26.1 C
Jakarta

Munarman Bebas! Hati-hati Terorisme Marak Kembali

Artikel Trending

Milenial IslamMunarman Bebas! Hati-hati Terorisme Marak Kembali
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Setelah mendekam di penjara selama dua setengah tahun, Eks-Jubir Front Pembela Islam (FPI) Munarman bebas murni dari Lapas Salemba, Jakarta Pusat, Senin (30/10) kemarin. Sebelumnya, ia dihukum terkait kasus terorisme.

Selepas keluar dari Lapas dan dikerumuni pers, alih-alih mengeluarkan statement yang menyejukkan, Munarman justru mengatakan bahwa hukuman penjara 2,5 tahun yang ia jalani tak sebanding dengan yang dialami rakyat Palestina.

“Apa yang saya alami 2,5 tahun lalu tidak ada apa-apanya. Kezaliman yang saya alami ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan saudara-saudara kita di Palestina. Tidak ada fasilitas kehidupan akibat teroris Israel, zionis, laknatullah. Umat Islam wajib membela saudara-saudara Muslim di Palestina yang dizalimi,” ujarnya.

Apa yang salah dari pernyataan tersebut? Ada dua hal. Pertama, Munarman tidak berubah. Ia tetap seperti dulu, keras-ekstrem, dan tidak paham keadaan. Baru keluar dari penjara seharusnya ia lebih bijaksana, bukan langsung menyulut masyarakat. Konflik Palestina sudah ditanggapi tegas oleh pemerintah Indonesia melalui Menlu RI di forum PBB. Jadi, apa gunanya Munarman memanas-manasi umat, ia tetap provokator.

Kedua, Munarman mengaku sebagi korban yang terzalimi. Siapa yang zalim? Pemerintah? Itu adalah tuduhan serius yang dapat membuat kesalahpahaman masyarakat. Padahal jelas, Munarman dihukum karena terlibat pidana terorisme. Ia tidak dizalimi. Ia memang harus dipenjara karena perbuatannya. Ketika ia bilang bahwa ia terzalimi, bukankah Munarman secara eksplisit menuduh pemerintah Indonesia seperti Israel?

Dua hal ini mesti diwaspadai karena dapat memantik terorisme ke depan dengan alasan kezaliman: kezaliman Israel pada Palestina dan kezaliman pemerintah Indonesia pada Munarman. Artinya, bebasnya Munarman bisa memarakkan terorisme kembali. Sebagai provokator ulung, Munarman akan terus bersuara provokatif. Ia boleh jadi bukan aktor terorisme, namun akan menjadi pemantik terorisme ke depan.

Aktor Terorisme

Di Indonesia, aktor terorisme itu dapat dibagi menjadi dua. Pertama, aktor langsung. Aktor langsung ini juga bertingkat, ada yang berposisi sebagai ideolog dan ada juga yang bermain di lapangan. Tokoh-tokoh seperti Abu Bakar Ba’asyir, Abdullah Sungkar, Zulkarnaen, dlsb tidak sama dengan Amrozi, Ali Imron, dll. Namun demikian, mereka semua adalah aktor langsung terorisme, terlepas dari apa pun nama kelompoknya.

BACA JUGA  Mengawal Transisi Pemerintahan, Melindungi Negara-Bangsa dari Kaum Radikal

Kedua, aktor tidak langsung. Aktor jenis ini secara kasat mata tidak pernah terlibat terorisme. Namun begitu, mereka intens menyumbang ide-ide ekstrem yang memantik orang lain untuk masuk ke jurang terorisme secara sadar maupun tidak sadar. Mereka biasanya hanya menarasikan tentang kezaliman rezim, ketidakadilan hukum, dan keterbelakangan Islam. Dan dari situlah, propaganda teror terjadi.

Kelompok dari aktor tidak langsung ini juga beragam. HTI jelas termasuk, FPI juga demikian. Artinya, Munarman termasuk di dalamnya. Sekalipun secara harfiah ia meminta umat Islam membela Palestina dari kezaliman, ia sebenarnya mendorong masyarakat ke tataran ekstremitas keberagamaan mereka. Misalnya para audiens Munarman saat keluar penjara kemarin ditanya: apa yang ditangkap dari ucapan Munarman? Jawabannya: “perlawanan”.

Munarman adalah representasi ekstremisme. Dan jelas, ekstremisme dan terorisme ibarat dua sisi mata uang. Artinya, lambat laun, Munarman akan kembali memainkan perannya sebagai aktor tidak langsung terorisme. Ironisnya, ia bisa merambah ke mana-mana untuk menegaskan bahwa negara ini dan pemerintahnya adalah sistem penuh kezaliman. Karena itu, Munarman akan menyemarakkan ideologi teror.

Ideologi Teror

Lalu bagaimana seorang Munarman dapat menyemarakkan ideologi teror? Jawabannya adalah: radikalisasi. Diseminasi ideologi teror melibatkan sejumlah faktor yang kompleks: sosial, ekonomi, politik, dan psikologis. Ketidakpuasan sosial-ekonomi, misalnya. Masyarakat ketika merasa teralienasi dan tidak puas dengan situasi ekonomi mereka, akan lebih rentan terjangkit ideologi teror.

Selain itu, instabilitas politik. Pada momentum menjelang Pemilu ini, provokasi sedang marak-maraknya dan membuat segala kemungkinan buruk tentang terorisme terjadi. Pada saat yang sama, instabilitas politik juga terjadi di dunia internasional, ketika Israel mengokupasi Palestina dan menggenosida rakyat Gaza. Munarman sudah bermain di ranah ini, dan akan selalu menjadi senjatanya memprovokasi umat Islam.

Ke depan, ideologi teror mungkin akan menyusup apa saja. Dan pencegahan diseminasi ideologi teror dapat melibatkan upaya pemerintah, masyarakat, hingga lembaga internasional. Namun dalam konteks Munarman dan sepak terjangnya ke depan, kewaspadaan terbesar harus berasal dari kita masing-masing. Provokator yang dipenjara karena terorisme itu kini sudah bebas, maka waspadalah karena ia pasti berulah Kembali.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru