Harakatuna.com. Jakarta. Berkaca pada Turki dan Mesir, kudeta kudeta dialami oleh kedua negara tersebut. Untuk Indonesia, kudeta dirasa kecil kemungkinannya.
Namun bagi seorang mantan anggota DPR RI menyebutkan ada potensi kudeta di Indonesia. Dirinya pun menyoroti penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam pemilu.
“2019 tentu jadi tahun yang panas. Apalagi sentimen sara sudah mulai dimainkan dari pilgub kemarin. Cukup mengkhawatirkan,” ucap mantan Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Najib dalam paparannya di diskusi publik ‘Demokratisasi di Dunia Islam: Perbandingan Indonesia, Turki dan Mesir’ di Jakarta, Selasa 21 November 2017.
“Jika ekonomi menurun dan kontestasi tidak damai, bisa jadi ada kudeta di Indonesia,” lanjut politikus Partai PAN tersebut.
Namun, pendapat berbeda diutarakan oleh peneliti senior yang kerap membandingkan politik Timur Tengah dan Asia Tenggara dari UIN Jakarta, Ali Muhanif. Ia mengatakan, sangat tidak mungkin Indonesia mengalami kudeta.
“Kecil kemungkinannya Indonesia ada kudeta. Cost and benefitnya itu tidak seimbang. Bisa kita bilang, ongkosnya tinggi, keuntungannya kecil,” tukas dia.
Sementara itu, Turki pernah dikudeta oleh militer pada tahun lalu, tepatnya 17 Juli 2016. Saat itu, militer mengklaim tengah merebut kendali kekuasaan di Turki.
Sebelum kudeta 2016, upaya kudeta oleh militer juga pernah terjadi di tahun 2002. Saat itu, para pejabat militer ditangkap karena diduga menjadi bagian dari sebuah organisasi rahasia yang disebut Ergenekon yang dituding berusaha menggulingkan Recep Tayyip Erdogan ketika ia menjadi perdana menteri pada tahun 2002.
Turki mengklaim kedua kudeta terakhir tersebut gagal. Ali berpendapat, ekonomi dan kekuatan Recep Tayyip Erdogan-lah yang membuat rakyat Turki masih berpihak kepadanya.
Jika dibandingkan dengan Turki, ucap dia, kudeta di Mesir sangat berhasil. Kudeta ini dilancarkan pada 2013 silam di mana Mohamed Morsi, presiden Mesir saat itu, lengser.
(FJR)