31.8 C
Jakarta

Melawan Radikalisasi Digital: Tanggung Jawab Kita di Balik Kecanggihan Teknologi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMelawan Radikalisasi Digital: Tanggung Jawab Kita di Balik Kecanggihan Teknologi
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di setiap era, selalu ada keluhan yang terdengar. Sebagian orang menyebutnya kecemasan, sementara yang lain lebih suka menyebutnya kegelisahan. Era digital, sebuah periode yang ditandai laju pergerakan super cepat, kini hadir dengan intensitas yang mencengangkan. Informasi mengalir deras tanpa henti, melampaui batasan geografis, menembus segala rintangan, dan menyeruak dari berbagai sudut dunia maya.

Di tengah hiruk-pikuk kebisingan itu, ada hal-hal yang perlahan menyusup tanpa disadari ke dalam kesadaran kita: radikalisme, ideologi yang mampu mengubah cara pandang kita terhadap dunia, utamanya tentang negara-bangsa. Radikalisasi semarak. Ia menjadi proses yang kini berkembang pesat seiring dengan semakin terkoneksinya dunia. Radikalisasi saat ini tidak lagi terbatas pada ruang gelap atau lokasi tertentu dalam kehidupan nyata. Ia telah menembus ruang virtual, hadir di tengah ruang digital sebagai wadah kebebasan berpikir dan berekspresi.

Namun, seperti dunia nyata, internet juga dipenuhi oleh berbagai kepalsuan. Di dunia digital ini terjadi disrupsi, sebuah perubahan mendasar yang menggeser perspektif dan pengalaman kita, terutama dalam memahami ideologi. Dalam bayang-bayang jaringan yang rumit, muncul sebuah pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas semuanya? Proses radikalisasi jelas tidak terjadi tiba-tiba. Ia merupakan sebuah perjalanan panjang yang secara bertahap mengubah cara pandang seseorang terhadap dunia.

Namun, yang menjadi perhatian serius adalah bagaimana prosesnya berlangsung dengan kecepatan dan efisiensi tinggi berkat kemajuan teknologi. Dengan segala kemudahan yang ditawarkan, disrupsi digital telah membuka jalan lebar bagi penyebaran radikalisme itu sendiri. Apa yang dulu hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di lingkungan tertutup, kini dapat dilakukan oleh siapa saja melalui dunia maya. Internet jadi sarana yang sangat efektif untuk menyebarluaskan ideologi radikal.

Website, video YouTube, hingga unggahan di media sosial memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan-pesan yang menggoyahkan keyakinan. Sebuah ideologi yang sebelumnya tidak dikenal kini dapat dengan mudah memasuki pikiran dan hati orang yang rentan. Hal tersebut mengundang pertanyaan penting: mengapa ideologi-ideologi radikal dapat berkembang begitu pesat di ruang digital, yang seharusnya menjadi sarana menyebarkan pengetahuan yang bermanfaat?

Salah satu jawabannya adalah karena ruang digital memberikan kebebasan yang hampir tanpa batas. Di balik layar, siapa pun dapat mengemukakan pendapat tanpa kekhawatiran akan teridentifikasi. Tanpa identitas atau wajah yang jelas, proses radikalisasi dapat berjalan dengan mulus. Tidak ada pengawasan yang cukup memadai. Tidak ada penghalang yang nyata. Radikalisasi digital, istilahnya. Di situlah tanggung jawab kita menyeruak, dan kecanggihan teknologi menjadi tantangan yang tak bisa kita abaikan.

Disrupsi Digital: Di Balik Daya Tarik Dunia Maya

Ada sebuah pepatah yang mengatakan, “Dalam dunia maya, setiap individu berpotensi menjadi pribadi yang mereka inginkan.” Ungkapan itu terasa sangat relevan dalam menggambarkan dinamika dunia digital saat ini. Dahulu, wewenang dalam penyebaran informasi berada di tangan media massa; surat kabar atau televisi. Namun, keadaan kini telah berubah drastis. Medsos dan ruang digital lainnya telah memberikan keleluasaan kepada setiap siapa pun untuk menjadi produsen konten.

Meski kebebasan menawarkan peluang yang besar, ia juga menyimpan potensi risiko yang signifikan. Algoritma cenderung memperbesar eksposur terhadap materi-materi provokatif. Konten yang bersifat kontroversial, yang memicu emosi seperti kemarahan atau kebencian, mendapatkan lebih banyak perhatian dan dibagikan secara luas. Fenomena itu membuka peluang bagi penyebaran konten berbahaya yang dapat memengaruhi banyak orang, terutama mereka yang kurang memiliki literasi digital yang memadai.

BACA JUGA  Nasionalisme Inklusif: Menggelorakan Patriotisme dan Memberantas Ancaman Ekstremisme

Fenomena semacam itu, sekali lagi, dikenal sebagai radikalisasi digital. Orang yang terpapar jenis konten tersebut merasa telah menemukan sebuah “kebenaran” yang sebelumnya tersembunyi. Di dunia maya, segala sesuatu tampak lebih nyata, lebih mendalam, dan lebih menggugah—meski sering kali tidak lebih dari sekadar ilusi. Lantas, siapa yang bertanggung jawab di balik layar? Siapa yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap penyebaran ideologi destruktif?

Pihak otoritas Facebook, X, dan YouTube memegang peran kunci sebagai penjaga gerbang yang beroperasi berdasarkan algoritma. Meskipun platform-platform tersebut telah berusaha memoderasi konten, sistem algoritmik yang digunakan kurang optimal. Akibatnya, konten radikal-ekstrem dapat lolos dari pengawasan. Namun, di sisi lain, mereka juga menghadapi dilema besar. Kebebasan berbicara adalah hak yang dijamin di banyak negara. Pengawasan yang terlalu ketat dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak itu sendiri.

Di samping itu, pemerintah juga memiliki peran penting dalam mengawasi penyebaran ideologi radikal. Beberapa negara telah mulai memberlakukan regulasi yang mengatur konten semacam itu. Di Indonesia, misalnya, UU ITE jadi landasan hukum untuk menindak penyebaran konten radikal-terorisme. Namun, pengaturannya perlu dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak disalahgunakan: pasal karet. Pembatasan kebebasan berekspresi yang berlebihan dapat mengarah pada potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Lebih dari itu, tanggung jawab terbesar terletak pada masyarakat, khususnya keluarga. Keluarga harus lebih cermat memantau perkembangan anak-anak mereka di dunia digital. Dengan literasi digital yang memadai, masyarakat dapat lebih bijak dalam menyaring informasi, mengenali bahaya, dan membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan.

Lawan Radikalisasi Digital!

Menghadapi ancaman radikalisasi di dunia maya memerlukan pendekatan holistis yang melibatkan semua pihak. Pemerintah, penyedia platform, masyarakat, dan keluarga perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan aman. Pendidikan literasi digital menjadi langkah penting yang harus segera diwujudkan. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang cara menyaring informasi dan keterampilan untuk berinteraksi secara bijaksana di platform digital, kita dapat mencegah seseorang terjerumus kesesatan radikalisme.

Kolaborasi antara pemerintah dan penyedia platform juga diperlukan untuk memastikan pengawasan dan moderasi konten dilakukan secara efektif. Namun, upaya itu harus tetap menjaga prinsip kebebasan berbicara, yang merupakan hak asasi setiap orang. Jadi pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa dunia maya bukanlah entitas yang terpisah dari dunia fisik. Ia telah menjadi bagian yang semakin tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita.

Menghadapinya membutuhkan kerja sama lintas sektor, refleksi mendalam, dan komitmen bersama untuk menjaga kemanusiaan dan kebebasan yang fundamental. Dengan upaya kolaboratif, kita dapat menciptakan dunia digital yang lebih inklusif, aman, dan mendukung bagi semua pihak. Oleh karena kita semua bertanggung jawab untuk melawan radikalisasi digital, maka tidak ada alasan untuk menolaknya dengan dalih apa pun. Wajib.

Referensi

Salim, M. (2018). Radikalisasi di Era Digital: Tantangan bagi Pemerintah dan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Kencana.

Suryadinata, L. (2019). Disrupsi Digital: Peluang dan Tantangan di Dunia Maya. Jakarta: Gramedia.

Putra, A. (2020). Media Sosial dan Radikalisasi: Dampak Terhadap Generasi Muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hidayat, S. (2021). Media Sosial, Kebebasan Berbicara, dan Radikalisasi: Perspektif Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas.

Faradila Reka Mahardika
Faradila Reka Mahardika
Penulis dan penerjemah. Mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru