27.2 C
Jakarta
Array

Amina Wadud dalam Khazanah Tafsir di Era Kontemporer

Artikel Trending

Amina Wadud dalam Khazanah Tafsir di Era Kontemporer
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Nama lengkapnya  Amina Wadud Muhsin. Seorang tokoh feminis wanita muslimah yang lahir pada tanggal 25 September 1952 M di Bethesda, Maryland, Amerika. Nama kedua orang tuanya tidak diketahui, namun salah satu literatur menyebutkan bahwa ayahnya adalah seorang pendeta yang taat penganut Methodist. Sedangkan ibunya keturunan budak Berber ,Arab dan Afrika pada kurun ke-8 Masehi. Ia merupakan warga Amerika keturunan Afrika-Amerika (kulit hitam). Hidayah dan ketertarikannya pada agama Islam khususnya mengenai konsep keadilan dalam Islam, mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari yang ia namakan dengan thanksgiving day pada tahun 1972.[1].

Ketika tumbuh dewasa, Wadud merasa seperti orang asing karena etnisitas dan gender yang melekat padanya. Salah seoramg feminisme Islam, Asma Barlas, menulis, “jika bangsa telah mendefinisilan dirinya di mata rekan-rekan kulit putih, maka gender telah mendrfinsikan dirinya di mata orang-orang hitam. Ketika dia sedang belajar di kampus, Wadud yang sedang berusia 20 tahun memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Mennurut Barlas, posisi Wadud sebagai seorang Amerika keturunan Afrika yang pindah agama Islam , dan karenanya menjadi orang Barat telah memungkinkan dirinya untuk terlibat dalam Islam dengan sebuah kesadaran tertentu yang telah mementuk identitasnya.[2] Wadud adalah janda dengan lima anak, dua laki-laki dan tiga perempuan dan yang laki-laki adalah Muhammad dan Khalilullah, dan yang perempuan adalah Hasna, Sahar, dan Ala (oleh Wadud mereka dianggap lebih dari anak yaitu saudara-saudara seiman).[3]

Ia menjadi terkenal secara Internasional, ketika ia menjadi Imam dalam shalat Jum’at pada bulan Maret 2005 .Hal inilah yang membuatnya menjadi sosok kontroversial di kalangan umat Islam. Kecaman datang dari berbagai ulama, di antaranya Syekh Yusuf Qardhawi. Dia berpendapat walau perempuan bisa menjadi imam shalat dari jamaah perempuan, bahkan keluarganya, tapi tidak boleh memimpin shalat dari jamaah gabungan. Dalam wawancara di stasiun televisi Aljazeera, Qardhawi menegaskan tindakan Amina itu melanggar ajaran Islam dan sesat. Alasan Amina melakukan hal itu lantaran dia ingin mengetuk hati kaum muslim sejagat, yakni tidak ada pemisah di antara mereka.

Pemikiran Tafsir Amina Wadud tentang Gender I

Amina Wadud memiliki beberapa pembaharuan pemikiran tentang Gender yang ia kemas pada beberapa tema. Pertama, Amina Wadud berpendapat dalam bukunya Wanita dalam Al-Quran, bahwa penjelasan ayat :

و ان خفتم الا تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى و ثلاث و رباع . فإن خفتم الا تعدلوا فواحدة او ما ملكت ايمانكم. ذلك ادنى الا تعولوا.

Artinya : Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah permpuan lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah satu saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.[4]

Menurut Amina, ayat ini berkaitan dengan perlakuan terhadap anak yatim. Wali pria yang bertanggungjawab untuk mengelola kekayaan anak perempuan yatim, tidak boleh tidak adil dalam mengelola kekayaan tersebut. Salah satu pencegahannya adalah dengan menikahi wanita yatim. Ayat ini jelas menekankan keadilan,: mengadakan perjanjian dengan adil, mengelola harta dengan adil, adil terhadap anak yatim dan adil terhadap isteri.

Ia juga berpendapat mengenai  ihwal melengkapi antara suami-isteri seperti yang diinginkan al-Quran ( menjadi pakaian satu sama lain dan membentuk keluarga penuh cinta kasih dan tenteram ), tidak mungkin tercapai jika seorang suami sekaligus ayah membagi cintanya kepada lebih dari satu orang.

Namun, alasan dilakukannya poligami pada masa sekarang ini adalah. Pertama, finansial : dalam meghadapi persoalan ekonomi seperti pengangguran, pria yang mampu secara finansial sebaiknya menghidupi lebih dari seorang istri. Sehimgga tampak jelas bahwa wanita dianggap sebagai beban finansial : bisa bereproduksi tetapi tidak produktif. Menurut Amina, anggapan lama bahwa hanya pria yang mampu bekerja, melaksanakan pekerjaan atau pekerja yang paling produktif, tidak bisa lagi diterima. Produktivitas sesungguhnya diukur dari sejumlah faktor, dan jenis kelamin hanya merupakan satu dari banyak aspek produktivitas.

Kedua, dilakukan poligami karena wanita yang dinikahinya tidak mampu memiliki anak. Padahal alasan ini tidak pernah disebutkan dalam al-Quran sebagai alasan untuk memperbolehkan poligami.

Alasan ketiga dilakukannya poligami bukan hanya tak tercantum dalamal-qur’an , tetapi jelas merupakan tindakan non-Qur’ani, berupa upaya mendukung nafsu tak terkendali kaum pria: jika kebutuhan seksual seorang pria tidak dapat dipenuhi dengan seorang istri, ia sebaiknya memiliki dua orang istri. Tampaknya, jika gairah pria tersebut masih besar lagi, sebaiknya menambah menjadi tiga isteri dan seterusnya, baru setelah itu prinsip-prinsip al-Quran untuk mengendalikan diri, bersopan santun, baru terlaksana. Padahal pengendalian diri bukan hanya berlaku pada isteri saja, nilai moral ini juga sama pentingnya untu suami. Sangat jelas bahwa al-quran tidak memberi tingkatan yang tinggi pada wanita ketika ia meninggalkan pria untuk berinteraksi dengan yang lainnya dalam peringkat yang paling mendasar. [5]

Pemikiran Tafsir Amina Wadud tentang Gender II

Pembaruannya dalam terma gender yang kedua adalah seputar merawat anak. Sistem yang umum diterapkan sebagian masyarakat telah menentukan bahwa kewajiban merawat anak lebih tepat dilakukan oleh kaum wanita. Dalam pandangan Amina, dalam al-Quran pada dasarnya pengasuhan anak yang masih kecil merupakan suatu pilihan. Namun kecenderungan selalu terjadi untuk menyerahkan semua bentuk kepengasuhan anak kepada wanita. Meskipun pembagian ini cocok bagi beberapa keluarga, namun ini bukanlah satu-satunya jalan keluar dan tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an.

Menurut Amina, dalam keluarga yang suami istri sama-sama menanggung beban keluarga dan mencari nafkah untuk kehidupannya, adalah tidak adil jika hanya wanita saja yang harus mengurus emua pekerjaan rumah. Jika wanita berusaha meningkatkan amal salehnya, maka terdapat kesempatan serupa bagi kaum pria untuk meningkatkan partisipasinya lebih banyak lewat pekerjaan rumah dan mengurus anak. [6]

Terakhir, apresiasi perlu diberikan pada tindakan beliau dalam mewujudkan atau melakukan pendapatnya serta perjuangannya dalam mengangkat hak-hak wanita .

 

[1]Dedi Kayung, Biografi dan Pemikiran Sosok Amina Wadud, dalam https://www.academia.edu/diakses tanggal 29 Desember 2016.

[2] Abdullah Saeed,              Pengantar Studi Al-Qur’an, terj. Shulkhah dan Sahiron Syamsuddin,(Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016), hlm.326.

[3] Mutrofin,” Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Amina Wadud Dan Riffat Hassan”, Teosofi : Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. III, No. 1, Juni 2013, hlm. 237.

[4]Kementerian Agama Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,( Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm.77.

[5]Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Quran, terj. Yaziar Radianti (Bandung : Pustaka , 1994 ) hlm.111-114.

[6]Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Quran, terj. Yaziar Radianti (Bandung : Pustaka , 1994 ) hlm.121-122

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru