30 C
Jakarta
Array

Belajar dari Teroris dan Korbannya

Artikel Trending

Belajar dari Teroris dan Korbannya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Secara sederhana, Hasibullah Satrawi menulis buku ini berdasarkan pengalamannya dalam berjumpa dan berintraksi dengan mantan pelaku tindak terorisme serta korban yang diakibatkan oleh tindakan tersebut. Banyak sekali pembelajaran yang dapat diambil dari kehidupan pelaku dan korban. Hasib, begitu sapaan akrabnya, menulis buku untuk mencoba memahami  segala macam sisi kehidupan teroris dan korbannya dalam sudut pandang ibroh (pembelajaran dan hikmah sesuai dengan tuntunan agama Islam.

Pria lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini merefleksikan pikiran dan upaya advokasinya terhadap masalah-masalah terorisme. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengkampanyekan suatu perdamaian dalam berkehidupan. Latar belakang keislaman yang kental membuat Hasib dengan lugas mengemukakan pandangan islam terhadap bentuk-bentuk kegiatan terorisme yang mengidentikan diri kepada Islam dibalik tindakan-tindakan tersebut.

Buku ini terdiri dari tujuh bagian utama serta prolog oleh Imam Prasodjo dan epilog oleh Prof. Azyumardi Azra. Bagian pertama berjudul “Anugerah Perjumpaan” dimana pada bagian ini merupakan awal bagi Hasib dalam bercengkrama dengan pelaku terorisme serta para korbannya. Perjumpaan-perjumpaan yang dilakukan mengarahkannya kepada suatu konklusi mengenai kehidupan pelaku saat masih dalam jaringan terorisme hingga akhirnya keluar dan mencoba untuk melakukan rekonsiliasi dengan para korbannya. Begitu pula dengan korbannya dimana rekonsiliasi dengan mantan pelaku merupakan hal luar biasa dari seorang manusia yang menjadi korban tindakan terorisme.

Pada pertengahan tahun 2013, penulis bertemu dengan seorang mantan teroris atau kombatan yakni Ali Fauzi. Ali Fauzi merupakan adik termuda dari tiga terpidana terorisme kasus bom Bali 1 2002 yaitu, Ali Ghufron, Amrozi dan Ali Imron. Sebagai adik, Ali Fauzi sempat dikader oleh Ali Ghufron di Institut Lukmanul Hakim Johor Baru Malaysia bersama Dr. Azhari dan Noordin M. Top serta dikirim ke Akademi Militer Moro Islamic Liberation Front (MILF) Filipina untuk belajar merakit bom dan taktik peperangan (hlm. 7-8).

Bagian kedua dari buku ini berjudul “Kasih Sayang yang Terkikis”. Dalam bagian ini Hasib mengemukakan tentang keberadaan teroris khususnya di Indonesia, latar belakang yang menyebabkan seseorang percaya dan mau menjadi teroris dengan melakukan tindakan-tindakan yang menurut ideologi dan ajaran mereka benar. Kemudian diuraikan pula hal-hal yang menyebabkan mereka berhenti dan memutuskan untuk keluar dari jaringan terorisme yang selama ini mereka ikuti.

Harus ditegaskan sejak awal, tidak ada faktor atau latar belakang yang tunggal dalam dunia terorisme. Para teroris mempunyai faktor dan latar belakang yang berbeda-beda hingga pada akhirnya berkomitmen dengan ideologi kekerasan bahkan bergabung dengan jaringan teroris (hlm. 35).

Hasib menguraikan beberapa faktor yang menjadi awal ketertarikan seseorang dalam dunia terorisme diantaranya adalah: semangat keagamaan, kezaliman terhadap umat Islam, sosial ekonomi, teman dan keluarga, hubungan guru-murid, balas dendam, ideologi, serta mengatasnamakan agama dan umat. Kemudian ijtihad ulang dari para teroris sendiri setelah bertemu dengan ulama-ulama lain yang berdakwah di jalan non-kekerasan serta perjumpaannya dengan korban merupakan awal bagi para teroris dalam memperbaiki diri menjadi lebih baik.

Bagian ketiga dari buku ini berjudul “Ketika Harus Kehilangan Anggota Tubuh”. Perjumpaan Hasib dengan para korban terorisme yang sebagian besar mengalami cacat fisik merupakan suatu pembelajaran bagaimana ia masih bisa dan terus menjalani kehidupannya di tengah kekurangan yang dimilikinya. Walaupun sudah dibantu dengan alat bantu lainnya, namun itu tidak bisa menggantikan apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Hal tersebut seperti yang dialami salah satu korban Bom Kuningan di depan Kedutaan Besar Australia tahun 2004 silam yakni Sudirman A Thalib, dimana ia kehilangan mata kirinya akibat serpihan logam yang mengenai matanya.

“Ketika Harus Kehilangan Orang Terkasih” adalah judul dari bagian keempat. Akibat yang ditimbulkan dari tindakan terorisme berupa pengeboman tidak hanya menjadi penderitaan korban yang terdampak langsung di lokasi kejadian. Namun dirasakan juga oleh para keluarga korban yang kehilangan. Ada seorang istri yang kehilangan suaminya yang menjadi korban bom. Ada pula suami yang kehilangan sang istri untuk selamanya. Bahkan anak yatim piatu pun lahir akibat kejadian tersebut. Selain kehilangan untuk selamanya, sebagian keluarga juga kehilangan keluarganya secara utuh. Ada yang hanya menyisakan sebagian anggota tubuhnya, bahkan adapula yang sampai saat ini tidak ditemukan karena sulit teridentifikasi.

Tidak selamanya seorang teroris akan menjadi teroris dan tidak selamanya korban dan keluarga akan terus memusuhi para teroris. Ada saatnya titik dimana keduanya akan saling meminta maaf dan memaafkan. Dalam bagian kelima buku ini diuraikan tentang bagaimana rekonsiliasi yang terjadi antara korban, keluarga korban dan mantan pelaku terorisme. Tidak mudah memang untuk berekonsiliasi, khususnya bagi korban dan keluarganya. Namun sesulit apapun itu terjadi, kesadaran akan makhluk yang berasal dari Allah dan akan kembali kapada Allah membuat sebagian korban memutusjab untuk berekonsiliasi. Memang hal tersebut melalui proses yang panjang.

Pada akhirnya, pemaafan adalah kesadaran. Yaitu kesadaran bahwa yang terjadi adalah takdir Allah SWT. Tidak ada yang bisa menolak takdir, tidak ada yang bisa mendorong takdir. Takdir adalah kehendak Allah SWT dengan segala hikmah dan pembelajaran di dalamnya (hlm. 143).

Dengan kesadaran yang terjadi adalah takdir, sebagian korban menjadi lebih tenang dalam menjalani segala dampak buruk dari musibah yang terjadi. Bahkan dengan kesadaran yang terjadi adalah takdir, sebagian korban merasa tidak ada masalah dengan siapa pun, termasuk dengan para teroris. Hingga yang bersangkutan dengan segala keringanan hati bisa saling memaafkan dan berekonsiliasi dengan para mantan teroris (hlm. 144).

Dalam kehidupan tentunya seseorang memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Begitu pula korban tindak terorisme dapat memaafkan bahkan berekonsiliasi dengan mantan pelaku merupakan suatu hal yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur yang berkembang. Dalam bagian keenam ini “Perwujudan Nilai-Nilai Luhur” diuraikan sedemikian rupa agar masyarakat umum bisa menggali nilai-nilai yang ada di dalam diri korban.

Hingga masyarakat tak hanya mendapatkan siraman nilai-nilai keluhuran yang tak berbentuk, melainkan juga dapat contoh nyata bagaimana nilai-nilai luhur tersebut diwujudkan dan diamalkan.

Dalam konteks seperti ini, apa yang dilakukan oleh sebagian korban dan mantan pelaku terorisme, khususnya korban yang sudah menerima musibah yang ada dengan lapang dada bahkan rekonsiliasi dengan mantan pelaku terorisme, bisa menjadi contoh bagaimana nilai-nilai luhur yang ada ditegakkan dan dilakukan. Hingga masyarakat tak hanya mendapatkan siraman nilai-nilai keluhuran yang tak berbentuk, melainkan juga dapat contoh nyata bagaimana nilai-nilai luhur tersebut diwujudkan dan diamalkan (hlm. 162).

Dari uraian-uraiannya, Hasib menyimpulkan refleksi pemikirannya berupa apa yang dapat kita ambil dari tindakan teroris dan para korbannya. “Mengambil Ibroh” merupakan kesimpulan dari buku ini. Dimana Hasib, sang penulis mengemukakan pembelajaran (ibroh) yang dapat kita ambil dari tema buku tersebut.

Kisah-kisah korban menjadi inspirasi bagaimana menjalani kehidupan selanjutnya. Sikap tidak membalas kekesaran dengan kekerasan, tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. Justru yang harus dilakukan adalah mengedepankan proses perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Membalas kekerasan dengan kebaikan, membalas ketidakadilan dengan keadilan.

Pada akhirnya, ibarat dua sisi mata uang, pemaafan dari sebagian korban terorisme dan pertaubatan dari sebagian mantan pelaku merupakan tampilan dari satu nilai, yaitu kelapangan hati dan ketangguhan mental. Sedangkan semangat tidak membalas kekerasan dengan kekerasan oleh si korban dan semangat tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan oleh si mantan pelaku, tak ubahnya dua arus kehidupan yang bermuara pada satu samudera, yaitu kedalaman hidup. Inilah ibroh kehidupan dari orang-orang yang meminta maaf dan memaafkan.

Judul               : Jangan Putus Asa Ibroh dari Kehidupan Teroris dan korbannya

Penulis             : Hasibullah Satrawi

Penerbit           : Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

Cetakan           : Pertama, Februari 2018

Tebal buku      : xx + 226 halaman

ISBN               : 978-602-51366-0-3

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru