Harakatuna.com. Solo. The Islamic Study and Action Center (ISAC) menghimbau semua pihak bahwa sudah semestinya semua penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) mengacu pada ukuran objektif penerbitan Perppu oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU, yaitu:, (i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, dan (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Baca: HTI, Perppu dan Promblematika Gagasan “Khilafah”-nya
Yang menjadi sorotan masyarakat umum dan ormas khususnya adalah bahwa hingga saat ini belum ada situasi yang memaksa dan mendesak sebagaimana indikator tersebut.
ISAC mencatat setidaknya ada 4 hal:
Pertama. Seandainya ada ulah dari anggota atau pengurus ormas yang melakukan perbuatan melawan hukum, maka penegakan hukum oleh Polri masih sangat efektif dan efisien. Dan jika dalam perjalanannya ormas ada perbuatan melawan hukum atau tidak sejalan dengan undang-undang ormas maka Pemerintah masih bisa melakukan atau memberi Surat Peringatan (SP) l, ll dan lll. Jika hal ini masih dirasa sulit untuk dibenahi maka Pemerintah bisa menghentikan kegiatan Hingga upaya pembubaran oleh pengadilan.
Dalam hal ini pemerintah telah memposisikan sebagai pembina ormas yang bijak dan ormas sebagai mitra pemerintah. Inilah sebenarnya “ruh” dari undang undang Ormas no 17 tahun 2013. Seandainya ada dalam AD/ART ormas yang tidak sejalan dengan undang undang Ormas maka sejak awal pemerintah jangan mengakui dan menerbitkan sertifikat ormas. Disinilah perlunya ada verifikasi dan penelitian calon ormas ditingkat pendaftaran.
Jika ormas sudah memiliki AD/ART yang sudah sesuai dengan undang undang Ormas maka Pemerintah tidak bisa serta merta membubarkan ormas tersebut. Negara menjamin hak warga negara berserikat dan berkumpul dalam menyampaikan pendapatnya baik kesan atau tulisan sebagaimana UUD 1945 pasal 28 E dan UU HAM no 39 tahun 1999.
Pembubaran ormas lebih tepat pada lembaga yudikatif yaitu pengadilan, sedangkan pemerintah cukup melakukan pembinaan sekaligus penegakan hukum.
Kedua. Dalam Perppu ini memuat juga tentang pidana, anggota ormas melanggar Perppu ini bisa dipenjara serendah rendahnya 6 bulan dan setinggi-tingginya hukuman seumur hidup. Jelaslah bahwa semangat Perppu ini tidak mendewasakan masyarakat dan cenderung membatasi dan menakut-nakuti warga.
Lebih tepat kiranya pemerintah melakukan pendekatan persuasif, dialogis kepada masyarakat atau ormas yang dianggap melanggar hukum.
Ketiga. Sebaiknya pemberlakuan Perppu ini ditunda dulu atau hindarkan korban pembubaran ormas yang kritis atau mengecewakan terhadap pemerintah.
Keempat. Namun jika Penerbitan Perppu ini dalam rangka khusus pembubaran ormas yang selama ini telah nyata-nyata mengarah pada perilaku separatisme, atheisme dan komunisme tentu akan didukung oleh masyarakat luas.
Solo, 13 Juli 2017
The Islamic Study and Action Center (ISAC)
Ketua ISAC
Kurniawan, S.Ag, SH, MH
Sekretaris ISAC
Endro Sudarsono, S.Pd