28 C
Jakarta

Berilmu Menjadi Basis Penangkal Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBerilmu Menjadi Basis Penangkal Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Islam Santuy ala Gus Baha, Penulis: Tim Harakah ID, Penerbit: Harakah Books, Cetakan: II, November 2020, Tebal: x + 170 halaman, Peresensi: Muhammad Muzadi Rizki.

Harakatuna.com – Karunia akal yang diberikan Tuhan menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Secara khusus, akal diperuntukkan guna berpikir menggali ilmu-Nya, bukan hanya sebagai menentukan pilihan benar-salah, tetapi untuk keberlangsungan hidup dan menjadi manusia seutuhnya. Ini merupakan fitrah dari Tuhan. Manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, diperintahkan oleh Tuhan untuk memperoleh pengetahuan menimba ilmu.

Melalui buku Islam Santuy ala Gus Baha (2020) kita memperoleh tambahan referensi dalam melihat paradigma keilmuan Gus Baha yang luas sekaligus luwes. Yang lebih kagumnya lagi, meskipun beliau hanya sebagai lulusan pesantren, akan tetapi kecerdasannya mampu meramu suatu permasalahan menjadi kajian yang ilmiah, dan bahkan seringkali menjadi rujukan bagi kalangan akademisi.

Gus Baha dikenal sebagai ulama fanatik ilmu, ia selalu mengatakan kepada seluruh santrinya, jemaahnya untuk selalu belajar sebagai thalibul ‘ilm. BerIlmu merupakan suatu keharusan yang menjadi dasar pegangan setiap manusia.

Dengan punya basis keluasan ilmu, ia akan melahirkan sikap kemampuan yang luwes, fleksibel dalam membedakan yang benar dari yang salah, yang indah dari yang jelek, yang wajib dari yang sunnah, dan yang manusiawi dari sikap yang tidak manusiawi.

Terlebih fenomena yang sedang marak terjadi mengenai merebak kelompok-kelompok agama rigid, garis keras. Ditengarai, penyebab lahirnya kelompok ekstrimisme dan radikalisme yang kaku ini dikarenakan minimnya referensi (ilmu).

Dengan menyitir surat An-Nur ayat 55, lalu kemudian berkeinginan membangun kondisi ideal dengan memosisikan agama sebagai sentral (negara teokratis bersistem khilafah). Ideal yang dimaksud artinya dunia ini harus steril dari segala maksiat, korupsi dan pemimpinya harus sholeh, masyarakatnya juga saleh.

Gus Baha kemudian memberikan argumentasi ilmiah setelah menganalisis berbagai kitab tafsir Ulama. Para mufassir memang memberikan penafsiran beragam terkait ayat tersebut. Ada yang bilang sudah tunai ketika fathu mekkah, ada yang sudah tunai ketika zaman Rasulullah Saw, serta khulafaur Rasyidin.

Menurut para mufassir, yang dimaksud meratanya ekspansi (Islam) yang dijanjikan Allah itu tidak harus sekarang dan tidak harus terjadi segera. Ketika ada kelompok yang getol meyakini belum ditunaikan, dan dengan logika yang sama maka harus diwujudkan sekarang, justru itu yang bermasalah. Pemahaman seperti itu perlu direkonstruksi.

Logikanya, dahulu Nabi Muhammad Saw pernah menyampaikan sebuah janji dan mengatakan bahwa akan menguasai Syam. Hingga kanjeng Nabi wafat, Syam pun belum kunjung terjadi. Justru konkretisasi Syam baru terjadi ketika masa kepemimpinan Sayyidina Umar (sekitar 16 tahun setelah Nabi wafat).

BACA JUGA  Felix Siauw dan Propaganda Khilafah di Indonesia

Begitu pula dengan janji terbukanya Konstantinopel. Hingga Rasulullah wafat, apa yang dijanjikan Allah tidak juga terealisasikan. Malah baru terbuka ketika di tangan Sultan Muhammad Al-Fatih.

Inilah pentingnya Ilmu, janji Allah itu pasti terjadi (entah sudah atau belum). Tetapi ada yang perlu diingat bagi mereka pengusung yang memaksakan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah segera terjadi. Nabi Muhammad yang ashdaqul qailin (sebenar-benarnya orang berkata) saja, tidak seketika apa yang dikatakan langsung terjadi (hlm. 158).

Lebih lanjut juga ketika menyangkut aksi terorisme. Sasaran aksi bom bunuh diri atau teror seringkali ditujukan ke orang-orang kafir supaya dunia terlihat steril. Padahal dalam ajaran agama justru penekanan pada maqoshid syariah. Disisi lain, Nabi tentu menginginkan umat yang masih nonmuslim dapat hidayah menjadi muslim.

Jikalau di bom kemudian meninggal, dan meninggal dalam keadaan kafir tentu itu akan menyebabkan masuk kedalam neraka. Hal yang demikian pasti bukan harapan Nabi. Lagi-lagi penting sekali melestarikan dan mengedepankan fungsi akal sebagai fitur utama manusia, terutama untuk menghargai fitrahnya yang suci.

Dalam menghadapi berbagai persoalan termasuk ihwal radikalisme memang harus berdasarkan perspektif keilmuan.  Ilmu akan menstimulus sikap kita dalam bertindak. Orang yang mempunyai ilmu mendalam sudah tentu akan menjalankan sikapnya sesuai muqtadhol hal. Jika dalam kondisi damai, berbaur dengan masyarakat yang beragam termasuk berbeda dalam keyakinan. Maka, sikap yang dipertunjukkan mengedepankan rasa humanis, toleransi, dan moderat.

Peran perspektif keilmuan menjadikan suara kritik dalam menghadapi hegemoni antusiasme terhadap trend hijrah, Islamisme dan Arabisasi.  Jangan sampai terjebak pada orang yang “meng-Arabkan” diri memanfaatkan guliran-guliran ayat suci agar terlihat lebih saleh, lebih beriman, atau lebih taat. Jangan pula gampang mengkultuskan seseorang hingga terjatuh dalam fanatisme buta atau pembelaan yang membabi buta (hlm. 163).

Gus Baha hadir sebagai role model dengan membawa kesegaran yang santai, luwes tapi berbobot. Didalam majelis yang ia bawakan, ia selalu membawa rasa optimisme bagi jamaahnya dalam berislam. Beragama dan berislam harus linier menampilkan kemudahan, keringanan, dan riang gembira.

Di sinilah pentingnya berislam yang berasaskan keilmuan, ia akan menghidupkan nilai-nilai keberimbangan yang seyogyanya harus dihadirkan secara ramah dan mudah demi terciptanya iklim keberagamaan yang proporsional nan sehat.

Muhammad Muzadi Rizki
Muhammad Muzadi Rizki
Senang berliterasi, membahas persoalan moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru