Harakatuna.com – Beberapa tahun terakhir, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks yang bersifat ekonomi dan sosial-politik, juga ranah ideologis dan kultural. Situasi semakin diperparah dengan munculnya narasi yang memanfaatkan ketidakpastian dan keresahan masyarakat untuk menggalang dukungan agenda-agenda destruktif. Salah satu fenomena yang mencolok adalah upaya kebangkitan kembali HTI.
Sebagai ormas terlarang, kebangkitan kembali HTI tak dapat dipandang sebagai problem remeh-temeh. Lewat narasi khilafah, HTI terus menawarkan solusi atas segala permasalahan Indonesia dengan cara yang justru akan merusak persatuan dan kesatuan nasional.
Pada saat yang sama, realitas sosial-ekonomi di tanah air juga memprihatinkan. Banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat efisiensi anggaran memantik satu kekhawatiran: nasib anak bangsa dipertaruhkan. Program utama pemerintah, makan bergizi gratis (MBG), yang idealnya menyejahterakan rakyat, justru tidak efektif dan rancu dalam implementasinya. Kritik datang dari kalangan oposisi dan masyarakat itu sendiri.
Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah lantas menjadi lahan subur kaum radikal untuk menyebarkan narasi ketakutan dan ketidakpercayaan terhadap sistem negara—empat pilar kebangsaan Indonesia.
Narasi ketakutan pun diperkuat dengan munculnya wacana negara militeristik. Para aktivis khilafah, HTI terutama, menggunakan isu ‘negara militeristik’ untuk menambah ketakutan di tengah masyarakat. Mereka menuduh negara sedang bergerak menuju otoritarianisme militer, yang akan membungkam kebebasan berpendapat dan beragama. Sungguh, jika dibiarkan, negara ini tengah berada di hadapan ‘krisis multidimensi’.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah, ada upaya sistematis untuk meracuni generasi muda, khususnya Gen Z, dengan doktrin bahwa semua kesemrawutan di tanah air terjadi karena tidak mengamalkan Islam secara kafah; tidak menegakkan khilafah. Generasi muda jadi target indoktrinasi dengan paham yang anti-kebangsaan, dengan dijejali solusi simplistis hasil memanipulasi sejarah dan mengeksploitasi Islam.
Dalam konteks inilah Harakatuna merasa penting untuk menawarkan solusi alternatif yang inklusif dan berorientasi pada persatuan bangsa. Solusi yang dimaksud mesti mampu menjawab tantangan berbagai aspek, mulai dari ekonomi, sosial-politik, hingga ideologis. Lantas, apa saja kiat-kiat untuk mencegah Indonesia dari krisis multidimensi tersebut?
Pertama, dalam aspek ekonomi, pemerintah perlu merancang kebijakan yang pro-rakyat dan berkelanjutan. Program MBG layak dievaluasi ulang untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada yang membutuhkan. Selain itu, pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja baru lewat investasi di sektor strategis, seperti teknologi hijau, ekonomi kreatif, dan industri 4.0.
Kedua, dalam aspek sosial, perlu penguatan pendidikan karakter dan literasi media di kalangan Gen Z, atau Gen Alpha juga sebenarnya, yang orientasinya adalah edukasi wawasan kebangsaan, moderasi, dan pluralisme. Sementara itu, literasi media diperlukan agar generasi bangsa bisa memfiltrasi informasi dan tak mudah terpengaruh narasi destruktif HTI. Namun ini tantangannya besar, sebab anggaran pendidikan juga dipangkas besar-besaran.
Ketiga, dalam aspek politik, perlu ada upaya memperkuat demokrasi dan partisipasi publik. Pemerintah harus membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan masyarakat sipil, termasuk kalangan yang teralienasi—sebab mereka mudah terpapar. Transparansi dan akuntabilitas pemerintahan juga harus ditingkatkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Selain itu, hukum harus ditegakkan secara adil tanpa pandang bulu.
Keempat, dalam aspek ideologis, Pancasila harus terus diperkuat sebagai ideologi pemersatu bangsa. Kiatnya dilakukan bisa lewat pendidikan formal, atau bisa juga melalui gerakan-gerakan sosio-kultural yang mampu menyentuh semua lapisan masyarakat. Pancasila harus dipahami bukan sebagai simbol saja, tetapi juga norma hidup yang mengakar dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Harakatuna percaya, solusi-solusi tersebut akan mampu mencegah krisis multidimensi, sekaligus membawa Indonesia menuju masa depan yang baik. Solusinya tak datang dari luar, tetapi dari dalam diri bangsa Indonesia sendiri. Kita punya semua resources yang dibutuhkan: SDA, SDM, dan budaya. Yang kita butuhkan selanjutnya ialah kesadaran kolektif untuk bersatu dan saling mendukung menghadapi segala tantangan krisis.
Kita, perlu ditegaskan berulang-ulang, tak boleh terjebak dalam narasi provokatif kaum radikal—semua itu merusak persatuan dan kesatuan. Kita justru mesti percaya pada kemampuan kita sendiri untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat. Itulah solusi alternatif yang Harakatuna tawarkan untuk mencegah krisis multidimensi; solusi yang menjawab masalah hari ini sekaligus membangun fondasi masa depan NKRI. []