Sebagai Muslim meyakini keberadaan dan kebenaran para nabi dan rasul Allah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Para ulama mengartikan nabi sebagai seorang manusia laki-laki bebas yang menerima wahyu untuk dirinya sendiri tapi tidak disebarkan serta dirinya selamat dari penyakit-penyakit yang dapat menurunkan martabatnya.
Sedangkan rasul mendapat tugas tambahan untuk menyampaikan wahyu-Nya. Jelas al-Bajuri dalam bukunya yang menjelaskan untaian bait Jawharah al-Tawhîd. Jadi, tidak setiap nabi itu rasul. Sementara setiap rasul bisa dipastikan dia juga nabi. Kedua-duanya merupakan manusia yang dipilih oleh Allah swt dari milyaran manusia pernah hidup di pentas bumi ini.
Sudah jamak diketahui bahwa manusia-manusia pilihan Allah swt ini mempunyai beberapa sifat melekat yang tidak boleh terpisahkan. Allah swt mengutus para nabi yang cerdas, dilengkapi dengan kejujuran, fasih dalam penyampaian serta amanah hingga mereka berintegritas. Demikian kurang lebih terjemah satu bait gubahan ʻAqîdah al-ʻAwâm karya Ahmad al-Marzûqî al-Makkî. Keempat sifat ini (shidq, amânah, tablîgh, dan fathânah) oleh para ulama disimpulkan sebagai sifat wajib bagi para nabi dan rasul.
Mengenai berapa jumlah para nabi Allah swt ditemukan silang pendapat ulama. Mulai 124 ribu hingga 224 ribu. Sedangkan jumlah rasul juga diperselisihkan antara 313 dan 315 rasul. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Hibban dari Abu Umamah. Namun menurut al-Shawi dalam Syarh al-Shâwî ʻAlâ Jawharah al-Tawhîd yang benar tidak ada yang mengetahui jumlah mereka selain yang memilihnya, yakni Allah swt.
Sebab riwayat Abu Umamah dinilai sang lemah. Sementara Allah swt melalui QS Ghafir [40]: 78 telah menyatakan masih ada sebagai nabi dan rasul yang belum diceritakan kepada Nabi Muhammad saw. Dalam kitab Jalâ’ al-Afhâm Syarh ʻAqîdah al-ʻAwâm disebutkan bahwa Al-Quran hanya menyebutkan sebanyak 25 rasul. Jumlah inilah yang seharusnya diketahui oleh setiap insan yang telah mengikrarkan keimanan terhadap para nabi dan rasul Allah swt.
Salah satu keistimewaan lain yang dimiliki oleh para insan pilihan ini adalah ma’shum yang umumnya dialihbahasakan dengan ‘terjaga dari segala dosa’. Keterjagaan para nabi ini difahami beragam oleh para ulama. Menurut Fakhruddin al-Razi dalam kitab ʻIshmah al-Anbiyâ’, menurut pandangan ulama, ke-ma’shûm-an para nabi ada pada empat hal; akidah (terjaga dari dosa kekufuran), syariah (terjaga dari dosa penyimpangan hukum syariat), fatwa (terjaga dari dosa kesalahan berfatwa), dan terjaga dalam dosa tindakan serta keadaan mereka.
Mayoritas ulama dari berbagai madzhab menyepakati ke-ma’shûm-an para nabi tiga hal pertama; akidah, syariah dan fatwa. Sementara perdebatan hanya terjadi mengenai bentuk dosa dari tindakan dan keadaan para nabi mulai dari kecil atau besar dan sengaja atau tidaknya maupun lupa. Alhasil, keterjagaan nabi-nabi Allah swt ini merupakan sebagai bukti perbedaan mereka dari seluruh manusia pada umumnya yang tak bisa luput dari dosa dan kesalahan.
Keistimewaan ini juga dimiliki oleh makhluk mulia Allah swt yang lain yakni malaikat. Makhluk yang tercipta dari nur ini selalu terjaga dalam ketaatan sang Pencipta dan senantiasa terbebas dari kedurhakaan terhadap-Nya. Meski demikian derajat kemuliaan para malaikat tidak bisa melebihi derajat kemuliaan manusia-manusia pilihan penerima wahyu. Sebab, malaikat tidak mempunyai nafsu untuk berbuat membangkang sebagaimana diberikan kepada setiap manusia.
Sementara para nabi Allah adalah manusia. Mereka juga makan, minum, menikah dan lainnya yang tidak dilakukan oleh para malaikat. Namun ke-‘manusia’-an para nabi bukan sekedar manusia.
Mereka bukan manusia biasa. Melainkan manusia pilihan Tuhan yang mengemban misi ketuhanan serta kemanusiaan. []