30.8 C
Jakarta

Bagaimana Sikap Kita Terhadap Kisah-Kisah Israiliyat?

Artikel Trending

Asas-asas IslamTafsirBagaimana Sikap Kita Terhadap Kisah-Kisah Israiliyat?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Metode penafsiran dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang sakral sangat beragam. Dalam mendekati makna teks Al-Quran, tentu saja harus melalui salah satu perangkat agar teks tersebut bisa diraba dan “disentuh” secara utuh. Sentuhan terhadap teks Al-quran ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar proporsional. Artinya, ia tidak hanya sebatas memiliki kapasitas keilmuan tetapi juga kebersihan jiwa sehingga bisa menggali mutiara yang terpendam di dalam khazanah Alquran.

Salah satu perantara untuk menyentuh terhadap kesakralan teks tersebut bisa melalui pendekatan asbabun nuzul suatu ayat. Asbabun nuzul menjadi penting karena ia mempunyai kedudukan sebagai latar belakang suatu ayat diturunkan. Asbabun nuzul ini tentu saja mempunyai korelasi dan koneksi yang erat dengan Israiliyat dalam melengkapi kerancuan-kerancuan sehingga israiliyat berfungsi menjadi keutuhan asbabun nuzul ayat lebih komprehensif.

Salah satu aspek yang tidak bisa dilupakan adalah bahwa israiliyah merupakan istilah khusus yang digunakan oleh ulama Ilmu Al-quran dan Tafsir untuk menunjukkan pemberitaan, cerita, tradisi, serta doktrin-doktrin yang diidentikkan kepada Yahudi dan Nasrani dari klan Bani Israil. Sementara, posisi Al-quran dari tiga kitab sebelumnya (Taurat, Zabur, dan Injil) adalah sebagai penyempurna. Menjadi penyempurna, maka Al-quran tidak boleh mengadopsi penjelasan yang tidak mengandung kebenaran karena ia berfungsi sebagai petunjuk dan pembeda antara yang hak dan batil.

Kisah Israiliyat adalah salah satu alat yang bisa digunakan untuk melakukan pendekatan penelitian terhadap teks alquran. Akan tetapi, masalahnya akan semakin krusial karena sejak masa tabiin israiliyat sudah mengalami ketidakjelasan dan kekaburan tanpa mempertimbangkan secara rasional mana yang dianggap shahih dan tidak shahih.

Inilah yang musti diantisipasi dan butuh terhadap filterasi kembali dari kalangan ilmuwan kontemporer saat ini. Situasinya tentu saja berbeda pada masa Rasulullah, dimana israiliyat masih belum berkembang dalam tafsir Al-quran, karena pada waktu itu hanya Rasulullah yang memiliki otoritas penuh untuk menafsirkan Al-Quran. Tetapi, menurut Rasyid Ridha, masuknya israiliyat ke dalam tafsir sudah dimulai semenjak zaman sahabat. Tercatat beberapa sahabat yang terlibat dalam proses itu seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Masud dan Umar bin As. Akan tetapi, keterlibatan mereka dalam proses itu masih sebatas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan.

Parameter sahabat dalam menyikapi israiliyat pada masa itu bisa dilacak secara baik. Apabila isriliyat bertentangan dengan agama dan akal (rasionalitas) maka secara otomatis para sahabat tidak akan menggunakannya. Salah satu bentuk ihtiyath (kehati-hatian) para sahabat dalam mereduksi terhadap kecenderungan orang untuk merusak Al-quran. Sehingga, dari situlah, peran kritik tafsir (Ad-dakhil Tafsir) bisa diandalkan sebagai salah satu keilmuan tafsir yang bisa menjadi penyeimbang dengan menyediakan bahan-bahan atau modal tentang negatif-positifnya suatu tafsir. Karena setiap tafsir yang dikarang oleh mufassir pasti ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Begitulah salah satu sikap kebijaksanaan keilmuan kritik tafsir.

BACA JUGA  Tafsir Ayat Perang: Melihat Konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 dalam Tafsir Buya Hamka

Pertanyaannya, jika pada kalangan tabiin israiliyat sudah mengalami kekaburan apalagi saat sekarang ini. Hal ini butuh terhadap kehati-hatian atau paling tidak, ada usaha dari kalangan ilmuwan, akademisi, dan pemikir kontemporer untuk melakukan verifikasi terhadap suatu pernyataan atau kisah-kisah israiliyat yang beredar dalam Al-quran. Kenapa hal tersebut harus dilakukan ? tiada lain alasannya karena faktor fanatisme madzhab akan melahirkan kecenderungan tafsir yang membela kepada kelompoknya sehingga bisa saja israiliyat ini dijadikan alat untuk menguatkan argumennya.

Sikap Nabi Muhammad dalam menghadapi israiliyat justru memberikan keputusan yang moderat. Karena dalam sejarahnya, tidak bisa dipungkiri memang, bahwa Nabi Muhammad SAW sudah melakukan pertukaran ilmu pengetahuan dengan kaum Yahudi. Rasulullah menemui orang Yahudi dan ahli kitab untuk berdakwah dan sebaliknya orang Yahudi juga sering mendatangi Rasulullah untuk menanyakan sebuah persoalan. Sabda beliau dalam hadits silahkan menyampaikan riwayat dari Bani israil tidaklah mengapa, namun siapa saja yang berdusta atas namaku maka hendaklah mengambil tempat di neraka,.

Sementara itu, Muhammad Abduh adalah salah satu ulama yang paling gencar mengkritik kebiasaan ulama tafsir generasi pertama yang banyak mengunakan israiliyat dalam menafsirkan Al-quran. Taruhlah misalnya, kitab jamiul bayan fi tafsir Al-quran karya Ibnu Jarir At-Thabari. Tafsir ini disebut sebut sebagai tafsir paling unggul dalam tafsir bil masur dan tafsir ini dianggap sebagai referensi utama para mufassir. Bahkan Imam Nawawi juga sampai berkata,kitab Ibnu Jarir adalah tafsir yang tidak ada duanya,.

Akan tetapi, Ibnu Jarir At-Thabari ternyata diklaim sebagai hatibul lail (pengumpul kayu di malam hari) yang disandangkan oleh kritikus riwayat terhadap sekian banyak ulama dan perawi karena ketidakmampuan mereka membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak, mana yang shahih dan mana yang dhaif. Bahkan, Imam Jalaluddin As-Suyuti yang mempunyai karya ilmiahnya yang populer di Indonesia dan diajarkan di berbagai pesantren, dinilai oleh pakar Tafsir hadits, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Murid Muhammad Abduh sebagai salah seorang hatibul lail. Lalu, tidakkah kita bisa untuk melakukan purifikasi kisah israiliyat dengan berbagai kehidupan yang serba kepentingan? di sinilah kapasitas seorang ilmuwan dipertaruhkan.

 

Oleh Abdul Waris

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru