27.6 C
Jakarta
Array

Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam

Artikel Trending

Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Rusdi Mathari, lelaki kelahiran Situbondo 12 Oktober 1967 yang  merupakan seorang pekerja bahasa dan pada khususnya menekuni dunia jurnalistik tersebut meninggalkan 4 buku menarik untuk kita ulas. Diantaranya; Karna Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan, Aleppo, Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya, dan terakhir yaitu sehimpun reportase yang terdiri dari 19 naskah miliknya. Judul buku yang saya singgung terakhir yang akan sedikit kita ulas kali ini.

Buku yang tidak sama sekali membahas ihwal “Strategi sukses beternak ayam dalam waktu…..”. Jadi bagi saudara yang hendak menekuni bidang peternakan ayam, jauhkan niat untuk membaca buku ini, karna buku ini tidak mengajarkan untuk sukses bergelimang harta, namun hanya ‘sekedar’ sukses melatih nurani anda hingga sampai menguras air mata.

Saya mengambil pelajaran dalam buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu. Suksespun sebenarnya sudah berada dalam defaul factory setting kesuksesan manusia dan selalu ‘ready’, siap, hybernate di background kehidupan manusia sejak lahir. Dan pena dari Rusdhi Mathari berhasil mencapai kesuksesannya dalam membuat pembaca kagum dengan kegigihan dan keuletannya dalam memperoleh hingga menyusun tulisan demi tulisan setiap naskah yang Ia suguhkan. Lelaki tidak menangis, tapi hatinya berdarah, Dik. Secuplik quotes Rusdi Mathari yang saya rasa mendapat tempat kesuksesan di hati pemuda yang sedang dirundung gundah gulana masalah asmara.

Buku berjudulkan Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam, terbit cetakan pertama pada Juli 2018 silam. Buku tersebut memuat sembilan belas naskah reportase yang ditulis Rusdi Mathari pada rentang waktu 2007-2014. Sembilan belas naskah yang telah ditulis olehnya adalah reportase pilihan dari tiga puluh lebih naskah yang disodorkan dari penerbit, namun dengan segala pertimbangan, hanya sembilan belas naskah yang dimuat dalam buku ini.

Naskah pertama yang akan kita jumpai dalam buku ini yaitu ihwal korban penderita AIDS yang dikucilkan oleh lingkungan sosialnya. Kedua, cerita yang berangkat dari persaingan pasar di dunia intertaiment, pada khususnya adalah bioskop yang cukup sengit antara Bioskop 21 dan Blitz Megaplex. Ketiga, kisah-kisah penulis yang mengabadikan perjalanannya dari panti ke panti, pergolakan batin sebagai orang tua yang ditempatkan di lingkungan panti oleh sanak saudara. Hingga niat baik seorang takmir masjid yang merasa iba terhadap seorang nenek yang hidup sebatang kara dan selalu tidur di sebuah pos ronda, dan dalam penyampaiannya mungkin akan membuat pembaca menguras air mata.

Keempat, ulasan ceita dalam usaha mengungkap kembali kematian Munir setelah meninggal karna ditemukan arsen sebanyak 456 mg mengendap di lambung lelaki pendiri dan pelopor lahirnya kontraS tersebut. Kelima, kisah tentang Antasari Azhar yang terdiri dari tiga naskah, kisah ini memuat intrik-intrik politik antara antasari Antasari dengan lawan-lawan politiknya. Keenam, sejarah singkat keberjalanan band bergenre Rock angkatan 1973 yaitu God Bless yang akan melakukan reuni di pentas “To Commemorate God Bless 1973-2014”, band yang justru dikenal masyarakat sebagai band rock dari pada sekumpulan orang-orang yang menyuarakan kritik sosial via lirik-lirik lagu mereka, jauh sebelum grup musik atau penyanyi lain melakukannya.

Ketujuh, kegemaran penulis dalam mengunjungi kehidupan pasar yang ada di dekat rumahnya, menurutnya pasar adalah ruang dialektika secara jujur dan terbuka. Berikutnya, sebuah liputan mendalah terkait pembalakan hutan yang ada di Kalimantan yang terdiri dari empat naskah, dalam seuah film dokumenter berjudul Asimetris. Kesembilan, liputan dari Madiun, Jawa Timur yang mengulas ketertinggalan peradaban dalam kesediaan listrik, padahal daerah yang dituju hanya selemparan bola sepak dari jalan besar. Kesepuluh, sebuah cerita dari Solo, Jawa Tengah tentang pengaruh Jokowi terhadap pembangunan yang ada di Solo.

Kesebelas, cerita tentang reklamasi Teluk Jakarta yang menuai konflik hingga saat ini. Kedua belas, sebuah liputan dari Aceh yaitu tapak tilas peristiwa pasca tsunami yang melanda 26 Desember 2004.

Terakhir, sebuah liputan tentang diskriminatif terhadap sebuah organisasi masyarakat Islam, yaitu ormas syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur. Menyinggung terkait reportase terakhir yang saya sebutkan di paragraf ini akan menjadi menarik, ketika kita angkat pada forum-forum diskusi keagamaan, mulai dari diskusi sejarah timbulnya beberapa golongan jaman ke-Khalifahan Ali Bin Abi Thalib hingga sekarang. Ihwal berbagai praktik ibadah yang dilakukan oleh beberapa golongan juga sering sekali menjadi sebuah perbincangan abadi oleh beberapa masyarakat kagetan.

Saya baru kemarin sore masuk ke organisasi Pergerakan Mahasiwa Islam Indonesia yang merupakan banom dari pengikut ajaran Ahlusunnah wal jamaah merasakan desakan untuk menimba lebih dalam wawasan intelektual seputar lahirnya Aswaja serta sikap-sikap santun yang semestinya lahir dari tubuh pengikut ajaran Aswaja. Sekumpulan mahasiswa/i yang dicita-citakan dapat bekerja untuk masa depan dengan melihat sejarah-sejarah masa lalu yang ada dan kita jadikan sebuah pelajaran moral. Diluar hal itu, semakin cepatnya perubahan jaman dan gaya hidup, tidak bisa dilepaskan bahwa selalu ada degradasi pemahaman yang menimpa diri manusia dan kadang tidak sepenuhnya disadari.

Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dan ilmu, meskipun khazanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan mengikuti sistem pengkaderan dasar pada organisasi Pergeraan banom NU, kita akan memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang wawasan lahirnya aswaja, konsep NDP (Nilai Dasar Pergerakan), lebih-lebih terkait masalah ke Indonesiaan yang menanamkan konsep cinta Negara dan Tanah air, serta Ideologi Pancasila yang tak henti-hentinya dikuliti.

Tetapi barangkali, ilmu hanya akan terjadi tatkala pengetahuan tersebut kita aplikasikan di lingkungan masyarakat. Lebih dari itu ditandai oleh realitas menyeluruh, dimana wawasan pengetahuan tersebut telah menjadi bagian dari kita, karna telah berlembaga menjadi laku dan tindakan santun. Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualisasi ekstensi makhluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun belumlah “langit” tertinggi dalam kosmos ”ahsani taqwim”­- sebaik-baik makhluk- manusia.

Cinta adalah rem, pembijak, pengarif, yang terkadang nikmat, terkadang tega dan sakit,bagi kemungkinan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pengetahuan. Ini berlaku pada skala manapun, di kesempatan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.

Fakta menarik dibalik kejadian tersebut saya elaborasikan dengan teori Darwin mengenai The survival of the fittest yang menunjukkan bahwa hanya yang kuatlah yang menang, yang berhasil bertahan “hidup”. Dalam hal perjuangannya untuk hidup maka moral, atau moralitas dapat dengan mudah dinegasikan atau tidak memperoleh tempat. Manusia segera melihat bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan, perjuangan untuk hidup memerlukan kekuatan bukan kebaikan, kesalehan atau kebajikan, bukan rasa rendah hati melainkan keangkuhan, bukan altruisme melainkan kecerdikan.

Tetapi bagaimana mereka yang  mengambil keuntungan dari kekeroposan ini? Apakah mereka juga “decadents”?. Dan apa yang harus kita katakan mengenai masyarakat di mana rangsangan sensual harus semakin kuat agar menghasilkan efek-efek yang sama; dalam mana ”mode” harus selalu berubah setiap malam supaya tetap ”modis”, dengan perkataan lain supaya tetap bisa menarik perhatian? Apakah “toleransi” modern itu hal yang positif, atau hanya merupakan kurangannya minat, kurangnya kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap hal-hal baru yang mungkin merugikan.

Lebih lagu dipicu dengan kepentingan politik, beberapa indikasi yang saya temukan dalam reportase tersebut lebih banyak perselisihan yang terjadi karna dipicu oleh kepentingan politik, kekuasaan serta perpolitikan kyai antar kyai dalam memperoleh pengikut.

Sekumpulan reportase Rusdi Mathari seolah ingin mengajak pembaca untuk menggunakan rasa dan pikiran rasionalitas pembaca dalam memahami setiap reportasenya dengan hati. Hal yang menjadi keresahan saya pribadi dalam hal ini, orang yang menjadi korban klaim kafir dan sesat tidak mendapatkan tempat sebagaimana manusia yang seharusnya, memanusiakan manusia. Seolah-olah bumi ini terlalu sempit menampung sebuah perbedaan.

Hemat saya dalam memandang konflik yang terjadi yaitu ternyata masih banyak sekali kehidupan disekitar kita terdapat masyarakat demokrasi kita ini tumbuh bibit-bibit dekaden, Nietzsche mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Senjakala dan Anti-krist, dalam masyarakat kita terdapat orang-orang yang jelas dekaden, dalam arti keropos moralnya: mereka memerlukan “rangsangan-rangsangan yang semakin kuat dan semakin terus-menerus” guna memberi mereka penasaran bahwa mereka hidup lalu dimatikan, dan yang lebih penting dari pada politik adalah kemanusiaan. Amar ma’ruf nahi munkar dan pasti bukan membakar rumah-rumah orang-orang syiah, tidak merusak dan tidak membunuh. Emok ngetong jhelenna ajem, kaloppae sakona dhibhik niddhek tamacok (mereka hanya sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam).

 

Judul                           : Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam

Penulis                         : Rusdhi Mathari

Penerbit                       : Mojok

Cetakan                       : Pertama, Juli 2018

Jumlah Halaman          : vii + 215 halaman

ISBN                            : 978-602-1318-63-8

Oleh: Khoiri Habib AnwariMahasiwa Peternakan, Ketua PMII Rayon Pertanian UNS , Komisariat Kentingan. PMII Cabang Solo.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru