Harakatuna.com – Terorisme adalah hantu: tidak terlihat, tetapi ia nyata di tengah-tengah kita. Mungkin itu kalimat yang pas dengan kondisi Indonesia hari ini. Di negara ini, tidak sedikit orang, termasuk pengamat, yang tak sepenuhnya paham mengapa suatu aksi teror dapat muncul tanpa diduga dan tiba-tiba hilang seketika. Dalam setiap serangan terorisme, skala kecil maupun besar, beritanya kembang-kempis. Tidak ada aktor yang sentral dan tidak ada organisasi mengklaim tanggung jawab.
Beda dengan negara-negara seperti Afghanistan dan Suriah. Tokohnya jelas. Pengaruhnya luas. Masyarakat kenal semua, paham hingga ke akaranya, sekalipun tidak ada yang berani bersuara. Di Indonesia, selain Amrozi cs, Noordin M Top, Dulmatin, dan Umar Patek, siapa yang kesohor? Tokoh terakhir ini bahkan telah mengaku taubat melalui ikrar NKRI. Dampak ketidaktahuan itu jelas; masyarakat jadi abai terorisme, bahkan menuduhnya konspirasi belaka.
Pada Editorial ini, Redaksi Harakatuna akan menyuguhkan satu nama yang mungkin asing, tetapi kiprahnya dalam jaringan terorisme hingga sekarang masih berlangsung. Faktanya, sel-sel terorisme di Indonesia tidak pernah mati. Ia hidup, namun di bawah radar. Ia melalukan gerilya, tetapi di bawah tanah. Kehidupan sel-sel terorisme di bawah radar tersebut yang tengah mengancam masa depan negara Indonesia jangka panjang. Dua hingga tiga puluh tahun ke depan.
Abdullah Sonata. Siapa yang mengenalnya? Ia lahir pada 4 Oktober 1978, dan punya beberapa nama: Arman Kristianto alias Nata alias Andri alias Heri alias Eko Pramono Wibowo alias Abu Hamzah. Sonata terlibat konflik Ambon-Poso dan pernah membobol gudang senjata milik Brimob di Ambon. Ia juga berperan dalam pembukaan kamp militer di Mindanao, Filipina Selatan, dan Seram Barat, Maluku. Ia juga pernah menguasai alur peredaran senjata, di samping dana terorisme dari Timur Tengah.
Sonata adalah anak dari Nani dan Kelana, PNS di Ciracas, Jakarta Timur. Ia punya dua istri, Siti Rohma dan Fitri Luthfiana. Pada tahun 2000 hingga 2010, gerakannya sangat berbahaya. Dengan Dulmatin, ia akrab. Dengan Noordin, ia bahkan beberapa kali bertemu. Setelah ditangkap Densus 88 pun, ia masih bisa menyebarkan narasi radikal-terorisme. Dari latar belakang dan sepak terjangnya, Sonata mustahil insaf. Dulunya ia bergerak sebagai teroris, hari ini Sonata adalah penggerak sel-sel terorisme.
Tertangkap pada 2005, ia kemudian divonis tujuh tahun bui pada 2006. Namun saat keluar penjara ia kembali beraksi; mendirikan pelatihan militer di Pegunungan Jalin Janto, Aceh. Sonata juga disebut merancang aksi besar teror serupa aksi di Mumbai, India. Tahun 2010 ia kembali tertangkap, lalu divonis sepuluh tahun penjara pada 2011. Bebas pada Februari 2021 lalu, bagaimana sel-sel terorisme Sonata hidup dan mengancam masa depan negara?
Ada dua modus operandi. Pertama, melakukan kaderisasi melalui kamuflase rumah-rumah tahfiz. Ada sejumlah pondok pesantren dan rumah tahfiz yang terafiliasi jaringan teroris. Pondok Pesantren Imam Syafi’i di Ciomas, Bogor, yang dikelola Rikhie Asbo misalnya. Ada juga Rumah Tahfiz Qur’an (RTQ) Khairukum di Bogor. Selain itu, ada juga Rumah Qur’an Utrujah di Jakarta Timur yang dibina Sonata sendiri. Semua hanyalah kauflase. Rumah tahfiz disalahgunakan sebagai sarang teroris.
Kedua, melakukan pengumpulan dana melalui lembaga-lembaga amal. Trik ini menggunakan dua cara, yaitu menggunakan lembaga filantropi dan atau menggunakan rumah-rumah tahfiz tadi untuk menggalang dana. Dalam konteks itu, rumah tahfzi sendiri punya dua fungsi, yaitu menyebarkan tauhid dari tokoh-tokoh Wahabi dan mengumpulkan dana umat untuk keberlangsungan kegiatan mereka. Semua itu ada di Instagram, diposting terbuka tanpa ada masyarakat yang menyadarinya.
Misalnya, Instagram @ rikhie_asbo, meminta sumbangan 23 juta per bulan untuk pesantrennya. Apakah itu wajar? Ribuan pesantren NU yang sudah ada berabad-abad juga tidak pernah minta sumbangan semacam itu. Ada ratusan rumah tahfiz dan pondok pesantren hari ini yang justru disalahgunakan untuk memeras umat Islam. sementara di rumah-rumah tahfiz dan pesantren tersebut yang diajarkan adalah Wahabisme dan pemikiran-pemikiran teroris. Ini jelas tidak bisa dibiarkan.
Jika disimpulkan, “dana” adalah jantung kelompok terorisme. Sel-sel mereka akan mati tanpa pendanaan, maka mereka menggunakan segala cara untuk mengais kantong umat demi keberlangsungan jaringan teroris. Pada 2004, Sonata pernah menerima uang 100 ribu riyal dari tokoh Al-Qaeda, yang kalau dikurs hari ini mencapai 300 juta lebih. Bagi teroris, dana adalah segalanya dan mereka tidak peduli hasilnya dari mana.
Taliban penghasilannya dari opium. JI berhasil menipu umat Islam melalui ribuan kotak amal. Hari ini, rumah tahfiz dan pesantren jadi lahan basah sel-sel terorisme. Apakah Anda termasuk donaturnya? Pikirkan satu hal penting: “Setiap rupiah yang mengucur pada sel-sel terorisme adalah satu langkah menuju rusaknya generasi bangsa dan hancurnya negara itu sendiri.”
Sel-sel terorisme tengah mencetak kader teroris di bawah radar pemerintah dan tanpa kesadaran masyarakat. Dan buah buruknya—jika tidak diatasi segera—akan terasa di masa yang akan datang. Bersiaplah!