Harakatuna.com – Akhir-akhir ini kita jumpai banyak ustaz yang dandanannya tidak mencerminkan kondisinya. Misalnya bukan alumni Al-Azhar berdandan ala Azhari. Bukan kiai berdandan ala kiai. Bukan habib berdandan ala habaib.
Ada lagi dandanan tidak serasi dengan fikrah yang dianutnya. Misalnya bersarung ala kiai Aswaja Nahdliyah, tapi menyuarakan khilafah. Bersorban ala habaib tapi menebar kebencian di sana-sini.
Ada juga yang menghiasi dirinya dengan mengenakan gelar-gelar sosial keagamaan seperti ajengan, buya, habib, kiai, tuan guru, dan sebagainya tapi kualitas ilmu, adab, akhla,k dan ruhiyahnya jauh dari mencerminkan gelar-gelar tersebut. Sebenarnya gelar-gelar sosial keagamaan diberikan masyarakat sebagai bentuk pengakuan atas kualitas orang yang digelarinya.
Sudah bisa ditebak motivasi di balik dandanan dan gelar sosial keagamaan yang dikenakan oleh ustaz yang tidak sesuai dengan keadaan dirinya, demi untuk menarik perhatian orang. Apabila tidak ada kesesuaian antara dandanan dan gelar sosial keagamaan dengan kualitas dirinya, maka itu adalah suatu bentuk penipuan.
Keserasian dandanan dan gelar sosial keagamaan yang disandang dengan kondisi seseorang menunjukkan kejujurannya. Di dalam kitab Lathaiful Minan diceritakan bahwa, ada seorang ahlus shuffah yang meninggal dunia.
Ahlus shuffah adalah orang-orang fakir miskin yang tinggal di pelataran Masjid Nabawi. Mereka pendatang yang tidak punya sanak keluarga di Madinah. Fokus ibadah dan menuntut ilmu. Mereka zuhud. Mereka dinafkahi oleh para sahabat yang lain.
Ada seorang ahlus shuffah ketika meninggal dunia di sampingnya ditemukan dua keping dinar. Melihat itu Rasulullah Saw bersabda, “ini dua barang di neraka.” Ahlus shuffah yang menyimpan dinar berarti tidak jujur dengan keadaan dirinya. Orang itu menampakkan kemiskinan padahal memiliki dua dinar.
Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili mengatakan bahwa banyak orang yang meninggal dunia pada masa Rasulullah Saw dalam keadaan meninggalkan harta, namun Rasulullah Saw tidak berkomentar seperti komentar di atas. Sebab, mereka tidak menyembunyikan sesuatu yang berlawanan dengan penampilan lahiriah dirinya.
Ada cerita menarik tentang kejujuran ulama waliyullah dalam berdandan. Abul Qasim al-Junaid seorang waliyullah pemuka para sufi guru al-Hallaj. Sewaktu para ulama syariat sepakat untuk menghukum al-Hallaj, al-Junaid sedang mengenakan jubah sufi. Karena itu ia tidak mau membubuhkan tanda tangan. Tapi Khalifah mengatakan mereka butuh tanda tangan al-Junaid.
Lalu al-Junaid pulang dan ganti pakaian dengan sorban dan jubah ulama syariat. Setelah itu al-Junaid menandatangani putusan para ulama syariat tersebut.
Al-Junaid menulis: “Kami memutuskan berdasarkan hal-hal yang terlihat. Sementara tentang kebenaran yang terbenam di dalam kalbu, hanya Allah yang Maha Tahu.” Kisah ini diceritakan Syaikh Fariduddin al-Attar di dalam kitab Tadzkiratul Auliya’ Bab al-Hallaj.
Amal akan diterima jika dilakukan dengan benar dan jujur (al-shidq). Kata Syaikh Ibnu ‘Athaillah: “Jika kau menghendaki pahala untuk suatu amal, kau dituntut untuk mengerjakannya dengan benar dan jujur (al-shidq).” Sebab, balasan tidak akan diberikan kecuali untuk amal yang sempurna dari sisi wujud amal itu sendiri dan dari sisi niatnya. Semua terkandung dalam kata shidq yang berarti benar dan jujur, jelas Syaikh Zarruq di dalam Syarah al-Hikam-nya.
Amal yang manipulatif dengan dandanan dan gelar sosial keagamaan yang tidak sesuai, terlihat seolah-olah sedang mengerjakan ketaatan, akan tetapi belum tentu diterima.
Lebih lanjut Syaikh Ibnu ‘Athaillah bertutur, “Mungkin Dia membukakan untukmu pintu taat, dan tidak membukakan untukmu pintu penerimaan.” Kata Syaikh Zarruq, “Amal tanpa penerimaan adalah seperti tidak beramal.”
Na’udzubillah min dzalik.