27.2 C
Jakarta
Array

Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama (Bagian 2)

Artikel Trending

Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama (Bagian 2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kembali pada watak penyerapan, maka NU mengundang para sarjana justru menginginkan nilai-nilai baru sebagai masukan (input) untuk dikembangkan melalui program-program yang akan dilaksanakannya. Tentu, nilai-nilai baru yang akan diserap itu yang bermanfaat, ya menjadi catatan saja. Watak penyerapan ini memang amat dipertahankan NU, karena ada beberapa hal yang harus dihadapinya secara arif. Beberapa hal itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pertama, dan ini yang paling berat, adalah garapan Muktamar NU yang memakan waktu 18 bulan. Dari sudut materi, kita mulai menggarap secara serius sejak bulan Agustus 1983 dan baru selesai sekitar beberapa saat yang lalu. Oleh karena itu, sampai usainya Muktamar banyak susulan-susulan pikiran melalui rapat pengurusnya. Bahkan sampai sekarang, masih ada materi yang belum selesai yaitu: Al-Adillatun Naqliyyah tentang khittah 1926, yang juga mesti disertai pendapat para ulama. Mengapa hal ini dikatakan paling berat? Ya karena ini menyangkut masalah Ideologi negara kita dalam hubungannya dengan Islam.

Abad XIX, Abad Ideologi

Masalah yang cukup urgen, bahwa secara ideologis kita berdasarkan fakta sejarah, yang konstruk (urutan-urutan kesejarahan)nya antara Pancasila dan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:

Abad yang lalu (XIX), adalah abad Ideologi. Setelah kita memasuki masa “renaisance” (abad kebangunan pemikiran manusia) sekitar abad XV dan abad XVI, dan pada abad XVII kita memasuki masa “Aufklarung” (pencerahan), maka manusia seolah-olah dapat menemukan kunci untuk berkuasa di alam raya ini. Abad XVIII, kemudian ditandai dengan munculnya faham rasionalisme atau bisa juga dikatakan munculnya abad industri. Lantas pada abad XIX, masuk pada abad “Ideologi”.

Pada abad ini, diawali dengan munculnya komunisme metika Karl Marx menulis buku “Das Kapital”, kemudian bersama Friedrich Engels mengeluarkan “Manifesto Komunis” yang merupakan pandangan sosialitik pertama.

Ide Karl Marx dan Engels ini, lantas dikembangkan oleh Lenin, di penghujung abad ini. Di Jenewa, Lenin mengasingkan diri dan mulai mempelajari Marxisme. Kemudian, berkesimpulan bahwa Manifesto Komunis tidak bisa dilaksanakan, kecuali ada “Partai Komunis”. Artinya, harus ada sekelompok kecil yang dengan sadar mampu melaksanakan revolusi.

Maka sejak itu, muncullah konsep Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Ini diterapkan di Rusia sejak tahun 1917.

Begitu pula paham “Nasionalisme” juga muncul pada abad ini. Pemikir-pemikir cemerlang seperti Garivaldi, Ernest Renan merupakan tokoh-tokoh pemikir Nasionalis; yang kalau di Indonesia kita kenal seperti Soekarno dan lain-lainnya.

Kapitalisme dalam artian ideologis, juga muncul pada abad XIX. Kita kenal pemikirnya seperti Hamilton, salah seorang menteri keuangan Amerika yang kuat dan mampu merumuskan ideologi Kapitalisme secara cemerlang melalui karya-karyanya tentang “federalisme”. Begitu pula cara-cara kerja ekonomi kapitalis yang pernah dirumuskan oleh Tylor.

Sosialisme, secara ideologi, terbagi menjadi dua. Yaitu yang Marxisme komunistis sosialis di satu pihak, dan Marxisme sosialistis dalam arti yang demokrat; dimulai Roza Lockzomborg, Karl Kautsky dan sebagainya. Nanti, ujungnya sampai pada nama-nama seperti Lee Kuan Yew (Singapura), Prof. Soemitro, Prof. Widjojo Nitisastro dan lain sebagainya yang semuanya bersumber pada abad XIX.

Nah, termasuk Islam sebagai ideologi juga lahir pada abad XIX. Lahirnya Islam sebagai pemahaman ideologis ini karena umat Islam dijajah oleh kolonialisme. Karena terjajah, tentu semua cara digunakan untuk melepaskan diri menuju kemerdekaan, termasuk juga agama. Dan agama, dalam hal ini, harus diberi bentuk perjuangan yang jelas bahkan politis sekali: merebut kekuasaan negara.

Karena hanya dengan cara seperti itulah umat Islam bisa merdeka. Kristen juga begitu, di beberapa tempat seperti di Filipina, Amerika Latin dan lain-lainnya agama dijadikan alat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Jadi kita dapat melihat kaitan antara agama sebagai ideologi, yang muncul bersamaan dengan munculnya ideologi-ideologi dunia yang sekuler. Dengan kata lain, agama juga menjadi ideologi dunia.

Pemahaman secara ideologis ini, dimulai dari Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rashid Ridha, dan yang lain-lainnya. Memang, dari mereka ini ada percobaan untuk mengadakan pembaruan pemahaman Islam. Tetapi kalau melihat karya-karya para ahli keislaman yang cukup obyektif dalam menilai mereka, dikatakan bahwa apa yang diperbuat Afghani, Abduh dan sebagainya kalau dipandang dari sudur modernisasi maka pembaruan yang mereka lakukan itu gagal total.

Tetapi kalau mau melihat al-Aghani, jangan dilihat dari sudut ini. Tetapi lihatlah dari segi keberhasilannya merumuskan konsep Islam sebagai ideologi politik. Dan disini, kita dapat melihat bagaimana ideologi-ideologi dunia atau ideologi-ideologi universal masing-masing mempunyai pandangan berbeda mengenai berbagai hal seperti kemasyarakatan, perekonomian dan lain sebagainya. Dan ini masuk ke Indonesia dengan masuknya sains modern, dengan adanya sistem sekolah, anak-anak Indonesia mulai sekolah ke Belanda dan kolonial Belanda sendiri mulai berbeda pendapat; ada yang berpegang pada politik etik, ada yang konservatif. Semua itu menunjukkan pada masuknya ideologi-ideologi dunia ke Indonesia pada permulaan abad ini (XX).

Ideologi-ideologi universal yang masuk ke Indonesia itu ada dua macam, yang satu ideologi sekuler, menghendaki agar jangan sampai agama menjadi salah satu kekuatan penentu dalam kehidupan kenegaraan. Negara harus netral dalam soal agama. Bahkan kalau perlu seperti di Amerika sekarang, UUD melarang doa dibaca di dalam kelas. Jadi, guru mengajar doa di kelas itu bertentangan dengan UUD, karena di sana agama adalah urasan pribadi; negara tidak mengurusi agama. Ini adalah ideologi-ideologi dunia yang sekuler (nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme).

Kedua, adalah ideologi universal yang juga ada di Indonesia, menginginkan agar agama menjadi kekuatan penentu (utama) dalam kehidupan bernegara atau negara teokratis (negara syari’at). Jadi negaranya yang bertanggungjawab pada dilaksanakannya syari’at atau tidaknya. Sudah tentu tak dapat dihindari, lambat laun menjadi perdebatan sengit ketika bangsa Indonesia mau merdeka.

*KH. Abdurrahman Wahid, Mantan Ketua Umum PBNU

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru