih parah. Dan aktivis khilafah akan menyadari itu lalu menggugatnya. Dalam upaya mengonter mereka, konsistensi mesti menjadi prinsip bersama. Jangan sampai para aktivis khilafah memiliki celah untuk menelanjangi demokrasi, dituduhnya sebagai sistem yang rawan manipulasi. Sebab, semakin kuat cibiran mereka, akan semakin hancur public trust atas demokrasi itu sendiri. Jika itu terjadi, siapa yang diuntungkan?

Yang diuntungkan adalah para aktivis khilafah itu sendiri. Mereka akan memiliki argumentasi yang kuat bahwa demokrasi tidak dapat menyelesaikan masalah, kemudian mereka akan menggiring masyarakat untuk mendukung khilafah demi tegaknya keadilan. Blunder, bukan? Maka, untuk itu, menolak khilafah harus secara kaffah, yakni dengan menolak politik serupa yang sama bobrok: politik dinasti. Ini harus diwaspadai bersama.

Isu politik dinasti telah memberikan ruang kritik terhadap para aktivis khilafah di negara ini. Tentu saja, ini tidak bisa dibiarkan karena mudaratnya besar. Dalam monarki yang notabene kedinastian, penyalahgunaan kekuasaan kerap terjadi. Apalagi dalam demokrasi yang mendukung hak segaliter, tak hanya penyalahgunaan yang akan terjadi. Artinya, politik dinasti berada di lubang yang lebih curam dari politik khilafah itu sendiri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru