31.8 C
Jakarta

Bisa Jadi Ulama Su’ itu yang Hobi Demonstrasi!

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanBisa Jadi Ulama Su’ itu yang Hobi Demonstrasi!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada sebuah hadis yang bunyinya kurang lebih begini: Al-Ulama’ waratsah al-anbiya’ dan artinya ulama itu adalah pewaris para nabi. Pewaris ini dapat disederhanakan lagi dengan penerus para nabi. Nabi tidak mewariskan harta kepada generasi-generasi berikutnya, melainkan mewariskan ilmu. Sehingga, ulama itu secara tidak langsung dibentuk menjadi pendakwah (dai), orang yang menyampaikan ilmu.

Sebagai penerus perjuangan Nabi, ulama mendapatkan status sosial yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan orang awam. Ulama dimuliakan dan kehadirannya sangat dirindukan. Sehingga, kerinduan itu tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas. Karena, bertemu ulama seakan bertemu Nabi. Kerinduan itu melampaui segalanya.

Istilah ulama bila ditelaah lebih jauh ternyata bermakna orang yang berilmu atau dalam bahasa kerennya “ilmuwan”. Apakah semua orang yang berilmu baik? Benarkah luasnya ilmu dapat mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang bijaksana? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat diperhatikan pada uraian Dr. Moh. Syarif Hidayatullah yang sedikit banyak menyisir mana ulama yang baik dan mana ulama yang picik (su’).

Secara garis besar tidak semua ulama itu dapat dibenarkan. Hanya ulama yang terus belajar yang dapat dibenarkan. Ulama seperti ini yang patut menjadi penerus Nabi. Selain belajar ulama ini juga mengamalkan ilmunya. Ulama yang baik tidak bakal merasa pintar sendiri. Ulama ini selalu merasa bodoh, sehingga mereka menyesal kalau berhenti belajar. Karena, kata Prof. Nasaruddin Umar, orang yang suka menyalahkan orang lain pertanda orang itu perlu belajar, sementara orang yang tidak menyalahkan orang lain pertanda orang itu sedang belajar.

Ulama yang baik, sebut Dr. Syarif Hidayatullah, selalu menggunakan ilmunya untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Kemaslahatan ini bisa menyangkut pribadi orang tersebut atau pribadi orang lain. Tidak masalah ulama mendukung penguasa atau pemerintah selama motivasinya baik, menjaga keutuhan tanah air. Ulama yang semacam ini masih dapat dikategorikan sebagai ulama yang baik.

Ulama yang baik selalu menggunakan ilmunya pada kebaikan. Kebaikan ini erat kaitannya dengan moderasi (wasathiyyah). Ulama yang baik tentunya cara berpikirnya moderat. Ulama yang semacam ini disebut dalam Al-Qur’an dengan istilah ummatan wasathan, orang yang moderat yang dipercaya menjadi saksi atas perbuatan manusia. (QS. al-Baqarah: 143).

BACA JUGA  Mengapa Konsep Perubahan Penting Ditegakkan di Negeri Ini?

Sebaliknya, ulama yang buruk (su’), kata Dr. Syarif Hidayatullah, bukan diukur sedekat mana dengan penguasa, tetapi dilihat sejauh mana menggunakan ilmunya untuk kebaikan dan kemaslahatan. Termasuk ulama yang buruk yang gemar menebar hoaks, memfitnah, mencaci maki, dan mencari-cari kesalahan penguasa.

Ciri-ciri ulama yang buruk tersebut banyak ditemukan di era sekarang, apalagi sekarang era digital yang sangat membantu ulama yang buruk itu melakukan perbuatan tercelanya. Ulama semacam ini cenderung egois, merasa paling benar, dan cenderung menyalahkan orang lain, termasuk penguasa. Padahal, ulama yang baik selalu memaafkan kesalahan orang lain dan mendidik mereka menjadi orang yang benar.

Ulama tidak boleh dikit-dikit marah. Ulama harus menjadi oase atau telaga penyejuk bagi umat-umatnya. Ulama tidak boleh melampaui hak veto Tuhan. Ulama cukup menjadi muballigh atau penyampai pesan-pesan Tuhan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan pesan-pesan Nabi yang tertulis dalam hadis. Sebagai muballigh ulama sadar, bahwa hidayah itu hak otoritas Tuhan, bukan ulama itu sendiri.

Banyak sekali ulama yang nekat melampaui tugas Tuhan. Maksudnya, ulama ini seakan-akan menjadi Tuhan yang merasa paling benar dan hobi menyalahkan, bahkan mengkafirkan orang yang lain yang tidak mengikuti dakwahnya. Ulama su’ ini biasanya ditemukan pada ustadz-ustadz amatiran yang baru hijrah tiba-tiba jadi pendakwah dan baru-baru belajar Islam dari google langsung menggurui umat.

Sebagai umat yang pasti dipertemukan dengan ulama su’ hendaknya lebih berhati-hati. Tidak langsung mengkonsumsi semua fatuwahnya. Teliti terlebih dahulu, apakah pesan-pesan yang disampaikan sesuai dengan spirit agama Islam yang menghendaki dakwah yang santun dan ramah serta pesan yang ditekankan selalu moderat.

Sebagai orang awam kita terus belajar. Tidak selalu menunggu fatuwah ulama. Sehingga, dengan semangat belajar itu kita dapat membedakan mana fatuwah ulama yang patut diikuti dan yang harus dihindari. Menjadi muslim yang baik tentunya harus berilmu. Menjadi orang yang berilmu tentu harus belajar. Belajarlah sampai kita merasa bodoh. Sehingga, kita terhindar dari ulama su’, karena bisa jadi ulama su’ itu hobi demonstrasi.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru