31.2 C
Jakarta
Array

Benarkah Masuk Rumah Ibadah Agama Lain itu Haram?

Artikel Trending

Benarkah Masuk Rumah Ibadah Agama Lain itu Haram?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Benarkah masuk rumah ibadah agama lain itu haram? Tunggu dulu. Sejak dulu, para ulama sudah membicarakan masalah seperti ini. Masalah yang tidak mungkin bisa dihindari, terkhusus bagi masyarakat yang heterogen seperti di Indonesia. Karena sejatinya, semua umat Islam sejak zaman Nabi hingga sekarang tidak pernah hidup sendirian tanpa ditemani saudara-saudaranya dari kalangan agama yang berbeda.

Kemudian masalah ini kembali ramai dibincangkan setelah terbitnya trailer film The Santri yang diperankan oleh beberapa anak bangsa. Dalam latar film tersebut, terlihat adegan pemberian tumpeng dari dua santri kepada para pastur di sebuah gereja. Dari situ, muncul bahan sorotan atau pertanyaan masyarakat tentang hukum seorang muslim memasuki rumah ibadah agama lain seperti gereja, sinagoge, atau yang lainnya.

Selaku muslim yang baik, hendaknya merujuk masalah-masalah seperti ini kepada para ahlinya, yaitu para ulama. Bukan kepada ustad dadakan atau siapapun yang memandang suatu masalah secara tekstualis saja. Bahkan yang menjadi masalah besar adalah ketika ia berani memukul rata terhadap situasi dan kondisi illat hukum tersebut. Tentu ini keliru.

Lalu, seperti apakah pendapat para ulama empat madzhab (Syafi’I, Hanafi, Maliki, Hambali) dalam menanggapi hal ini? Mereka (para ulama) berbeda pendapat. Ada yang mengatakan boleh, ada yang mengatakan makruh, dan ada juga yang mengatakan haram. Berikut rinciannya:

Dalil Masuk Rumah Ibadah Agama Lain

Pendapat pertama, Jumhur Ulama (kebanyakan ulama) dari Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian Syafi’iyah mengatakan boleh. Pendapat ini mengacu kepada riwayat Ibnu ‘Aidz dalam kitab Futuh al-Syam karya Ibnu Waqid al-Waqidi.

وروى ابن عائذ في ” فتوح الشام ”: أن النصارى صنعوا لعمر رضي الله عنه حين قدم الشام طعاما فدعوه، فقال أين هو: قالوا: في الكنيسة، فأبى أن يذهب، وقال لعلي: امض بالناس فليتغدوا، فذهب علي بالناس، فدخل الكنيسة وتغدى هو والمسلمون، وجعل علي ينظر إلى الصور ويقول: ما علي أمير المؤمنين لو دخل

Ibnu ‘Aidz meriwayatkan dalam Futuhusy Syam, bahwa orang Nashrani pernah membuatkan sajian untuk ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau tiba di Syam. Ketika itu beliau diundang makan, maka beliau bertanya, “Di mana undangan makan tersebut?” “Di gereja”, ada yang menjawab. Umar pun berhalangan memenuhi undangan tersebut. Kemudian Umar pun mengatakan pada ‘Ali, “Pergi engkau bersama yang lainnya, lantas makanlah di sana.” Ali pun pergi bersama yang lain. Ali memasuki gereja, lantas beliau dan kaum muslimin lainnya makan di sana. Ketika itu, Ali melihat patung-patung yang ada dalam gereja lalu beliau berkata, “Apa yang amirul mukminin lakukan ketika ia masuk?”

Dari sini, Jumhur ulama menegaskan bahwa bolehnya seorang muslim memasuki tempat ibadah agama lain seperti gereja, sinagoge atau tempat ibadah agama lainnya. Tak hanya itu, dalam Fatwa Al Lajnah Al Daimah (Lembaga Fatwa Arab Saudi) disebutkan, “Jika pergi ke Gereja untuk menunjukkan sikap toleransi, maka tidak boleh. Namun jika itu sebagai langkah awal untuk berdakwah, mengajak non-muslim pada Islam, tetapi tanpa turut serta dalam ibadah mereka, juga tidak khawatir terpengaruh dengan ibadah, kebiasaan dan taklid pada mereka, itu boleh.”.

Pendapat kedua, pendapat ulama dari kalangan madzhab Hanafi mengatakan hukumnya adalah makruh. Mereka berpendapat bahwa sejatinya memasuki gereja atau sinagog dan tempat ibadah agama lain tidak diharamkan sama sekali. Hanya saja makruh. Makruh bukan berarti tidak boleh, akan tetapi dimakruhkan karena gereja atau sinagog itu tempat berkumpulnya setan (majma’u al-syayatin). (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1: 380)

Pendapat ketiga, haram ketika ada patungnya, dan harus dengan izin. Pendapat ini tidak resmi dalam mazhab Syafi’i. Melainkan pendapat salah seorang ulama, yaitu Imam ‘Izz al-Din bin Abdis Salam yang kemudian diikuti oleh sebagian pengikutnya.

Masuk Gereja Harus Mendapat Izin Dahulu

Dalam kitab Mughni al-Muhtaj, Izz al-Din mengatakan bahwa seorang muslim dilarang memasuki gereja, sinagog atau juga tempat ibadah umat lain kecuali dengan izin. Berarti jika diizinkan, boleh memasukinya. Dan itu pun kalau tidak ada patungnya, kalau ada maka hukumnya tidak boleh memasukinya. (Mughni al-Muhtaj, 6: 78)

Adapun alasannya kenapa harus dengan izin, karena gereja, sinagog dan tempat ibadah umat lain itu milik mereka, dan kita selain dari golongannya dilarang mengakses itu kecuali sudah diizinkan. Dan beliau juga melarang mutlak jika di dalamnya terdapat patung, diidzinkan ataupun tidak, kalau ada patungnya tetap dilarang. Beliau mengatakan bahwa rumah yang ada patungnya saja dilarang untuk dimasuki, apalagi gereja dan sinagog.

Yang dimaksud patung di sini ialah patung yang diagungkan “mu’adzdzomah”. Maksudnya ialah patung yang diagungkan dan disembah. Kalau hanya sekedar gambar atau patung namun statusnya bukan patung utama yang disembah, maka tempat ibadah itu tidak mengapa untuk di masuki. (Tuhfatu al-Muhtaj, 9: 295)

Dengan melihat perbedaan pendapat ini, seyogyanya seorang muslim lebih bijak dalam menyampaikan hal-hal yang sifatnya furu’iyah. Tidak bisa langsung memvonis orang yang masuk gereja itu hukumnya haram tanpa mengetahui sebab dan illat-nya. Jika tetap hal ini dihukumi haram, maka berapa banyak umat muslim di dunia ini yang jatuh terhadap keharaman.

Oleh karena itu, hukum memasuki gereja seperti halnya untuk menghadiri perkawinan atau bertugas melakukan pekerjaan tertentu, apalagi bermain film yang misinya menyebarkan dakwah bukanlah sesuatu yang diharamkan. Maka, pendapat Jumhur Ulama sangat dibutuhkan dalam menanggapi hal ini. Syaratnya adalah orang muslim tersebut tidak melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan agama.

Ridwan Bahrudin
Ridwan Bahrudin
Alumni Universitas Al al-Bayt Yordania dan UIN Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru