26.6 C
Jakarta
Array

Negara Islam: Organisasi dengan Identitas Garis Keras

Artikel Trending

Negara Islam: Organisasi dengan Identitas Garis Keras
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pertengahan tahun ini (2014) media di Indonesia cukup intens diwarnai dengan pemberitaan sekelompok orang yang menyebut diri mereka Negara Islam. Berita dari berbagai sumber mewartakan bagaimana perjalanan dan tujuan organisasi dalam mewujudkan Negara Islam yang dimulai dari semenanjung Irak dan Suriah. Pemahaman jihad melalui garis keras membut stereotype teroris melekat pada organisasi ini. Indonesia sendiri menyatakan sebagai Negara yang mengakui ISIS (Negara Islam juga dikenal dengan nama ini) sebagai jaringan organisasi teroris padda Agustus 2014. Ini bukan pengakuan dari satu negar saja, beberapa negara barat dan timur tengah juga memberikan pernyataan yang sama. Terlepas dari ke-valid­an media untuk informasi sepak terjang mereka, image yang terbentuk pada organisasi ini membuat mereka menerima cukup banyak penolakan.

Konroversi pro dan kontra atas sepak terjang organisasi ini menjadi bahan perbincangan dan diskusi yang menarik. Baik itu dalam meneropong Islam sebagai agama yang diakui orgaisasi ISIS maupun telaah sosial dalam dunia global. Sementara indonesia dan beberapa negara lain yang mengklaim sepak terjang ISIS sebagai bentuk terorisme, menjadikan wajar dalam berbagai media yang disuguhkan adalah bagaimana tidak eloknya tindakan organisasi tersebut. Penulis yang juga mengamati pemberitaan ISIS sebatas pada suguhan media yang terbatas pula merasa tidak cukup bijaksana untuk menilai apakah tindakan dan sepak terjang organisasi tersebut buruk atau baik. Sehingga caatatan-catatan opini ini hanya beranjak dari perenungan akan pemahaman yang dangkal terkait hal tersebut.

Sebelumnya disebutkan bahwa sereotype yang melekat pada ISIS adalah teroris. Sebuah kategorisasi yang sering dipandang negatif oleh orang kebanyakan. Tajfel (dalam Brown, 2000) menyatakan bahwa Proses kategorisasi merupakan dasar dari dampak stereotype yang diterima dari kategori yang diberikan sebagai bagian dari variasi yang mengikat–dengan kata lain, melihat kesamaan yang lebih daripada mereka yang berada didalam kategori yang berbeda. Ini menjelaskan kesamaan didalam kelompok dan terdapat dua hal yang memiliki kontribusi signifikan terkait teori identitas sosial ini. Pertama, melawan kebijakan konvensional mengenai in-group yang selalu merasa lebih homogen daripada out-group. Kedua, melihat perspektif kelompok homogen secara umum (antara in-group dan out-group) sebagai jaringan proses identitas kelompok(Tajfel dalam Brown, 2000).

Jalan jihad melalui sikap anti-kristen serta tindak perlawanan terhadap dunia luar yang bertentangan dengan organisasi ini membuat ruang gerak mereka terkesan eksklusif. Identitas gais keras yang melekat cukup kuat tidak membuat organiasi ini kehilangan pengikut. Hal ini dapat terlihat dengan eksistensi ISIS yang semakin tampak terang pada 2014. Organisasi yang sebelumnya berada pada perahu yang ama dengan Al-Qaeda dan Al-Nusra ini, memiliki daya tarik tersendiri yang membuaatnya tetap memiliki anggota serta pendanaan yang cukup untuk terus memperjuangkan tujuan mereka.

Sepak terjang yang menuai cukup banyak kecaman dari berbagai kalangan serta label organisasi garis keras yang melekat pada ISIS lebih kepada kategorisasi yang dihadiahkan oleh masyarakat pada umumnya sebagai out-group terhadap organisasi ini sebagai in-group. Hal yang menarik dari teori identitas sosial yang dikemukakan oleh Tajfel (dalam Brown, 2000) adalah adanya kategorisasi yang membentuk stereotype serta adanya kelompok in-group dan out-group. Berbicara in-group dan out-group membuat kita dapat menjelaskan bagaimana pola tindakan garis keras yang dipilih oleh ISIS dalam pencapaian konflik-konflik yang mewarnai media akhir-akhir ini. Adanya in-group dan out-group membuat kecenderungan anggota kelompok minoritas membandingkkan kelompok mereka dengan kelompok lainnya yang dianggap lebih superior. Perbandingan ini salah satunya menyebabkan kompetisi dan konflik. Perbandingan yang dirasakan oleh kelompok minoritas sebagai ancaman yang perlu dillawan merupakann nalurii dasar dari mahkluk untuk tetap survive dalam keyakinan mereka.

oleh: Alifah Nabiah Masturah, S.Psi., M.A, Penulis adalah Alumni Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2008

Referensi

Brown, Rupert. (2000). Social identity theory: past achievements, current problems and  future challenges. European Journal of Social Psychology.

 

[1] Opini dalam renungan ditujukan kepada kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Psikologi UMM

[2]Alumni Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2008

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru