Harakatuna.com – Beberapa waktu lalu, dalam sebuah diskusi yang dihadiri seorang tokoh pemerhati gerakan Wahabisme di Indonesia, ada fakta menarik. Ia mengatakan, para mahasiswa Indonesia yang kuliah di Eropa mengalami gejala eksklusivisme keberislaman yang mengkhawatirkan. Mahasiswa-mahasiswa senior di sana, katanya, khawatir: apa apa di Indonesia kok mahasiswa baru pada eksklusif dan bagaimana regulasi terkait berusaha merespons hal tersebut.
Eksklusivisme yang dimaksud ialah matinya sikap inklusif dalam diri mahasiswa tersebut. Hidup di negara sekuler seperti Belanda tidak membuat mereka berpikiran terbuka, justru mengambil jarak dengan realitas—bahkan dengan sejawatnya sendiri yang dari Indonesia. Ironisnya lagi, mereka adalah para penerima beasiswa LPDP. Bagaimana bisa seorang awardee tidak mencerminkan sikap Pancasilais dan malah tejerumus Wahabi?
Wahabisme sendiri adalah sistem keberislaman ultra-konservatif Sunni yang berasal dari Arab Saudi. Selama bertahun-tahun, Wahabi memperoleh pengaruh global melalui pendanaan ekstensif dan propaganda yang masif. Kendati secara tradisional mengikuti moderasi Islam, Indonesia ternyata tidak kebal terhadap pengaruh Wahabisme. Indonesia menyiapkan pendekatan dan tindakan strategis untuk melawan Wahabisme dan propagandanya.
Apa saja tindakan tersebut? Tulisan ini menguraikan dua jurus ampuh menangkal Wahabisme. Pertama, jurus teoretis. Kedua, jurus praksis. Yang pertama meliputi upaya penangkalan di bidang pendidikan, moderasi Islam, dan dialog antaragama. Sementara yang kedua mencakup langkah empiris di platform digital, kontra-radikalisasi berbasis hard approach, serta kerja sama antarpihak. Kedua jenis jurus ini, jika dioptimalisasi, akan sangat ampuh menangkal Wahabism di negara ini.
Jurus Teoretis
Mempromosikan Islam moderat (al-wasaṭiyyah) dan inklusif menjadi jurus pertama yang wajib dilakukan. Pemerintah, tokoh agama, dan organisasi masyarakat sipil secara aktif mengadvokasi pemahaman Islam yang toleran dan inklusif, memasifkan kesadaran akan kesatuan-persatuan, atau menghormati sekte yang berbeda. Pendekatan tersebut bertujuan melawan ideologi eksklusif dan memecah belah yang disebarkan dalam propaganda Wahabisme.
Selain itu, penguatan pendidikan agama dapat menjadi jurus selamat dari propaganda Wahabisme. Fokusnya mempromosikan pemikiran kritis, toleransi beragama, dan penolakan ideologi ekstremis. Dengan memberikan narasi alternatif yang berakar pada Islam moderat, Indonesia bertujuan untuk menyuntik masyarakat agar kebal ajaran Wahabi. Dialog dan kerja sama antaragama juga jurus teoretis lainnya, yang menumbuhkan sikap pengertian, saling respek, dan anti-perpecahan.
Bagaimana dengan pendanaan? Tentu saja ia sangat penting dan negara ini telah menerapkan langkah-langkahnya. Sudah ada regulasi konstitusional yang memastikan transparansi dan akuntabilitas infiltrasi ideologi ekstremis melalui dukungan keuangan terlacak dengan akurat. Faktanya, propaganda tidak akan berjalan tanpa pendanaan. Maka untuk menangkal Wahabisme, aspek pendanaan mesti jadi sorotan prioritas—sehingga tidak terjadi malfungsi kotak amal dan lembaga filantropi lainnya.
Satu lagi yang secara teoretis ampuh, meskipun di lapangan belum diketahui pasti hasilnya, ialah pemberdayaan ulama lokal. Tokoh-tokoh impor sepeti Yazid Jawas dan Firanda Andirja harus diboikot dari peredaran karena hanya akan menyemarakkan Wahabisme. Dengan memperkuat suara ulama lokal, Wahabisme akan dapat diminimalisir. Mengapa secara prakses belum diketahu pasti? Karena yang terakhir ini berkenaan dengan ghirah, dan ghirah—di lapangan—sering bergantung pada bisyarah.
Jurus Praksis
Selanjutnya di ranah praktis, apa saja yang bisa dipakai sebagai jurus ampuh menangkal Wahabisme? Jawabannya: banyak. Karena hari ini digitalisasi sedang semarak, memanfaatkan platform media digital dan sosial bisa jadi tawaran pertama. Ia telah memberi jalan baru diseminasi Wahabisme, maka ia juga bisa dipakai untuk menangkalnya. Ibarat musuh pegang senapan, kita juga harus pegang senapan—bukan malah pegang tombak. Dalam praktiknya, harus adu cepat, adu akurat, dan adu kuat.
Apalagi? Agak klise, memang, tapi meningkatkan tindakan kontra-radikal-terorisme juga bisa jadi jurus praksis yang efektif. Jurus ini melibatkan pengumpulan intelijen, penegakan hukum, dan program deradikalisasi secara disiplin dan kontinu. Bukankah kontra-radikal-terorisme tidak bisa mengatasi Wahabisme, dalam artian tidak proporsional? Betul, tetapi itu bisa disiasati demi kepentingan nasional. Caranya adalah peluasan jangkauan dari kontra-terorisme itu sendiri, dan Wahabisme dimasukkan ke dalam wish list-nya.
Selain itu, mempromosikan identitas budaya dan persatuan nasional juga bisa jadi jurus yang ampuh jika diterapkan secara tepat. Sama juga dengan kerja sama dan kolaborasi internasional. Wahabisme itu solid antarsatu sama lain. Jawas yang di Indonesia punya solidaritas yang tinggi dengan A yang di Malaysia, misalnya, atau dengan B yang dari Brunei umpamanya. Cara menangkalnya bagaimana? Ya jelas, para kaum moderat juga solid dan punya mitra di kancah internasional.
Yang terakhir, yang bisa ditawarkan di sini, untuk menangkal propaganda Wahabisme, ialah pemberdayaan masyarakat. Artinya, mereka didorong untuk berperan aktif mempromosikan wasatiah Islam, toleransi, dan anti-Wahabisme. Kohesi sosial dan komunitas tangguh itu khasiatnya banyak. Wahabisasi, faktanya, kerap memanfaatkan ketidakberdayaan masyarakat dan keputusasaan mereka terhadap lokalitas keberislaman. Maka, mereka harus diberdayakan.
Kesimpulannya, Wahabisme sebagai ancaman besar, yang merusak generasi masa depan Indonesia, harus ditangani serius. Jurus-jurus ampuh di atas bisa jadi tawaran menangkal propaganda mereka. Bagaimana pun, seluruh elemen masyarakat harus memahami bahwa ancaman terbesar bagi negara bukan lagi penjajahan konvensional sebagaimana Belanda dulu. Ancaman terbesar bagi Indonesia ialah penjajahan kontemporer; yang tidak lain ialah penjajahan keberislaman.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…