26.1 C
Jakarta
Array

Perbedaan Kata Imra’ah, Zaujah dan Shahibah untuk Penyebutan Istri Dalam Al-Quran

Artikel Trending

Perbedaan Kata Imra’ah, Zaujah dan Shahibah untuk Penyebutan Istri Dalam Al-Quran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setiap kata dalam Al-Quran merupakan mukjizat, sehingga Al-Quran akan menyebutkan atau mengunggapkan sesuatu dengan sangat jelas dan detail dan setiap kata dalam Al-Quran akan mempunyai makna tersendiri walaupun secara sekilas memiliki persamaan.

Al-Qur’an menggunakan kata istri dengan tiga lafadz yaitu Imra’ah, Zaujah, Shahibah, tetapi apakah makna dan pengertian masing-masing kata tersebut sama, atau malah berbeda? Terkadang isteri disebut Zaujah, kadang Imra’ah, mengapa dibedakan? Untuk mengetahuinya kita lakukan analisis terhadap kata-kata tersebut.

Pertama, imra’ah [perempuan].

Jika dia mempunyai hubungan fisik dan ikatan perkawinan antara pria dan wanita, tetapi tidak ada keharmonisan dan kecocokan pemikiran, maka perempuan ini disebut imra’ah.

Kedua, zaujah [perempuan yang menjadi isteri].

Jika ada hubungan fisik dan perkawinan, saling mengasihi, karena adanya kecocokan pemikiran, keharmonisan dan cinta kasih. Perempuan ini disebut zaujah [isteri/pasangan hidup].

Pengertian ini bisa diambil dari firman Allah, ketika Allah menyebut:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ

“Allah telah membuat perumpamaan bagi orang Kafir perempuan [isteri] Nuh dan perempuan [isteri] Luth.” [Q.s. at-Tahrim: 10]

Allah tidak menyebut, “Zaujah Nuh”, atau “Zaujah Luth.” Hal ini karena adanya perbedaan visi dan akidah di antara keduanya. Mereka, Nuh dan Luth ‘alaihima as-salam adalah para Nabi, dan beriman, sementara isteri-isteri mereka tidak beriman.

Begitu juga ketika Allah menyebut:

وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّي وَلَكَۖ

“Dan berkatalah perempuan [isteri] Fir’aun, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu.” [Q.s. al-Qasas: 09]

Tidak menyebut, “Zaujah Fir’aun”, karena Fir’aun tidak beriman, atau Kafir, sementara isterinya telah beriman.

Sementara itu, perhatikanlah beberapa posisi, ketika Al-Qur’an yang mulia menggunakan lafadz, “Zaujah” [isteri/perempuan yang menjadi pasangan hidup] yang satu visi dan akidah yg lurus, Allah berfirman:

ﻭَﻗُﻠْﻨَﺎ ﻳَﺎ آﺩَﻡُ ﺍﺳْﻜُﻦْ ﺃَﻧْﺖَ ﻭَﺯَﻭْﺟُﻚَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Dan Kami [Allah] berfiman, “Wahai Adam, tinggallah kamu dan isterimu di surga.” [Q.s. al-Baqarah: 35]

ﻳﺎَ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞْ ِﻷﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu…” [Q.s. al-Ahzab: 28]

Itu semua, karena Allah ingin menunjukkan adanya kecocokan pemikiran dan keharmonisan yang sempurna terutama dalam hal agama di antara keduanya.

Memang ada kasus dimana adakalanya Allah menggunakan lafadz “imra’ah” [perempuan], dengan konotasi isteri yang agamanya sama, sebagaimana yang digunakan melalui lisan Nabi Zakaria ‘alaihissalam, meski pemikirannya sama, dan ada keharmonisan di antara keduanya. Yang beda adalah pada hati Nabi Zakaria ada harapan yang kurang terpenuhi dan masih mengganjal di benaknya pada istrinya, yakni terkait masalah keturunan

Alloh berfirman:

ﻭَﻛَﺎﻧَﺖْ ﺍِﻣْﺮَﺃَﺗِﻲْ ﻋَﺎﻗِﺮﺍً‏

“ Isteriku adalah wanita yang mandul.“ [Q.s. Maryam: 05]

Ternyata, saat itu ada kemungkinan sedang terjadi masalah dalam hubungan antara Zakaria dengan isterinya, karena masalah kemandulan. Maka, Nabi Zakaria mengadukan harapannya kepada Allah.

Singkatnya, setelah Allah menganugerahkan putra kepadanya, yaitu Nabi Yahya ‘alaihissalam, sehingga tiada lagi masalah yang mengganjal di hati suami dan istri maka ungkapan al-Qur’an yang digunakan juga berbeda. Allah berfirman:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُۚ

“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung.“ [Q.s. al-Anbiya’: 90]

Dalam konteks yang lain, Allah juga menelanjangi rumah tangga Abu Lahab, seraya berfirman:

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.” [Q.s. al-Lahab: 4]

Al-Qur’an ingin menunjukkan, bahwa di antara mereka sebenarnya tidak ada kesepahaman dan kecocokan.

Ketiga, lafadz “Shahibah” [pendamping]

Al-Qur’an menggunakan lafadz “Shahibah” ketika hubungan secara fisik,perkawinan dan pemikiran antara suami isteri tersebut telah putus. Karena itu, hampir sebagian besar untuk menggambarkan fenomena pada Hari Kiamat, Al-Qur’an menggunakan lafadz “Shahibah”.  Allah berfirman:

ﻳَﻮْﻡَ ﻳَﻔِﺮُّ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻣِﻦْ ﺃَﺧِﻴْﻪِ ﻭَﺃُﻣِّﻪِ وَﺃَﺑِﻴْﻪِ ﻭَﺻَﺎﺣِﺒَﺘِﻪِ ﻭَﺑَﻨِﻴْﻪِ

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri (pendamping) dan anak-anaknya.” [Q.s. ‘Abasa: 24-26]

Hal ini karena hubungan fisik dan pemikiran di antara keduanya telah terputus. Terputusnya hubungan ini bisa disebabkan karena beberapa sebab, diantaranya yaitu Pertama, karena kematian dan kedua karena huru hara pada Hari Kiamat. Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah surat Al-An’am Ayat 10:

أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُن لَّهُ صَاحِبَةٌ

“Bagaimana Dia (Alloh) mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri?” 

Yang menjadi pertanyan Mengapa Allah tidak menggunakan lafadz, “Zaujah” atau “Imra’ah”? Itu semua untuk menafikan adanya hubungan fisik, perkawinan dan pemikiran, dengan penafikan secara pasti, baik secara global maupun detail. Hal ini karena Allah tidak mungkin melakukan hal tersebut.

Nah, PR untuk kita semua adalah apakah para suami muslim selama ini hanya memiliki zaujah atau masih sebatas imro’ah? Sudahkan kita satu visi, harmonis,  memiliki aqidah dan pemahaman agama yang sama-sama lurus serta tak ada masalah dan kekecewaan pada suami/istri kita?

Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Quran sebagai mukjizat yang luar biasa bagi nabi Muhammad dan umatnya. 

[zombify_post]

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru