29.3 C
Jakarta
Array

Mengikuti Generasi Shalaf al-Shalih

Artikel Trending

Mengikuti Generasi Shalaf al-Shalih
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam kurun waktu terakhir, banyak orang Muslim yang ingin kembali ke kehidupan para ulama generasi masa lalu yang saleh (al-salaf al-shalih) Mereka dipandang sebagai generasi paling baik dalam sejarah peradaban Islam. Keinginan ini boleh jadi karena mereka tengah merasakan kekecewaan pada kehidupan dewasa ini yang telah rusak, bobrok dekaden dan menyengsarakan banyak orang. Gaya hidup manusia zaman ini cenderung untuk menyenangkan diri sendiri, hedonis, materialistis, sekuler, dan tak peduli pada penderitaan orang lain. Norma-norma keagamaan telah disingkirkan dalam keseharian hidup mereka.

Kenyataan hidup seperti inilah yang membuat umat Islam semakin terpuruk dan tertinggal dari kemajuan dan kesejahteraan. Ini semua akibat umat Islam meniru konsep orang asing, bangsa-bangsa Barat. Maka, tak ada cara lain, menurut mereka, umat Islam harus kembali pada cara hidup generasi muslim pertama. Generasi yang disebut sebagai as-salaf as-shalih adalah generasi Nabi dan para sahabatnya, generasi para penerusnya (tabi’ in) dan generasi penerus mereka (tabi’i tabi’in). Pendeknya, generasi tiga abad yang pertama. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi: Muhammad: “Generasi paling baik adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, dan generasi berikutnya lagi. ” (HR Bukhari Muslim).

Dalam memori mereka, terekam gambaran kemajuan, kemakmuran, dan kebahagiaan yang meliputi hidup generasi salaf tersebut. Pada zaman itu juga tak ada atau sedikit sekali kebobrokan moral dan kejahatan sosial. Kemajuan pembangunan sosial dan ilmu pengetahuan juga tampak di seluruh wilayah kekuasaan Islam sehingga zaman itu disebut sebagai The Golden Age (Zaman Keemasan Islam).

Lantas bagaimana Mengikuti al-Salaf al-Shalih yang tepat?

Kehendak untuk hidup baik, maju, makmur, dan sejahtera tentu saja menjadi dambaan semua orang. Demikian pula keinginan untuk meniru cara hidup orang lain yang diidealkan tersebut boleh-boleh saja. Namun, apakah yang seharusnya ditiru dari mereka? Acap kali jawaban kita adalah meniru pakaian, cara makan, atau senjata yang mereka gunakan untuk amar makruf nahi mungkar “memerintahkan kebaikan dan menghentikan keburukan dan kejahatan”. Peniruan pada hal-hal seperti ini tentu juga tidak salah. Ini soal pilihan belaka. Ada juga yang meniru mereka agar hanya mengikuti satu pendapat saja-pendapat dirinya-menolak pikiran yang lain, atau bahkan menyatakan pilihan orang lain sebagai pilihan sesat.

Bila yang terakhir ini menjadi hal yang pokok, sungguh-sungguh sangat disayangkan. Para ulama masa awal (al-Salaf al-Shalih) dan para mahaguru kebijaksanaan adalah orang-orang yang sangat rendah hati dan sangat terbuka bagi segala kebaikan, dari mana pun datangnya dan siapa pun yang menyampaikannya. Mereka membaca dan memahami firman Allah: Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengampu pelajaran (dari firman Allah). (QS AI-Baqarah [2]: 269 ).

Abu Bakar bin Duraid seorang ahli bahasa, sastrawan, dan penyair terkemuka mengatakan “Setiap kata, Pendapat, atau pikiran yang memberimu kebaikan dan menjauhkanmu dari keburukan adalah hikmah.” Sebagian ulama menafsnkan hikmah sebagai llmu Pengetahuan dan filsafat. Kemajuan peradaban bangsa Islam selama empat abad pertama Islam tak lain adalah karena mereka terbuka terhadap segala ilmu pengetahuan dan peradaban dunia tanpa melihat latar belakang agama dan kebangsaannya. Mereka tidak hanya sangat toleran terhadap orang lain meski berbeda agama, tetapi juga bekerja sama untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik dan menyejahterakan. Ibnu Rusyd, filsuf muslim besar, mengatakan “jika kita menemukan kebenaran dari mereka (yang berbeda dari kita), kita mestinya menerima dengan gembira dan menghargainya. Namun, jika kita menemukan kesalahan dari mereka, kita patut mengingatkan, memperingatkan dan menerima maafnya. Sementara itu, Ibnu al-Qayyim, seorang ulama salafi mengatakan, “Bila engkau melihat ada keadilan dari mana pun datangnya, ambillah, karena keadilan inti agama Tuhan.”

Imam Ali bin AbiThalib mengatakan, “AlQur’an Hammal wajhu (Kata-kata Al-Quran mengandung makna multi dimensi, multi pemahaman).” Oleh karena itu, jika pemahaman orang atasnya berbeda-beda dan mengambil perspektif yang berbeda-beda merupakan hal yang wajar. Mereka saling menghargai dan menghormati pendapat lainnya dengan seluruh ketulusan hatinya.

Sumber : Menyusuri Jalan Cahaya

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru