32.7 C
Jakarta
Array

Metode Kontemporer yang Diperdebatkan

Artikel Trending

Metode Kontemporer yang Diperdebatkan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Alquran adalah kitab suci yang diturunkan untuk seluruh umat manusia. Maka, sifat kitab ini adalah sholih li kulli zaman wa makan. Alquran bukan hanya digunakan pada saat diturunkannya kepada Nabi Muhammad, melainkan bisa menyesuaikan kondisi tempat dan waktu. Namun, persoalan disini adalah banyaknya pemikiran tafsir yang masih condong pada tradisi Nabi Muhammad dan menampik keras modernitas.

Tradisi kitab tafsir adalah menggunakan metode turun-temurun. Produk tafsir ini dihasilkan dari madrasah khusus yang didalamnya hanya meperdebatkan seputar kekurangan dan kelebihan tafsir terdahulu dan mereka menyempurnakannya. Tafsir ini tidak berasal dari kegelisahan atas masalah yang ada di masyarakat, sehingga ruh dari tafsir ini hanya bersifat akademis saja.

Tradisi diatas dijawab oleh beberapa pemikir tafsir kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Abid Al Jabiri, Amina Wadud, Farid Esack, dll. Mereka bisa dikatakan seorang aktivis yang membela kaum lemah atas kitab tafsir atau kitab lainnya yang memarginalkannya. Mereka mencoba untuk menafsirkan ulang Alquran dengan metode yang baru demi menemukan jawaban atas masalah yang ada di masyarakat. Mereka percaya bahwa Allah melindungi kaum yang lemah atau tertindas di luar tegaknya syari’ah. Walaubagaimanapun, syari’ah adalah hasil ijtihad para ulama’ yang sifatnya tidak absolut.

Fazlur Rahman dengan teori hermeneutika double movement nya lahir karena kegelisahannya pada madrasah di kampung halamanya yang tidak ada kemajuan dalam berpikir. Rahman akhirnya belajar di Barat untuk menemukan hal baru yang akan dibawanya ke kampung halaman. Namun, tradisi di kampungnya masih kuat sehingga pemikiran Rahman ditolak hanya karena dia belajar di Barat.

Pemikiran Abid Al Jabiri tentang metode tafsir nuzuly lahir bersamaan dengan Theodor Noldeke sang orientalis yang juga membuat urutan Alquran berdasarkan asbabun nuzulnya. Metode ini pada saat itu masih tergolong baru. Abid Al Jabiri masuk pada kalangan yang masih mengakui tradisi Arab dan perlu adanya rekonstruksi untuk menjawab pengaruh modernitas yang tidak bisa dibendung lagi.

Banyaknya kitab fiqih dan tafsir yang masih menomorduakan kaum perempuan, Amina Wadud mencoba menafsirkan ulang ayat-ayat gender. Yang pertama dilakukan oleh Amina Wadud adalah menafsirkan ayat tentang penciptaan manusia. Beberapa tafsir masih menjelaskan bahwa penciptaan hawa (perempuan) diambil dari adam (laki-laki). Namun, disini Amina menjelaskan bahwa bisa jadi bukan dari adam, melainkan unsur utama dari penciptaan Adam. Jadi, penciptaan keduanya dari unsur yang sama dan tidak ada perbedaan.

Ada beberapa daerah yang menjajah kaum berkulit hitam. Seperti di Afrika Selatan yang dijajah oleh kaum berkulit putih. Peristiwa tersebut menggerakkan hati Farid Esack untuk menafsirkan ulang ayat-ayat Alquran untuk membela kaum yang tertindas. Maka dari itu, hermeneutika yang diusungnya yaitu hermeneutika pembebasan.

Beberapa pemikir diatas tidak sedikit yang mengalami penolakan di tengah masyarakat. Beberapa yang menolaknya adalah kaum fundamentalis atau kaum yang masih mengagungkan tradisi keislaman di suatu daerah. Metode hermeneutika ditolak karena hal tersebut adalah metode untuk menafsirkan Alkitab yang sangat berbeda dengan Alquran. Menurut mereka, metode untuk menafsirkan keduanya pun harus berbeda. Salah satu yang menolak hermeneutika adalah ustad Fahmi Salim. Dia mengatakan bahwa kemunduran Islam dikarenakan liberalisme dan pluralism.

Meski hermeneutika dari pemikiran para tokoh tafsir kontemporer banyak penolakan, namun metode tersebut dapat mengangkat derajat para kaum yang lemah dan tertindas. Di Indonesia kini tidak sedikit yang membahas isu gender untuk merekonstruksi pemikiran klasik yang tidak ada keadilan gender. Salah satu tokoh pegiat fiqih perempuan yaitu KH. Husein Muhammad.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru