28.4 C
Jakarta
Array

Menelusuri Sejarah Ilmu Qira’ah

Artikel Trending

Menelusuri Sejarah Ilmu Qira’ah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam satu dekade terakhir ini, Qira’ah menjadi sesuatu yang tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, terlebih yang concern di dunia ulumu qur’an. Selain tersedianya literatur tentang Qira’ah, juga sudah ada acara khusus [lomba] tentang Qir’ah tertentu. Hingga sampai saat ini, ada ilmu yang membahas tentang Qira’ah secara rinci.

Diakui atau tidak, saat ini sangat sedikit sekali orang yang mengetahui sejarah Ilmu Qira’ah itu sendiri. Berkenaan dengan itulah, artikel ini hadir memenuhi kebutuhan para pembaca.

Mengulas sejarah Qira’ah, ada satu buku yang tak boleh ditinggalkan, yakni karya M Ali Ash-Shabuniy, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Studi Ilmu Alquran. Dalam buku tersebut dijelaskan  bahwa Qira’ah sudah ada pada masa sahabat. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa periode qura’ yang mengajarkan bacaan Alquran kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan standar dari masa sahabat yang mulia [M. Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu Alquran, Terj. Aminuddin, Bandung; CV Pustaka Setia, 1991 hal. 374].

Munculnya ulama-ulama atau sahabat yang populer dengan bacaannya, diantaranya adalah Uba, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asyari, dan lain sebagainya merupakan bukti kuat bahwa Qira’ah sudah ada pada zaman sahabat.

Nah, kiranya sangat perlu diperhatikan bahwa, dari meraka itulah para sahabat berpedoman kepada rasulullah Saw. sampai dengan masa tabiin pada permulaan abad ke-2 H. Selanjutnya timbullah golongan-golongan yang sangat konsen nan memperhatikan tanda baca secara sempurna manakala diperlukan dan mereka menjadikannya sebagai suatu cabang dari ilmu sebagaimana ilmu-ilmu yang lain [M. Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu Alquran, Terj. Aminuddin, (Bandung; CV Pustaka Setia, 1991), hal.374-375].

Dinamika yang sangat dinamis tersebut memunculkan menjadi tonggak munculnya ilmu Qira’ah. Secara sederhana, dapat ditemukan bahwa munculnya ilmu Qira’ah didasari atas fakta bahwa banyak sahabat yang mengajarkan Alquran berdasarkan dialeknya masing-masing, sehingga memunculkan perselisihan di kalangan masyarakat kala itu.

Sebagaimana mafhum diketahui bahwa pada periode pertama, Alquran belum dibukukan, sehingga dasar pembacaan dan pembelajarannya adalah masih secara lisan. Kondisi ini menjadikan para sahabat kala itu yang menekuni Alquran  dengan metode mendengar dari Nabi secara langsung kemudian mereka menghafalnya.

Kondisi ini terus berlangsung sampai masa sahabat, masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar hingga akhirnya para khalifah ini baru membukukan Alquran dalam satu mushaf.

Kemudian pada masa Khalifah Ustman bin Affan, mushaf tersebut disalin dan digandakan menjadi banyak, serta dikirim ke berbagai tempat atau daerah Islam sehingga pada waktu itu, Alquran atau mushaf ini menjadi pedoman dan hafalan masyarakat Islam [Abdul Djalal, Ulumul Quran, Surabaya; Dunia Ilmu, 200].

Usut punya usut, langkah Ustaman itu sebagai antisipasi karena ada perselisihan sesama kaum muslimin mengenai Alquran. Perselisihan tersebut hampir saja mencetuskan sebuah peperangan antar saudara karena Alquran diajarkan dengan dialek yang berbeda dengan apa yang mereka ketahui dan pahami selama ini. Alhasil, para kabilah merasa benar dan kelompok lainnya salah.

Sekali lagi, inilah pangkal munculnya ilmu qiraah, yaitu karena perbedaan cara baca terhadap Alquran.  Sesudah upaya Ustman untuk menyelaraskan bacaan Alquran dengan mengirimkam mushaf yang telah disalin oleh Zaid bin Tsabit dan lainnya itu, ternyata menyebabkan para qurra bermunculan. Mereka menjadi panutan di daerahnya masing-masing. Di Madinah misalnya, umat Islam berguru qiraah pada Ibnu Musayyab, Urwah, Salim, dan sebaginya. Di Mekkah, umat Islam bisa menemui alhi qurra seperti Ubaid bin Amer, Atha’ bin Abi rabah, dan lain sebagainya. Di Kuffah, ada ulama kenamaan seperti Said bin Jubairi, Harist bin Qais, dan lainnya [Abdul Djalal, Ulumul Quran, Surabaya; Dunia Ilmu, 200].

Setelah adanya tokoh-tokoh tersebut, banyak qurra yang terkenal di penjuru dunia serta dikembangkan oleh generasi berikutnya yang berlainan dan berbeda tingkatnya serta sifatnya. Di antara mereka ada yyang sangat baik dalam membaca, masyhur dari segi riwayat dan dirayahnya dan sebagian lainnya ada yang hanya mempunyai satu bacaan. Itulah sebab, timbulnya banyak perbedaan dan ketidak seragaman antara sesamanya. Dalam kondisi seperti itulah, lahirlah tokoh-tokoh dan pemimpin umat, secara sadar dan terencara, melakukan kerja keras untuk mempelajari karakteristik dan kemudian membuat kaidah-kaidah guna menjadi patokan, sehingga mengetahui mana yang salah dan mana yang benar [M. Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu Alquran, Terj. Aminuddin, (Bandung; CV Pustaka Setia, 1991), hal. 376].

Secara praktif dan empiris, ilmu qiraah belum muncul, sebelum abad ke-IV H. Adapun orang pertama yang mengenal ilmu Qira’ah adalah Abu Bakar Ahmad bin Mujahid. Kemudian dilanjutkan dengan Abu ubaid al-Qasim bin Salam, Abu Jafar Ath-Thabary serta Ismail Al-Qadhi.

Muhammad chirzin, mengaskan bahwa latar belakang antusias para ulama memelihara qiraat yang diriwayatkan adalah karena ada abad ke III kebohongan meluas, sedangkan ilmu mengenal Alquran dan sunnah telah banyak sekali sehingga perlu juga membuat formulasi untuk mengatasinya kebongna itu [Muhammad Chirzin, Alquran dan Ulmul Quran, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima, 1998), hal. 88]. [N].

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru