28 C
Jakarta

Maulid Nabi, Momentum Anti-Radikalisme, dan Tuduhan Keji Kaum Ekstremis

Artikel Trending

Milenial IslamMaulid Nabi, Momentum Anti-Radikalisme, dan Tuduhan Keji Kaum Ekstremis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Besok, malam 12 Rabi’ul Awal, sebagian besar umat Islam di seluruh dunia akan memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Dikatakan sebagian besar karena bagi sebagian kecil Muslim, peringatan Maulid adalah sesuatu yang menyimpang. Tuduhannya sangat radikal: ‘tak diajarkan syariat’. Mereka yang menuduh demikian jelas bukan orang baru, dan bahkan ahli bikin onar. Tuduhan keji kaum ekstremis semacam itu, tentu saja, harus dilawan.

Perayaan Maulid Nabi telah menjadi bahan perdebatan selama berabad-abad. Namun demikian, ia menguat terutama ketika Wahhabisme bersarang di Arab Saudi—negara yang dianggap sakral dan barometer keislaman oleh sementara kalangan—dan berekspansi ke seluruh penjuru dunia. Indonesia juga tak luput dari penjajahan Wahhabi. Maka tidak heran, di negara ini, dari tahun ke tahun, sikap antipati dan nyinyir pada Maulid Nabi semakin keras. Miris.

Lebih menjengkelkan lagi, mereka mengaku sebagai golongan ahlussunnah wal jama’ah yang asli. Artinya, yang lain dianggap palsu, misalnya NU yang mempunyai tradisi perayaan Maulid Nabi dianggap melakukan sesuatu yang tidak Rasulullah ajarkan. Hari ini bisa dilihat dengan jelas, peringatan Maulid Nabi di masyarakat-masyarakat urban sudah tak ada. Persis saat Arab Saudi jadi moderat, Indonesia malah tengah diseret menuju lembah Wahhabisme yang bencinya pada Maulid Nabi gak ketulungan.

Padahal, Maulid Nabi dalam penerapannya diproyeksikan paling sedikitnya ke dalam dua hal. Pertama, wujud kecintaan pada Nabi Muhammad. Isi syair Maulid Diba’ sama sekali tidak berlebihan dengan memosisikan Nabi sebagai kekasih Allah dan utusan-Nya. Ini menyanggah tuduhan keji kaum ekstremis bahwa Maulid Nabi berisi kesyirikan. Tuduhan keji tersebut lahir dari praduga ‘merasa paling Islam’ dan ‘paling saleh’, sementara yang lain dianggap menyalahi aturan Islam.

Kedua, meneladani akhlak Rasulullah sebagaimana Allah Swt tegaskan dalam Al-Qur’an. Nabi Saw merupakan teladan yang baik, rahmat bagi alam semesta, dan sangat tidak menyukai radikalisme. Yang terakhir ini maksudnya beliau merupakan simbol perdamaian dunia melalui sifat belas kasihnya, sehingga memperingati Maulid Nabi juga bisa menjadi momentum anti-radikalisme. Meskipun kaum ekstremis menuduh dengan keji, tak bisa disangkal bahwa Rasulullah memang anti-radikal.

Rasulullah Anti-Radikal

Anggapan bahwa Islam adalah agama pedang merupakan residu ekstremisme beragama. Namun, ekstremitas tersebut tidak lahir dari ajaran Rasulullah, melainkan tafsir atasnya. Artinya, ada keyakinan di sebagian kelompok Islam bahwa Nabi mengajarkan berperang dan ekspansi kekuasaan, dengan melihat contoh peperangan penaklukan wilayah sejak abad ketujuh hingga runtuhnya Turki Utsmani. Bagi kelompok ini, perang adalah bagian dari agama, bahkan termasuk persoalan akidah.

Puncaknya adalah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Al-Qaeda bak membangunkan musuh yang sedang tidur, yang ketika bangun langsung menyatakan perang global melawan terorisme. Dari situ, citra Islam semakin buruk bagi orang Barat—dan selanjutnya bagi banyak negara yang didominasi Barat. Islam dianggap mempunyai doktrin radikal, anti-kemanusiaan, dan membenarkan terorisme. Efek buruknya adalah, islamofobia merebak di berbagai belahan dunia.

Padahal, Rasulullah adalah pemimpin terbesar—dalam sejarah umat manusia—yang sama sekali tidak suka aksi-aksi radikal apalagi teror. Misal, ketika ada orang Badui kencing di masjid dan para sahabat hendak membunuhnya, Nabi justru melarang. Piagam Madinah yang terkenal itu juga wujud bahwa ketimbang pertikaian, Rasulullah justru menghendaki perdamaian global. Terhadap yang lemah, Nabi besar cinta kasihnya. Dan terhadap yang kuat, ia menjalin kerja sama untuk perdamaian.

BACA JUGA  Di Tengah Gusarnya Politik, Ada Teroris Bermain Pendanaan dan Intrik

Bagaimana dengan perang-perang yang terkenal dalam Islam, seperti Badar, Uhud, Tabuk, Khandaq, dan lainnya? Semua itu adalah upaya defensif, bukan ofensif. Menjadi anti-radikal bukan berarti menjadi lemah dan bodoh. Berbeda dengan anggapan hari ini ketika sebagian umat Islam, seperti yang sering kali jadi hujah FPI dan HTI, bahwa umat Islam lemah karena bertoleransi dengan umat lain. Dan sebagai bentuk ketidaklemahan, mereka menebarkan kebencian dan bahkan teror. Naif.

Rasulullah anti-radikal dalam segala aspek Islam: akidah, syariah, dan akhlak. Nabi tidak beragama secara berlebih-lebihan, apalagi melampaui batas sebagaimana kaum ekstremis hari ini. Maka, dalam peringatan Maulid Nabi, syair pujiannya adalah bahwa Rasulullah adalah lentera hati, matahari penyejuk, rahmat untuk semesta, dan pujian-pujian lainnya.

Sayangnya, pujian tersebut justru dituduh kemusyrikan—oleh kaum ekstremis. Mungkin mereka takut, jika umat tahu bahwa Rasulullah sangat anti-radikal, umat Islam di seluruh dunia tidak akan ada yang mau jadi teroris. Mereka kemudian menuduh mecam-macam, dan tuduhannya sangat keji. Kaum ekstremis sangat anti-Maulid dengan berbagai hujah tipuan yang tidak masuk akal. Alih-alih mencintai Nabi, kaum ekstremis lebih mencitai teror dan kekerasan yang barbar.

Melawan Tuduhan Ekstremis

Pada momentum Maulid Nabi esok, adalah wajib hukumnya untuk tidak sekadar membaca syair tanpa memahami artinya. Semua umat Islam harus tahu arti dari misalnya kitab Burdah dan Simt al-Durar. Di dalamnya berisi sejarah Nabi, sifat beliau, dan segala tentangnya yang mesti jadi teladan seluruh umat. Hanya dengan memahami arti-artinya, umat Islam, terutama yang ada di Indonesia, tidak akan lagi benci Maulid Nabi karena terprovokasi tuduhan keji kaum ekstremis.

Tuduhan keji kaum ekstremis adalah untuk mempertahankan doktrin teologis mereka tentang bid’ah dan khurafat, bukan untuk menyelamatkan Rasulullah—sebagaimana mereka selalu bilang bahwa mereka anti-Maulid karena ingin membela Nabi dari penuhanan oleh umatnya. Wahhabi, sebagai kaum ekstremis paling keji, dan menjadi dalang terorisme di seluruh dunia, memang tinggal di Mekah. Tetapi, mereka membenci Nabi lantaran merasa bisa langsung ke Allah tanpa perantara mencintai rasul-Nya.

Di TikTok, pengaruh mereka mulai merebak. Mereka bilang, “kami mencintai Rasulullah, tapi kami hanya menyembah Allah”, dan pengikutnya terutama dari Indonesia menimpali, “hanya ajaran Salaf yang tidak diajarkan menuhankan Nabi”. Sungguh tuduhan keji dan tak berdasar, yang dilandasi kecurigaan bahwa Maulid Nabi adalah bentuk penuhanan Nabi Muhammad, alih-alih upaya mencari teladan darinya sebagaimana yang terungkap jelas dalam syair-syair Maulid.

Ekstremisme memang tidak akan musnah. Namun, mencegahnya menguasai Indonesia dan mengobrak-abrik umat Islam di Indonesia bisa dilakukan dengan memboikot Wahhabisme di satu sisi, dan di sisi lain, menyemarakkan Maulid Nabi esok dan seterusnya. Sebab, Maulid Nabi adalah momentum refleksi anti-radikalisme dalam Islam, sekaligus upaya menepis tuduhan keji kaum ekstremis. Tidak ada ruang sejengkal pun untuk mereka, apalagi hanya dengan tipuan usangnya yang mengaku ahlussunnah wal jama’ah. Palsu.

Selamat memperingati Maulid Nabi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru