26.6 C
Jakarta
Array

Pemikiran Farid Esack di Tengah Gejolak Islam Konservatif

Artikel Trending

Pemikiran Farid Esack di Tengah Gejolak Islam Konservatif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Terhitung puluhan bahkan mungkin mencapai ratusan artikel dan karya tulis yang mengupas perihal Islam Konservatif dan Fundamentalis di tanah air. Istilah Islam Konservatif kerap digunakan untuk menyebut golongan dalam Islam yang tidak menerima modernitas dengan tetap mempertahankan tradisi Islam klasik. Mengapa Indonesia turut disibukkan dengan perilaku Islam Konservatif? Padahal jika kembali melihat sejarah telah tertulis bagaimana dampak dari perilaku konservatif.

Sebagaimana salah satu contoh perilaku Islam Konservatif yang menggelisahkan pemikiran tokoh kontemporer Islam, yakni Farid Esack.“Sebagai seorang penafsir jangan sampai lupa latar belakang siapa, darimana, dan bagaimana diri sendiri”. Itulah sedikit cuplikan yang ditekankan Farid Esack dalam bagian awal karyanya Membebaskan yang Tertindas, cuplikan tersebut sebagai penekanan bahwa pemikiran yang Esack gagas juga dilatarbelakangi oleh beberapa kejadian.

Dengan semangat perjuangan Farid Esack dikenal sebagai sarjanawan muslim Afrika Selatan yang membawa paham Hermeneutika Pembebasan sebagai metode untuk mengkaji ulang al-Qur’an. Tidak dipertanyakan kembali bahwa semangat mengkaji ulang al-Qur’an ini sebagai bentuk respon atas rezim Apartheid juga kelompok Islam Konservatif yang memuakkan di lingkungan hidupnya, yakni Afrika Selatan.

Rezim Apartheid lebih banyak mempengaruhi pemikiran Esack jika dibanding dengan Islam Konservatif, rezim ini menindas dengan membedakan antara kaum kulit putih dengan kulit hitam. Akibat penindasan ini Farid Esack mengalami perjalanan hidup yang menyedihkan, ia mengais sampah demi mencari makanan dan mengandalkan pemberian tetangga –beragama Kristen dan Yahudi- yang senantiasa memberi Farid Esack dan sekeluarga jatah makan.

Kronologis kehidupan Farid Esack ini ia tumpahkan dalam bukunya demi memahamkan pembaca bahwa pemikiran Farid Esack dilatarbelakangi oleh segala pengalaman dan kisah di hidupnya. Dengan sulitnya kondisi hidup tetap tidak meruntuhkan misinya untuk belajar selagi ada kesempatan, Esack melanjutkan kuliahnya di Negeri Palestina dan kemudian kembali pada Afrika guna mengamalkan Ilmunya.

Setelah kembali Esack mendirikan lembaga yang bergerak di bidang persatuan umat lintas agama guna menyuarakan kebebasan atas rezim aprtheid yakni The Call of Islam, lembaga inilah yang menjadi arang bagi kaum konservatif Islam untuk dibakar. Islam Konservatif ini meresahkan pribadi Esack. Sebagai contoh perilaku kaum Islam Konservatif ini adalah perilaku mereka dalam mengkafirkan seseorang yang berteman dengan kaum Yahudi, dan Kristen.

Dan secara tidak langsung perbuatan kaum Islam Konservatif ini juga mengkafirkan Farid Esack dan kawan-kawan lintas imannya yang bergabung dalam The Call of Islam. Padahal mereka berjuang atas nama bangsa, bukan atas nama Negara. Di tengah gejolak kaum konservatif Islam inilah Esack justru bangkit dengan merintis pemikiran baru yang berlandaskan pada pembebasan.

Esack terpikir untuk lebih meneliti dan mencoba memahami kembali apa yang disampaikan al-Qur’an sehingga mempengaruhi perilaku kaum Islam Konservatif. Bagaimana Esack harus bertindak di saat kaum konservatif ini melabeli agama di luar Islam dengan anggapan buruk secara keseluruhan? sedangkan Esack bersatu dengan kaum kristen untuk berjuang demi membebaskan bangsa. Bahkan disaat terpuruknya Esack banyak menerima bantuan atas kemurahan hati tetangga -Kristen- nya semasa kecil.

Kemudian bagaimana al-Qur’an dibaca oleh kaum Islam Konservatif ini hingga seakan-akan Islam itu keras, dan membuat layaknya al-Qur’an tidak memiliki segi shalih likulli zaman wa makan. Dengan ini akhirnya Esack berpikir untuk menafsirkan al-Qur’an kembali dengan pembacaan-pembacaan yang baru agar al-Qur’an tidak kehilangan segi shalih likulli zaman wa makan. Ada baiknya saat terpuruk menjadi batu loncatan untuk bangkit maju melawan keterpurukan, begitulah yang dilakukan Esack.

Berlandaskan pada pembebasan, Esack menggunakan pembebasan sebagai kunci untuk memperkenalkan gaya penafsiran al-Qur’an yang baru, disebut dengan Hermeneutika Pembebasan. Hermeneutika pembebasan Esack ini memiliki nilai inti bahwa beragama itu tidak selalu mengurusi Tuhan semata –perihal dosa, pahala, surga, neraka dll-, dengan menggenggam kesalehan personal. Melainkan beragama itu membutuhkan praksis kesalehan dalam kehidupan sosial. Dengan membantu dan tolong menolong sesama makhuk-Nya maka sama halnya seperti mengabdi kepada Tuhan, jelas Esack.

Kembali menanggapi posisi Indonesia sekarang ini yang diguncangkan oleh permasalahan semacam yang dialami Farid Esack. Ditemukan banyak perilaku kasus seperti ini yang akhirnya hanya beragama dengan dimensi ketuhanan tanpa perduli dimensi sosial kemanusiaan. Sepertinya dan semoga bisa dimengerti bagaimana implikasi “Islam Konservatif” jika sampai menghilangkan predikat al-Qur’an sebagai kitab yang shalih likulli zaman wa makan.

Mari merenungkan kembali bagaimana sebaiknya bersikap di tengah gejolak ini, ingin mengikuti jejak Farid Esack dengan praksis kesalehan kepada masyarakat, atau menimbun kesalehan untuk pribadi. Menutup tulisan ini dengan tiada kata lain yang ingin diucap selain sanjungan-sanjungan yang melangit terhadap sumbangan pemikiran Farid Esack dalam khazanah keilmuan Islam di masa Kontemporer ini. Semoga Tuhan selalu memberkati Farid Esack sekeluarga.

Rujukan:

Amin Mudzakkir, Konservatisme Islam dan Intoleransi Keagamaan, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol.16 No.1 Juni 2017.

Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, terj. Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000).

Sudarman, Pemikiran Farid Esack tentang Hermeneutika Pembebasan Al-Qur’an, Jurnal Al-Adyan Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2015.

 

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru