Harakatuna.com – Tahun 2025 hadir dengan harapan dan tantangan baru bagi bangsa Indonesia. Pergantian tahun ini membawa optimisme untuk terus memperkuat langkah-langkah strategis dalam menghadapi ancaman terorisme.
Keberhasilan “zero terrorist attack” menjadi modal penting untuk melawan radikalisme-terorisme. Namun, dinamika yang terjadi masih banyak tantangan yang menyertai. Di antaranya ketidakadilan ekonomi. Presiden Prabowo melihat bahwa ketidakadilan menjadi asal bangkitnya terorisme, radikalisme dan ekstremisme. Karena itu, Prabowo meminta pemerintah harus melakukan percepatan transformasi. Transformasi di sini terkait dengan distribusi kemakmuran kepada masyarakat Indonesia secara luas.
Menurut Prabowo, apabila kemakmuran dan keadilan terpenuhi, misalnya masyarakat tidak ada yang kelaparan dan tidak ada keputusasaan terhadap masa depan, pekerjaan bisa didapat dengan layak, maka masyarakat akan terhindar dari tindakan atau pemahaman terorisme, radikalisme dan ekstremisme.
Dinamika selanjutnya adalah masifnya dakwah Salafi-Wahabi yang menjadi tren belakangan ini. Mereka membawa pemahaman syariat yang sempit. Tetapi anehnya malah digandrungi oleh kalangan muda, terutama milenial dan generasi Z.
Mereka berdakwah dengan memperhatikan segala sisi. Dari kostum, bacaan, tema, dan bahkan kemasan penampilan. Sederhananya, dakwah Salafi-Wahabi ini dilakukan dengan kemasan yang sederhana. Tetapi ketat secara aturan seperti disuruh meninggalkan segala hal yang dicap bid’ah, khurafat, takhayul, mistis, dan sejenisnya. Tren dakwah ini semakin masif di berbagai kota, terutama kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Lalu bagaimana jalan strategi menghadapi tantangan dinamika ini? Pada editorial terdahulu telah disebutkan yaitu dengan optimalisasi strategi lintas lembaga: BNPT, Densus 88, dan lainnya. Ini salah satu syarat untuk melangkah lebih jauh dalam mewujudkan keamanan, perdamaian dan persatuan bangsa di tahun 2025. Melalui strategi ini hal yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional kiranya dapat diatasi.
Berkaca dari berbagai pengalaman, dinamika tantangan terorisme hanya bisa dibasmi manakala semua pihak saling bekerja bersama. Karena itu, sudah benar apabila kita memperkuat multisektoral untuk menjaga dari ancaman terorisme. Pelibatan semua pihak atau kolaborasi multisektoral seperti kerja bersama antara pemerintah dan swasta, publik dan masyarakat dalam satu basis pendekatan terpadu bisa memecahkan masalah krusial teroris pada 2025 ini.
Kendati sudah memperkuat langkah-langkah strategis dalam menghadapi ancaman terorisme melalui kerja bersama tersebut, selanjutnya tinggal kita menentukan pendekatan yang adaptif terhadap dinamika global saat ini. Misalnya kita memanfaatkan teknologi modern seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan analisis data besar (big data analytics) untuk mendeteksi terorisme. Langkah ini sangat tepat mengingat terorisme juga sudah melakukan perangkat teknologi modern tersebut.
Perang melawan ancaman radikal-terorisme akan terus ada pada tahun 2025. Maka editorial kali ini mengajak semua bangsa untuk melawan. Dinamika tahun 2025 menuntut kita untuk menguatkan dan mengokohkan pilar keamanan nasional. Di era politik global yang tidak pasti, tren dakwah Salafi-Wahabi yang terus tinggi, dan pesatnya paham radikal-teror serta ujaran kebencian dan hoaks subur di media sosial, saatnya kita membangun kesadaran kolektif untuk memberi alarm bahaya perusakan persatuan tersebut. Karena itu, strategi pendekatan keras (hard approach) dan lunak (soft approach) sama pentingnya untuk menguatkan nilai-nilai kebangsaan dan persatuan yang sedang diincar kelompok radikal-teror.
Sekali lagi, menghadapi dinamika tantangan terorisme tahun 2025, mesti kita harus hadapi dengan bersinergi bersama. Masyarakat, utamanya kaum milenial dan gen Z harus diselamatkan dari hegemoni dakwah Salafi-Wahabi agar tidak menjadi radikal. Editorial ini mengajak, mari jadikan tahun 2025 sebagai momentum untuk memperkuat soliditas kebangsaan dan memperbesar harapan menjadi bangsa yang terbebas dari radikalisme dan terorisme.