27.7 C
Jakarta
spot_img

Ngaji Tafsir: Awas Jangan Pernah Caci Maki Kaum Difabel

Artikel Trending

Asas-asas IslamTafsirNgaji Tafsir: Awas Jangan Pernah Caci Maki Kaum Difabel
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. – Dalam menjalani kehidupan ini, sangat kecil kemungkinannya untuk terbebas dari stigma (paradigma negatif). Hal demikian barang tentu sudah menjadi keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Adanya interaksi antar sesama dalam ruang publik juga menjadi dorongan kuat tersendiri untuk menilai, mengeksplorasi perspektif kepada manusia lain. Sehingga tentu wajar sekali jika stigma selalu menghampiri per setiap individu.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), stigma diartikan ciri negatif yang melekat pada diri orang karena dipengaruhi oleh lingkungan yang ia tempati. Sementara itu, Michaels (2012) mengartikan stigma sebagai bentuk penyimpangan penilaian dan perilaku negatif yang terjadi karena yang terkait mengalami gangguan, tidak memiliki keterampilan maupun kemampuan untuk berinteraksi serta bahaya yang mungkin dapat ditimbulkannya. Dengan terjadinya stigma tersebut, sikap masyarakat menjadi cenderung diskriminatif sekaligus mengucilkan baik melalu lisan maupun tindakan.

Dalam upaya mengklasifikasikan stigma, stigma sendiri terbagi menjadi dua, yaitu public stigma dan self stigma. Mengenai public stigma diartikan perilaku dan sikap masyarakat yang ada pada lingkungan setempat. Sementara self stigma memiliki pengertian yang lebih khusus, yakni dimaksudkan kepada orang dengan gangguan jiwa.

Sebagai minoritas terbesar, PBB melaporkan bahwa dengan jumlah 650 juta orang di dunia ini mewakili 10% yang mengalami keterbatasan fisik dan kemampuan. Banyaknya para penyandang di dunia juga disebabkan oleh demografi penduduk. Di Indonesia, menurut Riset LPEM FEB Universitas Indonesia tahun 2016 jumlah penyandang disabilitas sebesar 12,15 persen. Sementara orang yang masuk kategori sedang sebanyak 10,29 persen dan kategori berat sebanyak 1,87 persen. Jika dikalkulasikan, menurut Ismandari (2019) sekitar 21,84 juta jiwa penduduk Indonesia ditetapkan sebagai penyandang disabilitas. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hampir seluruh pelosok negeri kemungkinan besar terdapat orang penyandang kebutuhan khusus.

Perlu dipertegas kembali bahwa adanya stigma dilahirkan dari sudut pandang masyarakat yang mengeksplorasi penilaian terhadap orang. Sehingga, cara berpikir tersebut dengan sendirinya dapat memunculkan sikap yang namanya diskriminatif. Rahman (2013), mendefinisikan diskriminasi sebagai sikap yang merendahkan orang lain dari aspek keanggotaannya dalam suatu kelompok. Di sinilah yang perlu kiranya dirumuskan adalah uraian solutif. Demikian pula seyogyanya adanya uraian solutif yang masih dikaji barang kali dapat dipertebal ke arah yang lebih sopan. Pasalnya, orang difabel juga termasuk manusia seperti kita yang butuh perhatian dan kesetaraan cara pandang publik.

Semua agama sepakat bahwa seluruh manusia mempunyai kesadaran kesetaraan dan kemuliaan. Begitupun, semua agama mengakui bahwa orang yang berkebutuhan khusus juga mempunyai hak untuk mengekspresikan diri di hadapan publik. Islam selaku agama terbesar juga sangat memberikan perhatian penuh kepada para penyandang disabilitas. Melalui berbagai nash maupun hikmahnya, Islam mengajarkan pentingnya menghargai sesama makhluk, terlebih kepada kaum difabel. Karena pada hakikatnya, Islam hanya memerhatikan ketaatan dan ketakwaan orang hamba-Nya. Apakah ia pantas dilabeli hamba yang baik dan selamat atau sebaliknya adalah tergantung sikap ketakwaan kepada Sang Pencipta.

Dalam hal ini, Islam sangat mengecam keras kepada makhluk perihal caci-maki kepada makhluk lainnya akibat konsekuensi logis adanya stigma. Di dalam nash Alquran diterangkan:

BACA JUGA  Refleksi Mohamed Talbi atas Qs. al-Baqarah [2]: 79: Upaya Harmonisasi Umat Beragama

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah satu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka lebih baik dari kalian. Dan jangan pula para wanita mengolok-ngolok kepada wanita lain, karena bisa jadi mereka lebih baik dari wanita yang mencela. Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan kamu memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah kafasikan (panggilan yang buruk) sesudah beriman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang yang lalim. (QS. al-Hujurat: 11).

Dalam tafsir At-Thabari, melalui ayat ini Tuhan melarang tindakan mencela orang yang tidak berhak dicela. Karena hal itu mengandung makna sukhriyyah (caci-maki atau cela). Demikian pula adanya celaan tersebut merupakan suatu indikasi merendahkan kedudukan orang lain. Bahkan tindakan demikian secara tegas diharamkan. Rincinya, yang diperhatikan oleh syari’ pasalnya belum tentu orang yang dicaci lebih baik ketimbang si pencela, bahkan mungkin saja ia malah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di hadapan Sang Penguasa Semesta.

Sementara itu, Imam Al-Maturidi dalam karyanya, Tafsir al-maturidi memaparkan secara singkat mengenai persoalan sukhriyah (mencaci atau memaki). Menurutnya, kata tersebut berkemungkinan diarahkan kepada dua konteks. Pertama, dalam hal perbuatan. Kedua, dalam konteks penciptaan fisik.

أَحَدُهُمَا: فِي الأَفْعَالِ، يًقُوْلُ: لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ فِيْ الأَفْعَالِ عَسَى أَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِنْهُمْ فِيْ النِّيَةِ فِيْء تِلْكَالأَفْعَالِ أَوْ خَيْرًا مِنْهُمْ؛ أَيْ: أَفْعَالهُمْ أَخْلَصُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَفْعَال أُوْلَئِكَ، وَأَقْرَبُ إِلَى الْقَبُوْلِوَالثَّانِيْ: سُخْرِيَةٌ فِيْ الخلْقَةِ، وَذَلِكَ رَاجِعٌ إِلَى مَنْشئِهَا، لَا إِلَيْهِمْ، وَهُمْ قَدْ رَضُوْا بِالْخلْقَةِ الَّتِيْ أَنْشَئُوْا عَلَيْهَا، وَعَسَى أَنْ يَّكُوْنُوْا هُمْ عَلَى تشلْكَ الْخلْقَةِ عِنْدَهُمْ خَيْرًا مِنْهٌمْ

Penjelasan di atas barusan dipertegas oleh Imam Al-Maturidi di dalam kitab yang serupa bahwa Nabi pernah suatu waktu bersabda:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Artinya: Yang dikategorikan muslim adalah ia yang selamat (menjaga) dari lisannya.

Dari sini, adanya penjelasan nash penting untuk dicermati karena pada akhirnya bisa menentukan sikap yang lebih terbuka kepada kaum disabilitas. Dengan demikian, ketika publik sudah memahami uraian tersebut setidaknya dapat mengurangi apa yang namanya stigma, diskriminasi, marginalisasi secara global yang dilakukan kepada orang lain. Untuk menunjang ketiadaan stigma pada disabilitas juga diperlukan keterlibatan pemerintah dan publik khalayak.

Dalam hal ini, pemerintah melalui kebijakannya perlu memikirkan nasib para disabilitas. Hak para disabilitas harus bisa dipenuhi dengan baik. Begitupun kebijakan publik yang dirumuskan perlu kiranya juga memikirkan kondisi mereka. Bagaimana mereka bisa menjalani kebijakan dengan segenap rasa ‘legowo’ tanpa ada komplain sana-sini. Cara pandang publik pun tidak jauh beda. Bahkan publik mempunyai faktor terbesar untuk menumpas stigmatisasi dan menciptakan cara pandang ke arah yang lebih baik.

Oleh: Muhammad Aldi Listayono (Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo).

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru