30 C
Jakarta
Array

Pesantren sebagai Instrumen Anti Radikalisme

Artikel Trending

Pesantren sebagai Instrumen Anti Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hari Sabtu 7 April 2018 kemarin, saya terlibat dalam sebuah halaqah kepesantrenan yang digelar oleh Pesantren al-Mizan Muhammadiyah Lamongan dalam rangka miladnya yang ke-18, bekerjasama dengan Harakatuna Media. Dalam acara tersebut dibahas tema kontribusi pesantren dalam meluruskan paham radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Bagi saya acara ini menarik, karena menunjukkan bahwa peran pesantren amat vital dalam medan perang ideologi, melawan pemahaman-pemahaman keislaman yang menyimpang, atau yang membajak tafsir teks Alquran dan hadis untuk melegitimasi nafsu ekonomi dan politik segelintir kelompok.

Dari tema acara, saya melihat ada komitmen dari pesantren-pesantren di lingkungan Muhammadiyah Jawa Timur untuk menanggulangi paham-paham keagamaan yang dapat memicu tindak kekerasan. Sebagai informasi, acara ini dihadiri oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur dan ratusan delegasi pesantren Muhammadiyah dari berbagai penjuru Jawa Timur.

Makna lain dari acara ini adalah adanya upaya bersama menanggulangi paham radikalisme di kalangan pesantren dari berbagai ormas Islam, mengingat, acara ini juga diikuti oleh perwakilan ormas seperti NU dan Persis, selain perwakilan pemerintah dari Bupati Lamongan, Polres, maupun Kodim.

Adanya oknum alumni pesantren yang menjadi pelaku tindak terorisme memang telah mencoreng citra pesantren, sekaligus menjadi tantangan dunia pesantren. Padahal jumlah mereka tidak seberapa jika dibandingkan ribuan pesantren dan jutaan santriberjiwa nasionalisme yang tidak ternilai kontribusinya bagi perdamaian dan paham keagamaan yang santun dan moderat di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Tapi toh seperti yang dikatakan oleh kepala BNPT, Suhardi Alius, bahwa tidak ada lini yang benar-benar steril dari radikalisme, baik universitas, halaqah, perkantoran, maupun kos-kosan, termasuk institusi pesantren. BNPT pada 2 Februari 2016 pernah merilis 19 pesantren di Indonesia yang terindikasi melakukan proses radikalisasi menuju terorisme.

Sebagaimana juga Wapres Jusuf Kalla yang pernah mengemukakan kekhawatirannya terhadap isu radikalisme di pesantren. JK yang menjabat ketua Dewan Masjid Indonesia ini juga mengingatkan potensi ancaman isu tersebut seraya meminta kepada dunia pesantren untuk menyebarkan ajaran Islam moderat untuk mementahkan paham radikalisme dan terorisme.

Mengukur Kekuatan Anti Radikalisme Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua dan mempunyai sejarah yang mengakar di Indonesia bisa menjadi kekuatan inti dalam membentengi dan melawan propaganda radikalisme keagamaan yang ada di masyarakat. Utamanya pesantren tradisional yang telah teruji perannya dalam mewujudkan ajaran Islam yang bersanad, rahmatan lil ‘alamin.

Pesantren selama ini telah memberikan andil dalam beragam upaya mencegah dan menanggulangi merebaknya doktrin ideologi keagamaan yang sempit, yang mengajak pada kekerasan dan permusuhan, dan berujung terorisme. Mayoritas pesantren juga menunjukkan dukungan penuh terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme. Mereka telah terbiasa dengan pengajaran toleransi antar umat seagama dan antar umat beragama.

Posisi strategis pesantren dalam menanggulangi paham radikal adalah karena basis keilmuannya yang bersanad. Di pesantren, teks agama dipelajari secara langsung kepada guru yang bersambung mata rantai keilmuannya kepada Rasulullah. Sehingga mereka bisa menyebarluaskan agama yang hakiki secara kontekstual. Berbeda ketika seseorang belajar dari internet atau dari guru otodidak yang pemahamannya tidak mempunyai akar teologis dan histroris,atau hanya membaca teks keagamaan dari terjemahan, dia tidak akan memahami konteks, dan besar kemungkinan menjadi radikal.

Dari rahim pesantren lahir para ulama, kyai, ustadz, tuan guru, buya, atau teuku. Mereka adalah pemimpin non-formalpholymorphic yang mendapatkan kepercayaan masyarakat sepanjang hidup, tanpa mengenal kata pensiun. Kiprah alumni pesantren di masyarakat cukup signifikan dan cukup sentral, mulai persoalan ibadah sampai soal sosial-politik. Para tokoh agama yang merupakan alumni pesantren punya peran besar dalam membawa santri dan masyarakat di sekitarnya untuk menjadi warga negara yang salehdan berakhlak mulia.

Beruntung bahwa pesantren mempunyai jejaring yang luas di seluruh nusantara, sehingga kontra radikalisme berbasis pesantren akan sangat efektif, dengan upaya mendidik santri atau masyarakat agar tidak terpapar pemahaman dan pandanganradikal, mencegah penyebarluasan pemahaman dan pandangan tersebut kepadaorang lain untuk mampu menjaga dan tidak terbawa ke dalam organisasiatau gerakan beraliran radikal. Tentu akan lebih efektif lagi jika jejaring pesantren yang sudah ada ini, diperkuat dengan jejaring pesantren digital, untuk memenuhi dunia internet dan media sosial dengan konten-konten sejuk pesantren.

Memang, corak pesantren di Indonesia amat beragam, dari mulai pesantren salaf (tradisional), terpadu, sampai dengan pesantren modern. Problem di sebagian pesantren adalah ketidakmampuannya beradaptasi dengan tradisi lokal, malah melakukan purifikasi Islam dari tradisi-tradisi yang menurutnya tidak sesuai dengan Islam (bid’ah). Pesantren yang seperti ini lah yang berpotensi melakukan radikalisasi dengan doktrininasi dalam pengajarannya, dan turut melahirkan stigma radikal yang disematkan kepada pesantren.

Terhadap minoritas pesantren yang radikal, jejaring pesantren moderat bersama masyarakat harus punya kepedulian dan kesadaran melaporkan. Begitu pula Kementerian Agama, harus memastikan bahwa pesantren bebas dari ajaran radikal. Pesantren terindikasi radikal harus dibina secara persuasif dengan upaya dialog, dan ditutup jika terus membangkang. Dalam hal ini, Kemenag bisa bekerjasama dengan BNPT dan Perguruan Tinggi. Sehingga mereka tidak mencoreng pesantren umumnya atau sampai memengaruhi banyak orang, apalagi menimbulkan korban dan konflik vertikal dan horizontal.

Kekuatan pondok pesantren di Indonesia yang mencapai 30.000 dengan 3.65 juta santri yang tersebar di 34 provinsi di seluruh tanah air adalah potensi yang sangat besar sebagai instrumen anti radikalisme. Mereka terus menebarkan Islam yang hakiki dan rahmatan lil ‘alamin, akomodatif terhadap kultur lokal dan nilai-nilai nasionalisme keindonesiaan. Dengan modal ini pesantren diharapkan menjadi garda terdepan melawan pemahaman-pemahaman radikal yang menyimpang, termasuk segala tindak kriminal berbungkus agama, apalagi ujaran kebencian dan hasutan melakukan kekerasan yang menciderai nilai-nilai luhur keagamaan dan kemanusiaan. Wallahu waliy al-twafiq.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru