28.1 C
Jakarta
Array

Ketika Nadirsyah Hosein Berbicara Hukum Melawan Radikalisme di Medsos

Artikel Trending

Ketika Nadirsyah Hosein Berbicara Hukum Melawan Radikalisme di Medsos
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Masifnya perkembangan dan penggunaan internet di kehidupan masyarakat, membuat pola konsumsi agama kini tidak hanya melalui ceramah atau dakwah di tempat peribadatan, melainkan sudah merambah ke ruang-ruang baru yang lebih simpel dan cepat seperti media sosial, Youtube, Instagram, WhatsApp, dan sebagainya. Celakanya, perkembangan kanal baru ini digunakan oleh kelompok radikalis untuk menyebarkan radikalisme. Tentu dengan gaya serta konten yang menarik dan menawarkan Islam yang praktis, tanpa ribet. Lazimnya mereka lebih menggunakan narasi keagamaan tentang halal-haram, kafir, dan kembali ke al-Quran dan Hadis.

Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Solahuddin menyatakan bahwa media sosial berperan penting dalam penyebaran paham radikalisme di media sosial. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2017, ISIS sudah memiliki lebih dari 60 cahnnel serta 30 chat group Telegram berbahasa Indonesia. Di setiap channel tersebut ada sekitar 80 hingga 150 persen berbau kekerasan yang dikirimkan setiap harinya. Apabila dikalkulasikan dengan setiap channel tersebut, maka sebanyak ribuan konten berbau radikal dikirimkan oleh radikalis setiap harinya di media sosial.

Dalam penelitiannya terhadap 75 orang narapidana terorisme, ia menjelaskan bahwa 85 persen dari mereka hanya membutuhkan waktu 0-1 tahun untuk mempunyai paham radikal hingga melakukan aksi terorisme setelah terpapar konten radikal di media sosial.

Apa yang disampaikan pengamat terorisme tersebut menggambarkan bahwa, semua kalangan masyarakat sangat berpotensi terpapar konten radikal bahkan melakukan tindak terorisme. Waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut pun tidak lama, hanya 0-1 tahun saja. Tentu ini patut menjadi perhatian bersama supaya kejadian yang tak diinginkan terjadi di Indonesia tercinta.

Hukum Melawan Radikalisme di Medsos

Dosen di Monash University Faculty of Law, Nadirsyah Hosein atau yang akrab di sapa Gus Nadir ini mengatakan, banyak konten yang ada di media sosial (medsos) saat ini harus kita lawan, bukan hanya dengan ngenyek atau hanya sekedar nyinyir saja di medsos, melainkan harus mempunyai counter narasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan sanad keilmuannya jelas.

Gus Nadir menegaskan bahwa dirinya tidak ingin apabila sejarah kelam khilafah pada jaman dulu terulang kembali di Indonesia, dimana ayat al Quran, hadis, dan sebagainya dipolitisasi oleh beberapa kelompok hanya untuk kepentingan sesat saja.

Sehingga perjuangan atau dakwah di medsos saat ini hukumnya menjadi  fardhu kifayah. Orang yang mempunyai gagasan dan mampu untuk melakukan hal tersebut harus ikut berdakwah di lahan baru yang bernama medsos itu. Dirinya bahkan mengatakan apabila tidak ada orang yang melakukan dakwah di media sosial maka tentu kita akan medapatkan dosa atas ketidakpedulian kita.

Ia juga menawarkan konsep yang harus gencar didakwahkan di medsos adalah konten menarik dan bisa membuat para generasi muda mudah serta mau untuk melihat atau membacanya. Selain itu, kedalaman materi dari konten juga harus diperhatikan agar jelas refernsi keilmuannya. Dan juga, dalam menjelaskan Islam harus merujuk ke kitab (salah satunya kitab kuning) sebagai rujukan yang menjelaskan Islam secara komprehensif dan tidak dari satu padangan saja

Jihadis Medsos

Melihat gejolak radikalisme di media sosial yang semakin masif, tidak heran kiranya bila seorang Gus Nadir berani memfatwa bahwa berjihad di dunia maya itu adalah fardhu kifayah. Pola konsumsi masyarakat yang menginginkan serba praktis juga dalam bergama, perlu dihadirkan dengan konten yang ramah, serta cinta keberagaman.

Juga Gus Nadir menawarkan konten yang menarik kaum milenial, namun tetap dengan kajian Islam yang mendalam berdasarkan kitab-kitab ­(salah satunya kitab kuning) sebagai rujukan dalam membuat konten itu. Hal ini juga patut diperhatikan, karena sering kita jumpai, dakwah di medsos hanya membahas sesuatu di permukaan saja, bahkan bisa dikatakan tidak sempurna.

Alhasil, mereka yang melihat hal itu, dengan mudahnya menyalahakn orang yang tidak sependapat. Padahal, dalam berIslam, kita mempunyai banyak madzhab dan banyak pemikiran dalam melakukan ibadah. Sehingga, konten yang ada di media sosial perlu dibuat kaya khazanah serta referensi agar tidak salah paham dan mengkafir-kafirkan orang.

Seperti halnya Gus Nadir, penulis setuju bahwa hukum berjihad melawan kelompok radikal di media sosial adalah fardhu kifayah, sehingga mereka yang dianggap mampu dan paham akan hal itu kiranya juga perlu untuk ikut berjihad. Sehingga radikalisme melalui media sosial dapat diminimlisir penyebarannya.

*) Alan Wary Ackbar, mahasiswa UIN Walisongo.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru