27.5 C
Jakarta

Membendung Arus Kebencian Berkedok Kebebasan yang Menggerogoti Kita

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMembendung Arus Kebencian Berkedok Kebebasan yang Menggerogoti Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Jagat media sosial kita dihebohkan dengan ulah Ferdinand Hutahaean, Habib Bahar bin Smith, Habib Zen Kribo, Edy Mulyadi, Ahmad Khozinudin, dan Denny Siregar dengan ujaran-ujaran berisi kebencian. Tengkar para aktivis khilafah dan sang rival telah memuakkan kita semua bahwa negeri ini dipenuhi oleh arus kebencian yang berkedok kebebasan demokrasi.

Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, setiap orang memang bebas berekspresi dan berpendapat. Hanya saja, benarkah kebebasan berpendapat tidak memiliki batas? Dan, apa yang melatarbelakangi maraknya ujaran kebencian yang dilontarkan di media sosial?

Harus dipahami, kebebasan individu, sejatinya dibatasi oleh kebebasan individu lain. Dalam konteks ini, kebebasan kita dalam berpendapat dibatasi oleh kebebasan orang lain untuk tidak disakiti oleh apa yang kita ucapkan. Maka itu, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik, harus dilandasi oleh prinsip-prinsip etik dan usaha agar selalu objektif. Agar, apa yang dilontarkan tidak berisi kebohongan, fitnah, provokasi, SARA, dan adu domba.

Sebagai negara hukum, sebenarnya NKRI sudah membekali setiap warga  dengan aturan yang jelas, bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh melanggar kebebasan warga negara lainnya. Bahkan, ada akibat hukum bagi pelanggar kebebasan tersebut ketika melakukan ujaran kebencian. Hanya saja, kenapa masih saja mudah sekali kita menemukan orang yang mengumbar kebencian dengan bebas dan tanpa rasa takut di media sosial?

Dalam artikel berjudul Membersihkan Medsos dari Ujaran Kebencian (2019) , ada empat penyebab orang-orang berani menyebarkan kebencian di media sosial. Pertama, di medsos orang bisa menyembunyikan identitas sehingga bisa menyebarkan narasi kebencian, menghujat, dan memaki dengan bebas.

Orang bebas membuat akun sebanyak mungkin hanya digunakan buat sarana mengumbar kebencian dan provokasi. Kedua, kontestasi tokoh dan elite politik menularkan semangat keberanian buat masyarakat untuk saling berkontestasi di media sosial dengan saling menghujat dan menebar kebencian. Ketidakdewasaan elite politik sangat berpengaruh pada ketidakdewasaan perilaku politik warga negara.

Ketiga, suburnya intoleransi dana fanatisme kelompok menjadi faktor keberanian masyarakat untuk menghujat dan memaki tokoh yang berseberangan secara pandangan agama, keyakinan dan pilihan politik. Masyarakat sangat sensitif dengan perbedaan. Berbeda sedikit saja menjadi bahan untuk memproduksi narasi kebencian. Keempat, rendahnya literasi digital pelaku medsos.

Ruang medsos menjadi liar seolah tanpa aturan dan kadar kebenaran. Semua yang muncul di medsos dikonsumsi dan disebarkan sebagai kebenaran itu sendiri. Masyarakat tidak menyadari efek hukum, psikologis, dan dampak sosial dari penggunaan medsos.

Harus diakui, maraknya penegakan hukum juga seakan tidak menyurutkan para pelaku ujaran kebencian di media sosial. Karena itulah, butuh gerakan literasi media digital untuk menggugah kesadaran masyarakat agar membersihkan lingkungan medsos dari membuat, men-share dan melaporkan ujaran kebencian di media sosial.

BACA JUGA  Bulan Ramadan Jadi Sarana Penyebaran Paham Radikal, Waspada!

Gerakan Melek Literasi Digital

Kurniawati dan Baroroh (2012) menyebutkan, literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.

Literasi digital memungkinkan para pengguna internet menjadi masyarakat cerdas media dengan cara terbiasa mengumpulkan informasi dan mengelolanya secara efektif.

Dalam keterampilan literasi digital juga, kita dapat belajar bagaimana caranya agar memiliki kematangan emosi dan karakter damai sehingga tidak terhasut informasi fitnah berisi ujaran kebencian. Kita bisa menjadi pribadi yang kritis dan dapat dengan sendirinya mengelola informasi yang didapatkan, namun tidak mentah menerima pengetahuan yang ia dapatkan dari apa saja yang mereka baca. Sehingga, kita juga bisa membangun pengetahuan baru yang lebih efektif.

Langkah penting dalam gerakan literasi digital adalah membangun kesadaran melek informasi. Ini bisa ditempuh dengan berhati-hati ketika hendak menyampaikan pendapat/informasi di medsos dan selalu menyaring setiap hal yang kita temukan di jagat digital.

Dalam konteks menyampaikan pendapat, pastikan selalu mengedepankan aspek objektif, etis, dan tidak berbasis kebencian. Jangan sampai apa yang disebar justru berisi fitnah, provokasi, dan kebencian yang selain membuat gaduh jagat medsos, juga memicu perpecahan NKRI.

Jika kita melihat ada yang terindikasi melakukan/menyebarkan ujaran kebencian dan provokasi SARA, segera lapor ke aparat negara, agar segera ditindak. Hal ini karena mereka yang menyebarkan kebencian itu selain meresahkan warga negara, juga mengancam relasi harmonis dalam kebinekaan NKRI.

Selanjutnya, jangan sampai kita juga terjebak dengan narasi kebencian, fitnah, dan adu domba yang sengaja dibuat oleh seseorang untuk memecah-belah bangsa. Itu bisa dilakukan dengan selalu melakukan verifikasi informasi yang kita dapatkan. Pastikan bahwa verifikasi informasi itu berasal dari tokoh/institusi yang kredibel, atau bisa juga dari media massa yang selalu memegang teguh kode etik jurnalistik.

Jika gerakan-gerakan melek informasi berbasis cerdas literasi digital ini dilakukan, tentu saja mudah bagi kita untuk membendung arus kebencian yang mengalir deras di media sosial. Apalagi jika gerakan ini menjadi gerakan massal yang dilakukan bersama-sama, menjunjung prinsip kolaborasi, perlahan tapi pasti jagat media sosial pasti akan terhindar dari narasi bohong, fitnah, adu domba, dan ujaran kebencian. Wallahu a’lam.

Mohammad Sholihul Wafi, S.Pd.
Mohammad Sholihul Wafi, S.Pd.
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tim penulis buku “Revolusi Pemikiran Kaum Muda”. Saat ini mengajar di Pondok Pesantren Shiratul Fuqaha’, Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru