27.2 C
Jakarta
Array

Cari Ide Boleh, Plagiasi Jangan

Artikel Trending

Cari Ide Boleh, Plagiasi Jangan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Grup Sastra Koran Majalah yang saya ikuti di Facebook tengah ramai membicarakan puisi karya seorang mahasiswa. Bukan lantaran karya tersebut diakui bagus secara kualitas, tapi justru karena karya tersebut mencurangi banyak orang.

Pasalnya, puisi tersebut diketahui memiliki kemiripan yang sangat dekat dengan ciptaan pengarang lain. Bahkan kalau boleh dibilang, sama persis sampai tidak ada perbedaan di tanda baca.

Kekesalan para anggota grup yang kebanyakan adalah penulis ini pun akhirnya tumpah. Mereka menyayangkan aksi sang mahasiswa yang terang-terangan menjiplak buatan penulis ini. Yang lebih menjengkelkan, karya tersebut dimuat di salah satu koran terbitan nasional.

Sebab, masa tunggu untuk penayangan sebuah karya bisa melewati waktu setengah tahun. Ini terbilang lama dan butuh kesabaran. Apalagi, segelintir nama yang sudah mumpuni di jagad kesusastraan juga mengirimkan karya terbaik mereka.

Maka dari itu, persaingan untuk menembus media tersebut sangat ketat. Dengan demikian, naik cetaknya sebuah puisi ciptaan kita merupakan sebuah torehan prestasi yang membanggakan. Nama kita ibarat langsung disejajarkan dengan penyair kondang.

Konon, redaksi menerima ribuan naskah yang mesti diseleksi. Sehingga, sulit untuk mengecek orisinalitas sebuah karya. Sebenarnya, ada cara yang bisa dipakai redaksi. Redaksi tinggal menyuruh setiap karya yang diajukan redaksi dilampiri surat pernyataan keaslian karya. Ini untuk mengantisipasi plagiasi terulang. Bisa juga dengan menghubungi penulis yang karyanya terpilih untuk diterbitkan. Sehingga, sebelum karya tersebut benar-benar tercetak di koran, dipastikan terlebih dahulu keasliannya.

Lantas, bagi para penulis mestinya jangan melancarkan aksi plagiasi. Tindakan tersebut mencoreng dunia sastra sekaligus menyakiti perasaan penulis yang karyanya dikutip utuh tanpa dicantumkan namanya.

Memang betul ide bisa saja didapatkan setelah membaca karya-karya orang lain. Saya tak memungkiri itu. Bahkan saya pun mengakui seringkali terinspirasi dengan tulisan-tulisan penulis kenamaan seperti Okky Madasari, Adimas Imannuel, Joko Pinurbo, dan Tia Setiadi. Namun, tidak kemudian saya dengan mudahnya mengambil karya tersebut lalu mendaku itu milik saya. Lalu supaya untuk mengelabui pembaca dan redaktur, saya akan ubah-ubah sedikit diksinya, tokoh, ataupun tanda bacanya. Picik sekali pikiran seperti ini.

Sesama penulis mestinya merasakan bahwa menulis itu adalah kerja pengorbanan. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan gagasan tersebut? Beberapa orang bahkan harus riset berbulan-bulan demi melahirkan ide yang cemerlang. Itu baru proses pengumpulan ide. Proses kepenulisannya ada yang bertahun-tahun karena penulis umumnya tidak ingin karyanya dangkal tanpa riset yang memadai.

Itu masih urusan waktu. Bayangkan berapa biaya yang mesti dikeluarkan setiap penulis untuk menelurkan karya tersebut hingga matang dan siap dinikmati pembaca. Saya pernah mengikuti workshop kepenulisan yang mengundang Joko Pinurbo sebagai pembicaranya. Di situ, Jokpin sapaan akrabnya, membeberkan bagaimana proses untuk membuat satu puisi utuh. Kendati sembari bercanda, ia menuturkan bahwa semuanya diawali dengan duduk. Duduk tersebut terkadang bisa berjam-jam. Terpaku dan melamunkan ketepatan kata yang dipakai.

Dan aktivitas tersebut tak lengkap rasanya tanpa buku bacaan, cemilan, rokok, dan kopi. Ia bisa menghabiskan berbatang-batang rokok dan bercangkir-cangkir kopi untuk merampungkan satu puisi. Coba hitung pengeluaran yang dianggarkan untuk proses kreatif ini. Biaya yang keluar ini sebenarnya tidak sepadan dengan honor yang cair setelah puisi tersebut dimuat. Jika mengetahi ini, apakah kalian masih tega untuk mencuri karya orang lain?

Lantas, bagaimana supaya kita tidak tergiur kemudahan jerat plagiasi? Terapkan prinsip Amati, Tiru, dan Modifikasi. Pada dasarnya, setiap orang punya kemampuan menulis yang sama. Namun tergantung bagaimana usaha untuk mengembangkannya. Dengan konsep ATM itu, keunikan karya kita juga jadi terlihat.

Mulanya, karya kita memang masih berbau-bau penulis yang kita idolakan. Itu wajar asalkan tidak menirunya mentah-mentah. Itulah namanya pemula. Namun, jangan lupa selipkan kreativitas kita untuk menambahi ide yang terbersit dari penulis panutan.

Misalnya, kita jadi terketuk untuk menuliskan soal hujan setelah membaca sajak garapan Sapardi Djoko D. Serap tata cara penulisan puisi yang baik dari Sapardi. Dalami bagaimana Sapardi menyelipkan makna yang begitu membekas di benak pembaca lewat kata-kata yang tak bertele.

Lalu, mulai amati dan kaitkan hujan dengan puisi yang ingin kita tulis. Masukkan ciri khas kita. Bisa dari kata, judul, atau struktur kepenulisan. Ini jadi pembeda yang kuat antara kita dan penulis lain.

Jika dirasa masih buntu untuk menulis, endapkan dulu ide tersebut. Selingi dengan diskusi dengan sesama penulis. Sebab ide seringkali timbul tak terduga, di mana saja dan kapan saja. Bahkan, silakan berguru langsung dengan penulis handal tersebut. Supaya kita bisa mencuri pelajaran soal menulis, bukan mencuri karya mereka.

Memang sebuah proses itu tidak ada yang tiba-tiba berhasil. Begitupula dengan menulis. Jangan iri dengan penulis hebat yang mampu membikin sebuah karya dalam waktu singkat. Mereka telah terasah. Kita pun bisa jika terus dilatih dan tak pernah menyerah.

Pantang menyerah inilah yang dibutuhkan saat mengirimkan karya ke media ataupun penerbit. Jika karya pertama justru dibalas penolakan, jangan berhenti menulis. Yang diperlukan hanya ketekunan dan tekad supaya jadi penulis kondang. Toh penulis yang saat ini besar namanya juga dulunya merangkak seperti kita. Mereka pasti menapaki karier dari bawah juga.

Lalu jangan malas untuk rajin mengirim ke media. Ini menjadi trik supaya nama kita dikenal lewat redaktur. Dan yang perlu diperhatikan adalah jangan lupa cantumkan subjek rubric yang kita. Dalam body email, jangan lupa sisipkan salam beserta kata pengantar yang sopan. Apabila mendapatkan email penolakan dari redaksi, pelajari kesalahan dari pesan yang disampaikan itu. Sunting naskah dan perbaiki. Selanjutnya kirim kembali. Sabar menunggudan yakinlah bahwa karya anda pasti dimuat.

Oleh: Shela Kusumaningtyas, seorang yang gemar membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarana saya untuk mengabadikan berbagai hal. Menulis juga melatih saya untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru